Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

Vasektomi bukan sekadar prosedur medis, tetapi juga menyentuh dimensi etika, fikih, dan hak asasi manusia.

Vasektomi

Vasektomi

Mubadalah.id – Usulan mengaitkan program bantuan sosial dengan kewajiban vasektomi bagi laki-laki miskin memantik perdebatan serius.

Di satu sisi, kebijakan ini berangkat dari keprihatinan struktural: angka kelahiran tinggi di keluarga miskin dianggap memperpanjang rantai kemiskinan. Namun di sisi lain, kebijakan semacam itu menyentuh wilayah yang sangat pribadi. Tubuh dan hak reproduksi manusia.

Narasi Kemiskinan dan Kendali atas Tubuh

Vasektomi bukan sekadar prosedur medis. Ia menyangkut hakikat keberlanjutan keturunan (nasl), tanggung jawab sosial, dan martabat insani. Dalam Islam, menjaga keturunan merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat (maqashid al-shariah).

Dalil tentang pentingnya keturunan sangat kuat, di antaranya sabda Nabi Muhammad saw., “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena aku berbangga dengan banyaknya umatku” (HR. Abu Dawud). Oleh karena itu, segala bentuk intervensi terhadap kemampuan reproduksi seseorang harus kita pertimbangkan dengan prinsip kehati-hatian dan keadilan.

Hak atas tubuh, termasuk hak reproduksi, merupakan bagian dari hak asasi manusia yang terakui dalam berbagai instrumen internasional, termasuk International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Namun dalam konteks Islam, hak tersebut tidak bersifat mutlak individual. Melainkan terikat oleh prinsip maslahah (kebaikan bersama), tanggung jawab moral, dan nilai-nilai ketuhanan. Oleh karena itu, intervensi terhadap tubuh, seperti sterilisasi, harus kita kaji secara proporsional dalam kerangka hak dan kewajiban, bukan hanya kebebasan.

Hak Reproduksi dan Garis Batas Negara

Negara memang memiliki peran dalam mengatur dan mencegah kemiskinan struktural, termasuk melalui program keluarga berencana. Namun, tanggung jawab negara tidak boleh menjelma menjadi kendali atas tubuh rakyatnya.

Apalagi jika kebijakan tersebut bersifat sepihak, bersyarat, dan menyasar kelompok miskin. Dalam etika Islam, segala bentuk intervensi terhadap tubuh—termasuk organ reproduksi—wajib berdasarkan atas kerelaan, pengetahuan yang utuh, dan pertimbangan maslahat, bukan tekanan administratif.

Di sinilah prinsip mubadalah (kesalingan) menjadi penting. Negara seharusnya memfasilitasi warga—baik laki-laki maupun perempuan—untuk membuat pilihan yang adil dan bertanggung jawab terkait reproduksi. Tanpa mengorbankan martabatnya sebagai manusia.

Bila perempuan selama ini memikul beban besar dalam urusan KB, maka ajakan kepada laki-laki untuk turut berbagi peran adalah langkah maju. Namun, langkah ini tidak boleh kita bajak oleh logika paksaan, sebab keadilan reproduktif harus lahir dari kesadaran, bukan ketakutan akan kehilangan bantuan hidup.

Vasektomi dalam Timbangan Fikih dan Kemanusiaan

Dalam fikih, vasektomi umumnya dianggap haram jika bersifat permanen, karena bertentangan dengan tujuan syariat untuk menjaga keturunan (hifz al-nasl). Namun, pengecualian dapat kita berikan dalam kondisi darurat. Misalnya karena alasan medis yang dibuktikan oleh tenaga profesional.

Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2005 menguatkan hal ini, begitu pula pandangan lembaga seperti Dar al-Ifta’ Mesir dan Al-Azhar, yang mensyaratkan indikasi kuat dan tidak adanya alternatif lain.

Di sisi lain, Islam juga menekankan tanggung jawab orang tua dalam merawat anak-anaknya. QS. At-Tahrim ayat 6 menyeru umat Islam untuk menjaga keluarga dari kerusakan, yang oleh ulama seperti al-Qurṭubī ditafsirkan sebagai kewajiban merawat secara spiritual dan materiil.

Dalam konteks ini, pengendalian kelahiran dengan sadar bisa menjadi bagian dari tanggung jawab moral, selama tidak mematikan peluang memiliki keturunan di masa depan.

Namun, menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos jelas bermasalah secara etika dan keadilan. Niat baik tidak bisa kita laksanakan dengan cara yang menyingkirkan hak tubuh dan martabat warga.

Mencegah Kemiskinan, Menjaga Martabat

Kebijakan pengendalian kelahiran sejatinya lahir dari semangat mencegah kemiskinan dan memastikan kualitas hidup yang layak. Namun, ketika upaya itu kita bebankan hanya kepada kelompok miskin, bahkan kita jadikan syarat bantuan sosial, justru sedang memperpanjang mata rantai ketimpangan.

Apalagi jika intervensi terarah secara sepihak kepada laki-laki, tanpa membangun pemahaman utuh mengenai hak reproduksi, tanggung jawab keluarga, dan pilihan etis yang kita sadari bersama.

Vasektomi bukan sekadar prosedur medis, tetapi juga menyentuh dimensi etika, fikih, dan hak asasi manusia. Islam menempatkan tanggung jawab terhadap keluarga sebagai hal utama, namun tetap membuka ruang bagi ijtihad yang mempertimbangkan maslahat dan kondisi zaman. Negara pun kita tuntut berlaku adil. Tidak hanya aktif dalam pengendalian penduduk, tapi juga menjamin akses pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial yang menjadi akar persoalan.

Jika keluarga adalah pondasi masyarakat, maka pendekatan atasnya harus terbangun di atas prinsip kesalingan, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Bukan dengan paksaan kebijakan, melainkan dengan kesadaran dan keikhlasan yang tumbuh dari kepercayaan. []

Exit mobile version