Mubadalah.id – Memotret kisah sukses Khofifah Indar Parawansa yang terpilih menjadi Gubernur Jawa Timur periode 2019-2024 pada Pemilu tahun 2018. Lalu kisah kepemimpinan Tri Rismaharini sebagai Walikota Surabaya yang sukses bahkan terpilih dalam dua periode juga menjadi hal preseden dalam hal ini. Kedua contoh tersebut mengindikasikan adanya pandangan positif dari masyarakat terkait penerimaannya terhadap kepemimpinan perempuan.
Terlebih kedua tokoh tersebut terpilih dan menjadi pemimpin di daerah Jawa Timur yang kita kenal sebagai daerah yang masih memegang nilai-nilai tradisionalis dalam memahami agama. Terpilihnya kedua pemimpin perempuan tersebut dapat kita jadikan sebagai bukti terbebasnya masyarakat, khususnya Jawa Timur dari belenggu narasi bahwa Islam melarang perempuan menjadi pemimpin sosial-politik.
Di sisi yang lain, keyakinan masyarakat bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam salat bagi laki-laki sudah tidak lagi terkait dengan kepemimpinan perempuan di ranah sosial-politik. Argumen bahwa “Yang tidak bisa menjadi imam salat tidak boleh memimpin umat” sudah bukan lagi menjadi argumen yang dapat mempengaruhi pilihan masyarakat Muslim Indonesia, khususnya Jawa Timur.
Isu ketidakbolehan perempuan menjadi imam salat pada dasarnya merupakan isu tentang eksistensi tubuh perempuan. Bukan berkaitan dengan kecakapan, keahlian, serta kemampuan seorang perempuan. Karena pada realitanya banyak perempuan yang hafal al-Qur’an, pintar ilmu-ilmu agama, dan bermoral tinggi pun, tetapi secara agama tetap tidak diperbolehkan menjadi imam salat bagi laki-laki.
Isu Kepemimpinan Perempuan
Dalam memahami isu tersebut Dr Faqihuddin Abdul Kodir mengajak kita untuk mengkajinya secara komprehensif. Dari perspektif fiqh misalnya, kita dapat menemukan adanya dua pandangan yang berbeda mengenai isu kepemimpinan perempuan dalam salat atas jamaah laki-laki. Mayoritas ulama madzhab fiqh melarangnya, namun sebagian yang lain juga ada yang memperbolehkannya.
Di antara imam yang tercatat memperbolehkan adalah Imam Abu Tsaur (w. 240/854), Imam al-Muzani (w. 264/878), Imam ath-Thabari (w. 310/923), serta sebagian pandangan dari Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241/855). Adapun yang memperbolehkan dapat kita lihat pada penyataan tegas Syekh Agung Ibnu ‘Arabi (w. 638/1240) bahwa perempuan boleh dan sah menjadi Imam salat secara mutlak.
Adapun Imam Besar Masjid Istiqlal dan pakar hadis, almarhum Ali Mustofa Yakub, meskipun beliau mendukung penuh terhadap pandangan ulama mayoritas yang melarang, tetapi beliau menilai teks hadis yang menjadi dasar kebolehan. Yaitu hadis Ummu Waraqah Ra. (Sunan Abu Dawud, no. 592) jauh lebih valid dari pada hadis yang menjadii dasar pelarangan. Yaitu hadis Jabir Ra. (Sunan Ibnu Majah, no. 1134). Terjemah keduanya hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Rasulullah Saw berkunjung ke rumah seorang perempuan, bernama Ummu Waraqah binti Abdillah bin al-Harits Ra. Beliau mengangkat seorang muadzin untuknya, dan memerintahkannya untuk memimpin sholat keluarganya. Abdurrahman berkata, “Aku melihat meadzinnya adalah seorang laki-laki yang sudah tua.” (Sunan Abu Dawud, no. 592).
“Jabir bin Abdillah Ra. menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Ingatlah, jangan sekali-kali perempuan menjadi imam bagi laki-laki, orang kampung/Badui menjadi imam bagi perempuan Muhajir/kota, dan orang yang jahat bagi orang yang beriman/baik.” (Sunan Ibnu Majah, no. 1134).
Berpegang pada Adat dan Tradisi
Kendatipun hadis kedua kita terima, di dalam teks tersebut mengatakan bahwa “orang kampung” tidak boleh menjadi imam bagi “orang kota”. Maka, tentu saja pernyataan tersebut tidak terpakai oleh ulama dengan menafsirkannya menjadi “orang yang tidak terdidik” menjadi imam bagi yang ‘terdidik”.
Namun, merujuk pada pernyataan para ulama bahwa teks tersebut lemah. Maka pandangan fiqh mayoritas ulama yang melarangnya kita anggap sebagai konsensus (ijma’) yang dihasilkan dari logika-logika umum atas berbagai teks lain yang tidak secara langsung membahas mengenai imam salat perempuan.
Selain itu, pandangan tersebut juga mungkin berdasarkan pada kuatnya adat dan tradisi (‘urf). Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan “adat dan tradisi yang kuat bisa menjadi dasar hukum” (al-‘adah muhakkamah).
Tinjauan dari perspektif logika umum atas isu imam salat perempuan bagi jamaah laki-laki dapat kita lihat pada adab dan etika salat yang mengharuskan perempuan dan laki-laki berada dalam shaf yang terpisah. Yakni dengan laki-laki berada di shaf depan dan perempuan di shaf belakang.
Membincang Khawf al-Fitnah
Adab dan etika tersebut maksudnya agar tercapai suasana yang tenang dan kontemplatif atau biasa kita sebut khusyuk. Keberadaan perempuan di shaf paling depan ada kekhawatiran gerak-gerik serta suaranya dapat mengganggu kekhusukan para jamaah laki-laki.
Dalam bahasa fiqh argumen ini sering kali kita sebut dengan (khawf al-fitnah), yaitu kekhawatiran akan timbulnya “fitnah” yang buruk dalam relasi laki-laki dan perempuan, di luar maksud serta tujuan salat yang baik dan mulia.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat kita lihat bahwa pelarangan perempuan sebagai imam salat atas laki-laki tidak terkait sama sekali dengan kerendahan martabat perempuan, kekurangan agama perempuan, kelemahan akal perempuan, maupun ketidakmampuannya dalam memahami dan menguasai ilmu-ilmu agama.
Berdasarkan pemahaman tersebut, kepemimpinan perempuan dalam salat juga tidak boleh kita jadikan kriteria kecakapan spiritualitas, intelektualitas, serta kecakapan memimpin pada ranah sosial-politik. Terbukti bahwa dari sisi agama, pelarangan perempuan menjadi imam salat lebih condong pada tujuan tercapainya kekhusyukan. Di mana sesungguhnya bersifat kontekstual, sosial, serta kultural (‘urfan).
Oleh karena itu, dengan pespektif ini, mungkin dapat kita tawarkan bahwa kepemimpinan perempuan dalam salat pada prinsipnya boleh. Tetapi secara sosial dengan argumentasi fiqh yang sudah ada, adalah tidak boleh. Sebab, dalam prinsip Islam, jenis kelamin bukanlah tolak ukur seseorang kita anggap lebih baik dari yang lain.
Kepemimpinan Resiprokal
Adapun, kepemimpinan perempuan dalam ranah sosial-politik di Indonesia sendiri lebih banyak berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan etika rasional yang berdasarkan pada teks-teks mengenai prinsip yang bersifat universal, tidak pada literal teks.
Yang perlu kita perjuangkan dalam narasi keagamaan bukan lagi kepemimpinan dengan jenis kelamin perempuan. Tetapi lebih pada kebijaksanaannya dalam memimpin yang juga memperhatikan segala kebutuhan perempuan, sebagai kebutuhan kemanusiaan yang harus terfasilitasi baik di ranah domestik maupun publik.
Hal lain yang juga penting yaitu dukungan atas narasi kesusksesan rumah tangga dan karir publik merupakan tanggung jawab bersama, laki-laki dan perempuan.
Hal ini bertujuan untuk membebaskan perempuan dari beban berlebih (double burden) yang mengharuskan perempuan berhasil di ranah publik sekaligus domestik. Justru narasi agama seharusnya lebih dapat mendorong laki-laki untuk ikut terlibat aktif di ranah domestik ketika perempuan perlu untuk aktif di ranah publik.
Konsep qiwamah dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 34 juga tidak dapat menjadi landasan dalam melarang kepemimpinan perempuan dalam ranah sosial-politik. Karena ayat tersebut sedang tidak berbicara mengenai norma kepemimpinan laki-lak. Tetapi mengenai norma tanggung jawab yang harus mereka emban dengan memiliki kapasitas, kemampuan, serta harta yang cukup.
Isu kepemimpinan yang resiprokal (mubadalah) lebih condong pada model kepemimpinan yang secara substansi mendasarkan pada kerja sama, kebersamaan, kepercayaan, apresiasi, bukan pada autoritarianisme, kekuasaan, hegemoni, dan ketakutan.
Kepemimpinan yang memberikan ruang yang nyaman bagi laki-laki dan perempuan untuk bereskpresi dan berpartisipasi secara maksimal untuk menghadirkan kebaikan-kebaikan bagi masyarakat secara umum (maslahah ‘ammah). Yaknimenjamin kesejahteraan, dan mewujudkan keadilan sosial secara menyeluruh.
Utamanya dengan mempertimbangkan dan memprioritaskan orang-orang dengan kondisi khusus, terpinggirkan, marginal, lemah, dan miskin. []