• Login
  • Register
Sabtu, 28 Januari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Kapan Nikah? (2)

Wanda Roxanne Ratu Pricillia Wanda Roxanne Ratu Pricillia
09/06/2020
in Personal
0
34
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Menurut Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, mandat menjadi manusia adalah menghamba kepada Allah, maka kita tidak akan menghamba selain kepada Allah dan tidak juga menghamba kepada Allah sambil menghamba kepada lainnya. Selain itu manusia mempunyai tugas dalam hidup menjadi khalifah fiil ard, untuk mewujudkan kebaikan, kesejahteraan dan kemaslahatan di muka bumi.

Jadi sebelum menikah, kita harus berlatih mendudukkan diri untuk tidak melihat manusia lain sebagai manusia fisik karena dengan status dan amanah itu berarti manusia menjadi manusia fisik sekaligus spiritual, dan intelektual. Fisik bukan jati diri manusia, justru spiritual dan intelektual. Nilai kita di hadapan Allah hanya ditentukan sejauh mana manusia bisa akal budinya untuk mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi.

Pada usia awal 20an saya ingin sekali nikah muda. Saat itu saya terbawa arus pemahaman menikah muda dan menikah menyempurnakan separuh agama. Sebagai perempuan “hijrah”, tentu saja ini membakar semangat saya. Justru kegalauan saya saat itu jauh melebihi kegalauan saya sekarang.

Membandingkan diri saya sekarang dan di awal 20 tahun, rasanya sekarang saya jauh lebih memahami diri saya. Sekarang saya paham bahwa memahami orang lain dimulai dari memahami diri sendiri. Jadi sekarang saya lebih berfokus pada pengembangan diri melalui buku, video, pelatihan, kursus, diskusi, dan mempelajari hal-hal baru. Saya tidak bisa membayangkan jika saya menikah pada usia 20 tahun, yang mana saat itu saya masih labil, egois dan tentu saja pengetahuannya masih sangat terbatas.

Menikah itu kan bukan perkara “kan sudah matang” secara fisik, tapi juga kesiapan mental menjadi suami/istri dan menjadi orangtua. Dan bagaimana memandang manusia lainnya. Saya yakin bahwa setiap orang yang memutuskan menikah, tidak akan menikah dan belum menikah, memiliki pengalaman, nilai-nilai dan pandangan hidup yang khas. Sebenarnya kita tak perlu ikut repot bahkan julid ketika orang lain sudah, tidak atau belum menikah.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • 3 Hal yang Perlu Ditegaskan Ketika Perempuan Aktif di Ruang Publik
  • Content Creator atau Ngemis Online?
  • 5 Pilar Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah
  • Menanti Hasil Fatwa KUPI dari Kokohnya Bangunan Epistemologi Part II-Habis

Baca Juga:

3 Hal yang Perlu Ditegaskan Ketika Perempuan Aktif di Ruang Publik

Content Creator atau Ngemis Online?

5 Pilar Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah

Menanti Hasil Fatwa KUPI dari Kokohnya Bangunan Epistemologi Part II-Habis

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nick Wolfinger, seorang Sosiolog di University of Utah, waktu ideal untuk menikah adalah usia 28-32 tahun. Saat itu adalah waktu ketika angka perceraian paling rendah. Yang kemudian akan meningkat seiring bertambahnya usia dan juga semakin muda usia orang menikah maka semakin besar kemungkinan perceraian yang jauh lebih tinggi dari usia 33 tahun lebih.

Kenapa usia 28-32 adalah usia yang tepat untuk menikah? Menurut Satu Persen, di umur itu kita sudah mengerti bagaimana berinteraksi dengan pasangan. Sudah cukup dewasa dan bisa mengambil keputusan rasional. Sudah bisa mengambil tanggung jawab untuk diri kita sendiri dan sudah siap secara finansial/ekonomi. Juga masih fleksibel untuk menyesuaikan gaya hidup baru setelah menikah.

Tapi penelitian lainnya menyatakan usia ideal menikah berbeda-beda. Tentu saja usia ideal menikah bagi setiap orang akan berbeda. Bisa jadi usia ideal menikah bagi seseorang adalah 20 tahun, bisa jadi 28 tahun atau 40 tahun. Tidak terbatas persepsi sosial yang “harus nikah sebelum usia 25 tahun”.

Menurut Ibu Nur, saat terbaik untuk menikah adalah saat kita sendiri sudah menemukan calon pasangan yang siap menjadi tim menikah yang tidak hanya secara fisik tapi juga menikah secara jiwa. Tujuan menikah adalah sakinah yaitu ketentraman hati. Ini tujuan yang luput saya pikirkan saat berusia awal 20an.

“Dan dari tanda-tanda (keagungan)-Nya, Dia menciptakan untuk kamu pasangan kamu, dari jenis yang sama dengan kamu, agar kamu bisa memperoleh ketentraman di sisinya, dan Dia menjadikan di antara kamu (pasangan-pasangan) rasa saling cinta dan sayang. Sesunggunya pada (semua) hal itu, ada tanda-tanda (keagungan Tuhan) bagi orang-orang yang berpikir”. (QS. ar-Ruum [30]: 21).

Menurut Ibu Nur, mawaddah adalah cinta yang memberi manfaat kepada pihak yang dicintai. Mawaddah penting tapi tidak cukup, karena jika mawaddah luntur maka tinggal egois saja sehingga tidak memikirkan kebahagiaan pasangannya. Mawaddah harus disertai rohmah, yaitu cinta yang memberikan manfaat pada orang yang dicintai. Rohmah saja tidak cukup, karena bisa bernasib seperti lilin yang menerangi dan memberikan manfaat tapi dirinya terbakar dan itu tidak akan tenang jiwanya.

Teman perempuan saya bercerita bahwa dia dikenalkan dengan anak teman orangtuanya. Dia akhirnya bertemu beberapa kali dengan lelaki itu tapi ternyata tidak cocok. Orang tua masing-masing akhirnya bertanya, mau dibawa ke mana hubungan mereka. Orangtuanya sedikit memaksanya, hingga dia putus asa dan menjawab “terserah ayah-ibu saja, aku manut.” Tentu saja ini membuat saya patah hati, karena dia sebenarnya ingin berkata tidak dan sudah berkata tidak.

Bagaimana jika pernikahan tanpa mawaddah? Apa iya, cinta itu akan datang setelah terbiasa bersama? Tanpa mawaddah, mungkin susah mendapatkan rohmah apalagi sakinah.

Apa yang harus kita persiapkan sebelum memutuskan untuk menikah? Menurut Satu Persen, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengenal pasangan dengan baik. Masih banyak saya dengar bahwa pasangan menjadi berubah secara ekstrem kea rah negatif setelah menikah.

Kedua, jangan pikir bahwa pernikahan adalah solusi dari semua permasalahan. Mungkin kita pernah membaca atau mendengar orang bilang, “Capek kuliah, ingin nikah saja”, atau “Saat wanita lelah bekerja, maka dia hanya ingin dinikahi. Menikah bukan fresh start sebagai solusi atas masalah-masalah kita.

Menurut Kyai Faqih, dengan menikah maka akan menemukan kelelahan-kelelahan yang lain terutama sebagai perempuan. Dalam al-Quran, hamil dan melahirkan disebut wahnan ‘ala wahnin yaitu lelah di atas lelah. Atau calon pasangan berharap dengan menikah maka dapat mengubah tabiat buruk calon pasangannya, yang mana itu mustahil.

Ketiga, menikah bukan untuk membuktikan sesuatu atau tekanan sosial. Menikah itu bukan untuk impress orang lain, tapi untuk kita dan pasangan kita. Menikah hanya karena tertekan, tentu saja hanya menambah stressor baru dalam hidup.

Keempat, belajar dulu sebelum menikah. Lebih baik menyiapkan skill untuk diri sendiri ataupun bersama calon pasangan. Sekolah pranikah, membaca buku hingga mengkuti diskusi seputar pernikahan, pengembangan diri dan parenting.

Menurut Kyai Faqih dalam buku Qira’ah Mubaadalah, pernikahan adalah kontrak perkongsian (izdiwaj) dan kerjasama (musyarakah), baik suami maupun istri memiliki tanggung jawab yang sama terhadap keberlangsungan keluarga dan rumah tangga. Jadi suami dan istri adalah hubungan setara sebagai partner, bukan hubungan seperti atasan dan bawahan.

Saat ingin menikah muda, saya tidak memahami konsep kesalingan dalam relasi. Saya melihat istri yang mencium tangan suaminya itu begitu “baper”. Sampai akhirnya saya melihat dosen saya ke kampus naik motor bersama istrinya, lalu istrinya mencium tangan dosen saya kemudian dosen saya gantian mencium tangan istrinya.

Jadi, kapan saya akan menikah? Saat saya menemukan partner yang mau mencium tangan saya di manapun setelah saya mencium tangannya. []

​​

Wanda Roxanne Ratu Pricillia

Wanda Roxanne Ratu Pricillia

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan Mahasiswa Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Pengalaman Perempuan

Writing for Healing: Mencatat Pengalaman Perempuan dalam Sebuah Komunitas

28 Januari 2023
Kampus Cantik

Akun Instagram Kampus Cantik, Sebuah Bentuk Glorifikasi Seksisme Bagi Perempuan

27 Januari 2023
Budak Cinta

Budak Cinta, Bumi Cinta, dan Mubadalah Cinta

24 Januari 2023
Ibu Mengeluh

Bolehkah Seorang Ibu Mengeluh?

21 Januari 2023
Menolak Feminisme

Gus Yahya Menolak Feminisme: Andai Ia bukan Ketum PBNU

21 Januari 2023
Feminisme Islam

Feminisme Islam dan Setelahnya

20 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fatwa KUPI

    Menanti Hasil Fatwa KUPI dari Kokohnya Bangunan Epistemologi Part II-Habis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Pilar Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Writing for Healing: Mencatat Pengalaman Perempuan dalam Sebuah Komunitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Atensi Pesantren Menjawab Isu Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Konco Wingking Dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 3 Hal yang Perlu Ditegaskan Ketika Perempuan Aktif di Ruang Publik
  • Content Creator atau Ngemis Online?
  • 5 Pilar Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah
  • Menanti Hasil Fatwa KUPI dari Kokohnya Bangunan Epistemologi Part II-Habis
  • Terminologi Mubadalah Berguna Untuk Gagasan Relasi Kerjasama

Komentar Terbaru

  • Menjauhi Sikap Tajassus Menjadi Resolusi di 2023 - NUTIZEN pada (Masih) Perlukah Menyusun Resolusi Menyambut Tahun Baru?
  • Pasangan Hidup adalah Sahabat pada Suami Istri Perlu Saling Merawat Tujuan Kemaslahatan Pernikahan
  • Tanda Berakhirnya Malam pada Relasi Kesalingan Guru dan Murid untuk Keberkahan Ilmu
  • Tujuan Etika Menurut Socrates - NUTIZEN pada Menerapkan Etika Toleransi saat Bermoda Transportasi Umum
  • Film Yuni Bentuk Perlawanan untuk Masyarakat Patriarki pada Membincang Perkawinan Anak dan Sekian Hal yang Menyertai
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist