“Nothing about us without us” – Tidak ada kebijakan tentang kami tanpa melibatkan kami.
Mubadalah.id – Slogan ini menjadi pegangan kuat komunitas disabilitas di seluruh dunia. Tapi sebenarnya, siapa yang paling tepat memperjuangkan hak dan pemberdayaan penyandang disabilitas? Apakah harus dari “Insider/orang dalam” atau justru butuh dukungan “Outsider/orang luar”?
Ketika Pengalaman Pribadi Bicara
Bayangkan Anda mencoba menjelaskan rasa asin dalam garam kepada seseorang yang belum pernah merasakannya. Sulit, bukan? Begitu pula dengan pengalaman disabilitas. Seorang tuna netra sejak lahir memiliki pengalaman berbeda dengan seseorang yang kehilangan penglihatan di usia dewasa, dan keduanya punya realitas berbeda dengan penyandang disabilitas fisik.
Peran insider – penyandang disabilitas sendiri – menjadi sangat berharga karena mereka yang benar-benar “hidup” dalam realitas tersebut. Mereka paham tantangan sehari-hari, dari hal sederhana seperti menggunakan transportasi umum hingga kompleksitas menghadapi diskriminasi sistemik dalam pendidikan atau pekerjaan.
Penyandang disabilitas bukan sekadar subjek, tetapi mereka adalah orang-orang yang merasakan langsung apa yang tidak banyak dirasakan oleh banyak orang di luar sana—mulai dari tantangan fisik hingga hambatan sosial. Seringkali, riset atau teori hanya melihat aspek umum atau statistik besar, namun tidak bisa menyelami secara mendalam pengalaman personal yang mereka alami setiap harinya.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh informasi seperti sekarang, riset dan teori sering kali menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan. Namun, ada satu hal yang tak bisa tergantikan oleh sekadar data dan teori—yaitu pengalaman langsung. Pengalaman langsung tidak bisa tergantikan oleh riset atau teori. Insider memiliki pengetahuan berharga yang tak tergantikan tentang apa yang benar-benar dibutuhkan.
Kekuatan Aliansi dan Dukungan
Di sisi lain, outsider – mereka yang tidak memiliki disabilitas namun peduli dan mendukung – juga memainkan peran penting dalam ekosistem pemberdayaan. Kadang kita butuh jembatan. Outsider sering memiliki akses ke jaringan, sumber daya, dan platform yang belum tentu dimiliki komunitas disabilitas.
Ini bukan tentang “pahlawan tanpa disabilitas yang menyelamatkan”, melainkan tentang kemitraan strategis. Outsider yang efektif tidak berbicara “untuk” komunitas disabilitas, melainkan bekerja bersama mereka, memperkuat suara mereka, dan kadang mundur agar insider bisa tampil di garis depan.
Misalnya, ketika sebuah universitas ingin membuat kebijakan inklusif, keterlibatan dosen atau staf non-disabilitas yang memahami sistem birokrasi kampus dapat mempercepat proses, sementara masukan substansial tetap datang dari mahasiswa dan dosen penyandang disabilitas.
Masa Depan Pemberdayaan
Pemberdayaan penyandang disabilitas modern membutuhkan kolaborasi multi-level. Insider membawa pengalaman otentik dan visi tentang dunia inklusif, sementara outsider dapat menyumbangkan keahlian spesifik, jaringan, dan dukungan untuk mencapai visi tersebut.
Model pemberdayaan terbaik adalah kolaborasi setara antara insider dan outsider, di mana kedua pihak saling menghormati keahlian masing-masing. Yang terpenting, baik insider maupun outsider perlu terus belajar dan beradaptasi. Pengetahuan dan pendekatan terhadap disabilitas terus berkembang, dan kemitraan yang fleksibel antara kedua kelompok inilah yang akan membawa perubahan berkelanjutan.
Dalam perjuangan kesetaraan, semua orang punya peran. Bukan siapa yang lebih berhak bersuara, tapi bagaimana suara-suara berbeda itu bisa bersinergi mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua.
Karena kesetaraan bukan hanya soal memberikan hak yang sama, tetapi juga tentang mendengarkan, memahami, dan merangkul perbedaan yang ada. Setiap orang memiliki pengalaman dan perspektif yang unik. Inilah yang akan membawa kita pada sebuah masyarakat yang benar-benar setara. []