• Login
  • Register
Senin, 7 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Kegelisahan Ayahku tentang Hak Waris Anak Perempuan (Part I)

Pemahaman ayah masih terhadap sumber-sumber klasik yang pada umumnya masih berisikan pemahaman yang tidak adil gender.

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
19/02/2021
in Pernak-pernik
0
Ayahku

Ayahku

270
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Semua ini berawal dari keresahan yang selalu dialami Ayahku. Anak pertamanya terlahir perempuan, tiga tahun kemudian lahirlah saya yang juga perempuan, dua tahun kemudian lahirlah kembali adikku yang ketiga, ternyata perempuan lagi. Saat itu kata Mamak belum ada teknologi USG, jadi jenis kelamin bayi dapat diketahui saat bayi tersebut dilahirkan.

Mengetahui anak ketiganya perempuan, Ayahku langsung pulang ke rumah dari rumah sakit. Mungkin ia kecewa. Ia tertidur, di dalam mimpinya ia bertemu dengan bapaknya dan berkata kepadanya, bahwa jika seseorang memiliki anak perempuan, maka kelak akan mendapat jaminan surga.

Seketika Ayahku terbangun dan membuka salah satu kitab miliknya. Ia lantas menemukan hadis-hadis tentang keutamaan memiliki anak perempuan, yakni sebagai jalan masuk surga (HR. Abu Daud); pelindung dari api neraka (HR. Ahmad); pelindung di hari kiamat (HR. Ibnu Majah); dan dekat dengan Rasulullah (HR. Muslim). Ayah merasa terhibur, dan langsung keluar dari rumah untuk kembali ke rumah sakit guna menjumpai istri dan anak ketiganya bersama dua anak perempuannya yang lain.

Dua tahun kemudian adik bungsu kami lahir. Anak keempat Ayah dan Mamak ini lagi-lagi perempuan. Selang beberapa tahun kemudian, rahim Mamak harus diikat karena Mamak memiliki kista yang disebabkan jumlah kelahiran yang terlalu banyak menurut diagnosa dokter. Pada saat itu juga, maka pupuslah kesempatan Ayah untuk memiliki anak laki-laki, karena ia memang tidak berniat berpoligami selama hidupnya.

Kendati Ayahku sudah menerima takdir bahwa ia tidak akan memiliki anak laki-laki, namun kami masih sering melihat adanya keresahan pada diri Ayah dengan kenyataan ini. Sehingga kami pun acap kali berseloroh untuk menghiburnya, “Lihat yah, kita juga bisa pasang lampu lo!” “Lihat Yah, kita kuat lo pasang galon!” “Lihat Yah, Mbak Fiya bisa lo  kerja di perusahan Ibu Kota.” Dan masih banyak lagi yang dilakukan anak dan istrinya untuk membuktikan bahwa tidak masalah kami perempuan, kami bisa melakukan apa yang anak laki-laki biasanya lakukan kok.

Baca Juga:

Surat yang Kukirim pada Malam

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

Keresahan Ayahku hanya memiliki anak perempuan sangat tampak dari sikap posesifnya, sangat tidak ingin anaknya didolimi. Ayah sangat rajin memantau keberadaan dan aktifitas anak-anaknya setiap hari, walaupun di tempat yang berbeda. Sikap Ayah yang demikian dapat kami maklumi, walaupun terkadang beberapa saudariku juga kerap berselisih karena ada hal yang tidak membuatnya nyaman, namun hal tersebut kami pahami sebagai tanda cinta Ayah kepada kami.

Tumbuh dan besar di lingkungan budaya patriarki ternyata tidak hanya berdampak pada kehidupan perempuan saja, tetapi juga pada kehidupan Ayahku, khususnya pada keresahannya yang seolah-olah tidak berkesudahan. Ia memiliki pemahaman, bahwa dalam budayanya, keberadaan anak laki-laki menjadi pancer untuk meneruskan garis keturunan. Memiliki anak perempuan membuat ia harus menjadi bodyguard yang senantiasa mengawasi anak-anaknya layaknya CCTV, karena ia menyadari, terkadang lingkungannya dirasa tidak cukup aman bagi anak-anaknya.

Tidak sampai di situ saja, keresahannya juga dikarenakan Ayah memiliki pemahaman terhadap hukum agama atau fiqih klasik yang memiliki beragam penafsiran dan belum ada pembaharuan dengan kondisi saat ini. Pemahaman ayah masih terhadap sumber-sumber klasik yang pada umumnya masih berisikan pemahaman yang tidak adil gender.

Ia sangat menghawatirkan bagaimana nasib anak-anak perempuannya jika maut datang menjemputnya. Karena sepengetahuannya, tirkah mayit yang tidak memiliki anak laki-laki maka akan terbagi juga ke jalur samping dan seterusnya. Hal tersebut menyebabkan Ayah mewakafkan sebagian besar hartanya untuk umat dan juga menghibahkan kepada anak-anaknya. Ayah tidak mau anak-anak perempuannya hanya mendapat sebagian kecil dari hartanya.

Agar tidak terdolimi sebagai perempuan, Ayah juga mengusahakan agar anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Semua ini ia lakukan untuk melaksanakan tugasnya sebagai orang tua dan juga untuk menjaga anak-anaknya dari ketidakadilan patriarki atas nama budaya dan agama.

Kebetulan kakak tertua dan saya menikah di waktu yang bersamaan. Menjelang pernikahan lagi-lagi Ayah dihinggapi keresahan tentang kebahagiaan anak perempuannya setelah menikah. Keresahan itu sangat saya rasakan, seolah-olah Ayahku adalah seorang perempuan yang akan menikah pada hari itu.

Ayahku khawatir setelah tanggungjawabnya dialihkan ke menantunya, anak perempuannya justru sengsara, sehingga pada saat sebelum akad nikah dilakukan, Ayah menodong dua calon menantunya untuk berjanji di hadapan para tamu yang hadir, bahwa mereka tidak akan memadu anaknya atau berpoligami sepanjang hidupnya.

Selepas menikah, keresahan Ayahku tentang kami masih ada. Ia masih memikirkan tentang usianya yang semakin senja, dan ia merasa telah mendekati ajal, karena seperti tradisi di keluarganya yang semua meninggal di usia 63, Ayah masih mencemaskan bagaimana nasib kami sepeninggalnya.

Sampai akhir hayatnya Ayah telah membuktikan, bahwasanya dia adalah laki-laki sejati yang telah melaksanakan perannya seadil mungkin kepada istri dan anak perempuannya. Ia setia kepada Mamak dan tidak pernah menghianati ataupun menyakitinya sampai akhir, Ia juga selalu memastikan kebahagiaan anak perempuannya meskipun tengah dalam keadaan kritis melawan covid-19.

Di saat kritisnya, ia masih memikirkan anaknya dan sulit tidur sejak Isya hingga menjelang tengah malam karena ingin mengucapkan selamat hari kelahiran kepada saya pada saat jam dua belas malam. Tepat jam 12 malam di saat saya baru bisa tertidur karena gejala sesak yang belum hilang, Ayah dengan bantuan Mamak menelfonku.

Dengan mengumpulkan seluruh tenaganya Ayah berkata, “Selamat ulang tahun Din, semoga sehat selalu.” Mungkin ini adalah doa terpendek yang Ayah panjatkan di hari ulang tahunku, sekaligus menjadi pembicaraan terakhir di antara kami sebelum Ia ditidaksadarkan dan kemudian berpulang seminggu kemudian.

Setelah Ayahku berpulang, ternyata keresahan yang Ayah alami masih menghantui Mamak dan kami, yakni tentang kami sebagai ahli waris yang notabenenya tidak ada anak laki-laki.

Sesungguhnya, budaya patriarki dan pengajaran teks agama yang bias gender tidak saja merugikan kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki. Hal ini bagaikan parasit ketidakadilan yang menempel di benak kebanyakan masyarakat awam. Bersambung…

Tags: Anak PerempuanayahHak WariskeluargaMonogamipoligami
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Bekerja adalah bagian dari Ibadah

Bekerja itu Ibadah

5 Juli 2025
Bekerja

Jangan Malu Bekerja

5 Juli 2025
Bekerja dalam islam

Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

5 Juli 2025
Kholidin

Kholidin, Disabilitas, dan Emas : Satu Tangan Seribu Panah

5 Juli 2025
Sekolah Tumbuh

Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

4 Juli 2025
Oligarki

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

4 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Ulama Perempuan

    Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia
  • Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial
  • Surat yang Kukirim pada Malam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID