• Login
  • Register
Rabu, 16 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Insecure Hak Semua Orang, Terima dan Teruslah Hidup

Fase tertinggi dalam hidup adalah menerima segala hal yang terjadi pada diri. Hal itu sudah mencakup segalanya

Muallifah Muallifah
08/01/2022
in Personal
0
Insecure

Insecure

234
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pernah tidak sewaktu-waktu kamu melihat seseorang yang lebih daripada kamu? Barangkali dia lebih cantik darimu, atau lebih pandai bahkan dia yang lebih kaya, kemudian terciptalah rasa insecure yang yang timbul dalam diri dan menyebabkan keterasingan pada dirimu.

Bagi saya, insecure adalah hak semua manusia. Sebab perasaan semacam itu wajar ketika bersama dengan orang lain. Apalagi sebagai makhluk sosial, dipertemukan dengan orang baru dalam hidup, menjalankan fase yang berbeda dibandingkan dengan sebelumnya membuat kita akan semakin banyak bertemu dengan orang. Sehingga segala bentuk kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, dan kita tidak memilikinya merupakan sesuatu keniscayaan yang tidak bisa dilepaskan.

“Penjahat dalam kisah kita bukanlah ibu tiri yang kejam, teman yang berkhianat, orang-orang yang merendahkan kita. Tapi… our own insecurity.” Begitu kata Alvi Syahrin dalam bukunya yang berjudul “Insecurity is My Middle Name”.

Membaca buku di atas seperti menemukan diri yang hilang akibat terdistrak dengan hal-hal yang berada di luar saya sebagai manusia yang memiliki banyak kekurangan. Bagi Alvin dalam bukunya tersebut, kita semua pasti memiliki rasa insecure, entah persoalan masa depan, fisik yang tidak sama dengan yang lain, hidup yang tidak seberuntung orang lain, dll. Namun, jika kita fokus kepada itu saja, bagaimana semesta akan berpihak kepada kita agar bahagia? Bukankah kebahagiaan dimiliki oleh orang-orang yang mampu menerima segala hidup ini?

Kamu, saya dan kita semua berbeda

Ada kalimat menarik yang kiranya bisa menjadi pertimbangan dalam hidup bahwa, misalnya kita membandingkan diri dengan seorang Maudy Ayunda, tentu pencapaiannya akan sangat berbeda. Sebab sejak kecil, ia sudah mengkonsumsi berbagai bahan bacaan, les dari tempat yang satu ke yang lain, dilahirkan dari orang tua yang berpendidikan. Dengan umur yang sama dengan kita, perilaku, aktivitas dan kebiasaan yang sudah dibangun sejak kecil sudah berbeda dengan kita yang hidup di kampung.

Baca Juga:

Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian

Merawat Bumi Sebagai Tanggung Jawab Moral dan Iman

Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah

Akhirnya, faktor yang saya sebutkan di atas tidak bisa menjadi alasan dari setiap alasan mengapa kita harus insecure. Sebenarnya tidak masalah merasa insecure terhadap orang yang lain ketika pada kenyataannya diri kita merasa tidak semenarik, dan tidak seberuntung orang lain. Masalahnya adalah insecure yang dimiliki membuat kita tidak bergerak, tidak berusaha bahkan menegasikan seluruh kemampuan yang dimiliki sebab terdistrak dengan sesuatu di luar diri kita.

Membandingkan diri dengan orang lain memang sangat tidak mengenakkan. Apalagi perbandingannya tidak sama. Misalnya dalam contoh sederhana, saya membandingkan diri dengan si B.

Dengan kegiatan dan kebiasaan yang sama, menghabiskan waktu hanya rebahan, akan tetapi si B memiliki perusahaan yang dijalankan oleh para kayaawan, tidak fair ketika si B memiliki segala kemewahan yang dimiliki. Sebab ada faktor lain yang melatar belakangi mengapa hal itu bisa ia dapatkan tanpa bekerja. Dibandingkan dengan kita yang tidak punya perusahaan, menihilkan usaha dan kerja keras hanya karena si B tidak bekerja sebagai mana mestinya merupakan sesuatu yang sangat lucu.

Contoh di atas, kiranya kita bisa memahami bahwa membandingkan diri dengan orang lain merupakan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Apapun alasannnya.

Bersyukur dan menerima

Fase tertinggi dalam hidup adalah menerima segala hal yang terjadi pada diri. Hal itu sudah mencakup segalanya. Kita bisa melihat orang-orang di jalanan, tidur tanpa kasur yang empuk, tanpa baju bagus dengan pelbagai merk yang kita impikan, makan seadanya dengan lauk dan ikan yang tinggal pilih. Apakah mereka menyesal untuk hidup? barangkali beberapa waktu mereka akan demikian, tapi mungkin mereka tidak pernah menyesal untuk hidup.

Coba kita lihat bagaimana cara anak jalanan bertahan hidup, memungut sampah, ngamen di jalan. Siapa yang ingin takdir hidup seperti mereka? Bahkan tidak ada satu orangpun yang mau. Namun, mereka tidak berhenti berusaha, tidak menerima begitu saja. Artinya menerima segala kehendak Allah selalu disertai dengan usaha ataupun ikhtiar yang panjang. Termasuk bagaimana nasib yang sudah diberikan oleh Allah kepada umatnya. []

Tags: HidupInsecureKesehatan Mentalmanusia
Muallifah

Muallifah

Penulis asal Sampang, sedang menyelesaikan studi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta

Terkait Posts

Disiplin

Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian

15 Juli 2025
Inklusivitas

Inklusivitas yang Terbatas: Ketika Pikiran Ingin Membantu Tetapi Tubuh Membeku

15 Juli 2025
Kesalingan

Kala Kesalingan Mulai Memudar

13 Juli 2025
Harapan Orang Tua

Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah

12 Juli 2025
Berhaji

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

11 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Berbasis Gender Online

    Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO); Pentingnya Keberpihakan Pada Korban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Fondasi Pernikahan dengan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inklusivitas yang Terbatas: Ketika Pikiran Ingin Membantu Tetapi Tubuh Membeku

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perkosaan: Kekerasan Seksual yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengapa Kasus Perkosaan Terhadap Perempuan Masih Sering Terjadi?
  • Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian
  • Perkosaan: Kekerasan Seksual yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan
  • Inklusivitas yang Terbatas: Ketika Pikiran Ingin Membantu Tetapi Tubuh Membeku
  • Merawat Fondasi Pernikahan dengan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID