Jokpin, Puisi, dan Perempuan

Joko Pinurbo, atau yang kita kenal dengan Jokpin. Telah kembali kepada Tuhan yang Penyayang

Jokpin

Jokpin

Mubadalah.id – Hari ini kita mendengar kabar duka yang mendalam. Seorang Penyair Indonesia yang masyhur dengan karya telah meninggalkan kita. Senyap, sepi, diam-diam menunaikan ibadah puisi, kembali kepada Sang Pencipta. Joko Pinurbo, atau yang kita kenal dengan Jokpin. Telah kembali kepada Tuhan yang Penyayang.

Ketika mendengar nama Jokpin, saya selalu tersandung dalam bait puisi Celana, 1.

Ia ingin membeli celana baru

buat pergi ke pesta

supaya tampak lebih tampan

dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana

di berbagai toko busana

namun tak menemukan satu pun

yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga

yang merubung dan membujuk-bujuknya

ia malah mencopot celananya sendiri

dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya,

aku sedang mencari celana

yang paling pas dan pantas

buat nampang di kuburan?”

Lalu ia ngacir

tanpa celana

dan berkelana

mencari kubur ibunya

hanya untuk menanyakan,

“Ibu, kausimpan di mana celana lucu

yang kupakai waktu bayi dulu?”

Joko Pinurbo dan Puisi

Sejak pertama kali membaca buku kumpulan puisi Jokpin. Langsung terbesit dalam benakku, ah ini Penyair yang kucari sejak dulu. Bagiku Jokpin dan puisi adalah satu, menjadi candu. Sementara Jokpin membawa pembaharuan dalam sastra dan dunia puisi yang penuh imajinatif. Menjadi kata yang hidup dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana puisi Celana, 1. Puisi-puisi beliau yang lainnya pun seperti hidup dengan sempurna.

Jokpin bagaikan membawa angin segar bagi dunia kesastraan Indonesia. Merdeka, berdaya, penuh sukacita, dan berwarna. Dalam hal ini, karya-karya beliau telah menjadi makanan bagi pemuja imajinasi dan sarapan bagi pencinta puisi. Jokpin akan terus hidup dalam kata-kata yang merajalela pada benak semua pembaca.

Jokpin dan Perempuan

Philipus Joko Pinurbo lahir pada 11 Mei 1992 di Sukabumi, Jawa Barat. Dan melanjutkan kehidupan di kota sastra, Yogyakarta. Dalam karya-karyanya, Jokpin selalu menempelkan karakteristik yang sederhana namun kelakar. Sementara ia juga selalu menyematkan kesan mendalam pada perempuan. Seperti salah satu puisinya, yang berjudul Doa Seorang Pesolek.

Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.

Nyalakan lanskap, pada alisku yang gelap.

Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.

Taburkan hitam
pada rambutku yang suram.

Hangatkan merah
pada bibirku yang resah.

Semoga kecantikanku tak lekas usai
dan cepat luntur seperti pupur.

Semoga masih bisa kunikmati hasrat
yang merambat pelan menghangatkanku
sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek bajuku.

Sebelum Kausenyapkan warna.

Sebelum Kauoleskan lipstik terbaik
ke bibirku yang mati kata.

Gaya penulisannya yang kultural dan berkarakter. Menjadi mudah disukai pembaca awam, khususnya perempuan. Ia memadukan kata dan makna dalam satu tulisan. Merepresentasikan perempuan bagai rembulan. Terlebih sosok Ibu yang selalu ia sebut satu persatu dalam puisi-puisinya.

Sebagaimana Ibu dalam puisi Celana, 1. Terdapat pula Ibu dalam Cita-cita.

Setelah punya rumah, apa cita-citamu?
Kecil saja: ingin sampai rumah 
saat senja supaya saya dan senja sempat
minum teh bersama di depan jendela.

Ah, cita-cita. Makin hari kesibukan
makin bertumpuk, uang makin banyak
maunya, jalanan macet, akhirnya 
pulang terlambat. Seperti turis lokal saja,
singgah menginap di rumah sendiri
buat sekedar melepas penat.

Terberkatilah waktu yang dengan tekun 
dan sabar membangun sengkarut tubuhku 
menjadi rumah besar yang ditunggui
seorang ibu. Ibu waktu berbisik mesra,
“Sudah kubuatkan sarang senja 
di bujur barat tubuhmu. Senja sedang 
berhangat-hangat di dalam sarangnya.”

Selamat Jalan Jokpin

Puisi Jokpin selalu sarat akan makna, dewasa, dan sederhana. Dalam hal ini, memikat banyak cerita, menjunjung nilai retorika. Meskipun engkau telah pergi, namun namamu kan abadi. Selamat berpulang ke rumah impian. Selanjutnya kuburan yang padanya keabadian dinantikan.

Ada jalan kecil

menuju kebunmu:

ada hujan mungil

merayap pelan

ke liang kuburku.

(Jalan Sunyi, 2007). []

Exit mobile version