Mubadalah.id – Berbicara tentang inklusivitas, mengingatkanku tentang kejadian beberapa hari lalu. Ketika sedang mengantre di salah satu rumah makan cepat saji, di sebelahku ada laki-laki dengan down syndrome yang terdengar memanggil kasir dengan suara yang lirih.
Aku menatap bergantian antara kasir yang sedang membuatkan pesanan dan laki-laki tersebut. Ketika menyiapkan minuman, ternyata kasir tersebut membuat dua cup minuman sekaligus, dan satu dari minuman ia berikan kepada orang dengan laki-laki dengan down syndrome. Saat kasir memberikan minuman, dia terlihat tersenyum tipis dan mengangguk, seolah itu adalah kata terima kasih yang tidak terucap.
Kemudian dia menuju kursi di teras, duduk dan memandangi minuman dengan seksama kemudian perlahan membuka kertas pembungkus sedotan. Aku mengamati dari pantulan cermin wastafel ketika mencuci tangan. Melihat dia dengan susah payah membuka minuman dengan sedotan yang ternyata kedua ujungnya tumpul.
Rasanya aku ingin sekali membantu, tetapi untuk beberapa waktu tubuh dan kakiku masih membeku. Aku menyapu pandangan melihat semua pengunjung yang sibuk dengan makanan masing-masing. Takut terlihat aneh ketika aku tiba-tiba membantu laki-laki tersebut membuka cup minuman.
Kemudian, setelah beberapa detik berpikir aku bergegas menuju meja. Mengambil satu tusuk gigi dan menghampiri laki-laki tersebut, lalu meminta izin untuk membantunya membuka minumannya. Detik berikutnya aku masih memastikan sedotan sudah benar-benar masuk ke dalam cup minuman.
Sembari berjalan menuju mejaku, aku bernafas lega dengan hati begitu ringan. Ternyata hanya suara kepalaku yang terlampau berisik akan kekhawatiran. Selebihnya, tentu berjalan dengan sedia kala.
Pola Pikir Ableism yang Mengakar dalam Alam Bawah Sadar
Dalam perjalanan pulang aku kemudian berefleksi, bahwa setelah mendapatkan banyak materi dan pengetahuan mengenai inklusivitas terhadap penyandang disabilitas dalam perspektif KUPI, residu pola pikir ableism masih bercokol di alam bawah sadarku. Dalam Encyclopedia of Disability, definisi ableism adalah sikap penuh prasangka dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
Pengertian ableism tersebut tergantung pada cara kita memahami apa yang kita anggap sebagai “normal” dan siapa yang berhak mendapat perlakuan yang biasanya didapatkan oleh orang yang dianggap “normal”.
Diskriminasi yang lahir atas pola pikir ableism tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung karena pengaruh norma, budaya, hukum atau asumsi yang tidak tepat. Di mana pengaruh ini telah berjalan dengan waktu yang lama dan mengakar dalam pikiran dan keyakinan masyarakat.
Selain pola pikir ableism, terdapat model-model lain tentang cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Febriyani dan Sulistyani dalam penelitiannya menjelaskan dua jenis model pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Yakni medical model dan social model.
Medical Model dan Social Model
Medical model adalah cara pandang yang menganggap penyandang disabilitas sebagai individu yang cacat atau memiliki kegagalan dalam sistem tubuh yang tidak normal sehingga dianggap sebagai suatu penyakit. Dalam arti lain, kondisi disabilitas berasal dari kondisi biologis individu yang kemudian memunculkan keterbatasan dalam melakukan aktivitas.
Sedangkan social model merupakan cara pandang yang menganggap bahwa disabilitas adalah hasil dari konstruksi sosial, dimana permasalahan lahir dari lingkungan yang gagal mengakomodasi orang dengan disabilitas. Karena kegagalan tersebut, orang dengan penyandang disabilitas mendapatkan diskriminasi yang lebih daripada individu atau masyarakat yang dianggap “normal”.
Sikap yang terjadi kepada diriku yang perlu berulang kali berpikir ketika ingin membantu laki-laki dengan down syndrome di atas merupakan manifestasi pola pikir ableism yang menyebabkan ketakutan dan kekhawatiran. Kekhawatiran tersebut lahir karena pandangan terhadap penyandang disabilitas sebagai the other. Hal ini terbangun karena sejak kecil aku memahami bahwa penyandang disabilitas adalah “berbeda” dengan orang kebanyakan.
Pemahaman tentang “berbeda” membuat jarak sosial seolah hal yang maklum, padahal justru mempertegas batas antara “normal” dan disabilitas. Kesadaran inklusi yang berhenti hanya sekedar teori seringkali gagal mengubah refleks sikap ketika bertemu situasi nyata. Lalu pada akhirnya, niat baik hanya sampai dalam pikiran tergerus rasa ragu dan takut terlihat salah bertindak.
Pengarusutamaan Isu Disabilitas: Dari Diri ke Kehidupan Sosial
Membangun kesadaran kolektif untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang inklusif bagi penyandang disabilitas tentu bukanlah perjuangan yang instan. Sangat penting untuk terus merawat dan menghidupi kesadaran dan pengetahuan atas inklusivitas yang telah tumbuh dalam diri. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu harus memulai aksi dari inisiatif pribadi.
Seperti kata Mahatma Gandhi, “Jadilah perubahan yang ingin kamu lihat di dunia”. Perspektif KUPI yang menekankan konsep pemikiran martabah, ‘adalah, dan maslahah yang telah aku pelajari harus selalu terawat dalam pikiran dan menjadi pijakan dalam tindakan. Artinya, melatih diri untuk menumbuhkan rasa empati dalam berinteraksi menjadi langkah awal yang kelak menjadi pondasi terciptanya masyarakat yang adil dan setara.
Ketika berbicara tentang kebijakan untuk penyandang disabilitas, pemerintah telah melakukan upaya pengarusutamaan perspektif disabilitas. Yakni dengan adanya pengesahan Undang-Undang (UU) No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menjamin hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia.
Tetapi dalam praktik kehidupan sosial, pengesahan UU tersebut tidak serta merta merubah perspektif masyarakat mengenai cara pandang terhadap penyandang disabilitas. Perlu adanya kerja kolaboratif dari pemerintah tingkat pusat hingga pemerintah tingkat desa sebagai institusi yang paling dekat dengan masyarakat akar rumput.
Selain itu, partisipasi aktif masyarakat dan komunitas disabilitas juga penting untuk mengawal kebijakan agar benar-benar terlaksana. Penting untuk terus melakukan sosialisasi, edukasi, serta dialog antar pihak agar pemahaman tentang inklusivitas mengakar kuat dan menggerus residu pola pikir ableism.
Dengan semangat sinergitas, cita-cita pemenuhan hak, perlindungan, dan pemberdayaan penyandang disabilitas akan terwujud secara nyata. []