Mubadalah.id – Quraish Shihab dalam buku “Jilbab” memberikan pengertian bahwa jilbab adalah busana yang menutup seluruh tubuh perempuan kecuali wajah dan telapak tangan. Dalam penentuan batasan jilbab, Quraish Shihab tidak memberikan kesimpulan final batasan, bentuk, ataupun wajib tidaknya memakai jibab.
Sikap tawaqquf ini nenurutnya karena beragamnya ijtihad ulama klasik dan kontemporer baik memperbolehkan dan tidak memperbolehkan. Maupun usaha menentukan bentuk ideal dari jilbab masih perdebatan dengan beragam perbedaan batasan aurat.
Dan perbedaan ini justru memberikan alternatif bagi umat yang semuanya adalah kebenaran. Sehingga memudahkan umat melakukan beragam aktivitas pilihan yang telah agama benarkan. Dalam bahasa yang lebih sederhana kami memaknai sikap tersebut sebagai upaya untuk menghargai diskursus. Serta wacana hukum yang merupakan bagian dari pengetahuan.
Lebih jauh lagi, konstruksi paham atas wajib atau tidaknya jilbab bagi ulama KUPI yaitu salah satunya KH. Husen Muhammad menyatakan bahwa tidak berlaku lagi kewajiban jilbab khususnya di era sekarang tetapi juga tidak ada larang.
Bagi beliau latar belakang historis dari turunnya ayat tersebut adalah agar membedakan antara perempuan Muslimah merdeka yang terhormat dengan Muslimah hamba sahaya. Beliau juga beralasan kemunculan suatu hukum juga terjadi karena adanya ‘illat hukum.
Tidak Ada Larangan
Karenanya jika ‘illat hukum telah tiada maka hukumnya-pun ikut gugur sebab ‘illat-nya adalah untuk membedakan perempuan Muslimah merdeka dan budak. Praktik perbudakan telah dihapuskan dalam konteks kekinian namun, pemakaiannya-pun tidak dilarang.
Pertimbangan ini bersumber dari pemahaman beliau tentang latar belakang turunnya Surat al-Ahzab ayat 59 melalui buku al-Thabaqat dari Abu Malik karya Ibnu Sa’ad:
“Para istri Nabi Saw. pada suatu malam keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Pada saat itu, kaum munafiq menggoda, mengganggu dan melecehkan mereka. Para istri Nabi itu kemudian mengadukan peristiwa itu kepada Nabi. Sesuadah Nabi menegur mereka, kaum munafik itu mengatakan; “Kami kira mereka itu perempuan-perempuan budak. Lalu turunlah ayat ini.”
Di samping itu, menurut riwayat Abdul Razaq, Umar bin Khattab memukul seorang perempuan budak milik Anas yang tutup kepala, seraya berkata: “Buka tutup kepalamu, janganlah kamu menyerupai pakaian perempuan merdeka.”
Berdasarkan penjelasan di atas, beliau menyimpulkan bahwa perintah menutup aurat adalah dari agama. Namun, batasan mengenai aurat ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam segala aspek.
Untuk itu, dalam menentukan batasan aurat baik untuk laki-laki maupun perempuan diperlukan mekanisme tertentu yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkembang di masyarakat.
Sehingga dalam tingkat tertentu batasan itu bisa sebagian besar komponen masyarakat terima dan batasan itu pula yang akan menjadi pertimbangan bagaimana jilbab itu kita rumuskan. []