Mubadalah.id – Internet telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, ia membuka akses informasi dan ruang ekspresi; namun di sisi lain, ia juga membuka celah baru bagi kekerasan.
Salah satu bentuknya adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) kekerasan seksual yang dimediasi teknologi, yang pelakunya memanfaatkan media sosial, dan platform digital untuk mengontrol, mengintimidasi, atau mempermalukan korban, khususnya perempuan.
SAFENet mencatat bahwa sepanjang tahun 2021, terdapat 677 kasus KBGO di Indonesia. Dari angka tersebut, 75 persen di antaranya merupakan penyebaran konten intim tanpa persetujuan (Non-Consensual Intimate Image Abuse/NCII).
Bentuk kekerasan lain seperti pelecehan seksual, doxing, pelanggaran privasi, dan impersonasi juga tercatat dalam laporan tersebut. Data ini menjadi penanda bahwa tubuh perempuan dan ekspresi intimnya masih rentan tereksploitasi, bahkan dalam ruang digital yang seharusnya netral.
Namun tantangan terbesar bukan hanya pada pelaku, tetapi juga pada sistem hukum yang kita gunakan untuk menangani kasus-kasus ini. Ironisnya, banyak kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) justru terjerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Alih-alih menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang lebih spesifik dan berpihak kepada korban. Padahal, adanya pengesahan UU TPKS sebagai bentuk jawaban atas kekosongan hukum terhadap kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di ruang digital.
UU ITE Berpotensi Menimbulkan Overkriminalisasi
Komnas Perempuan sejak 2021 telah mengingatkan bahwa penggunaan UU ITE berpotensi menimbulkan overkriminalisasi dan reviktimisasi korban.
Kekhawatiran ini juga sejalan dengan pengalaman beberepa pendampingan yang dilakukan oleh LBH Yogyakarta. Mereka mendapati banyak korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) justru mendapatkan beberapa perlakuan yang mungkin perlu mereka bagikan agar menjadi perbaikan kedepan ketika korban saat melapor.
Bahkan dalam beberapa kasus, korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) ditawari oleh aparat untuk menjerat pelaku menggunakan UU Pornografi, bukan UU TPKS. Tentu alasan tersebut berdasarkan analisa pendek yang dilakukan. Sebuah pendekatan yang meski tampak solutif justru bisa membalik posisi korban sebagai pelaku apabila aparat tidak memahami konteks kekerasan dan persetujuan dalam relasi digital.
Tak jarang pula, pendamping korban diminta untuk “menenangkan” korban atau bahkan menyarankan agar korban bertemu dulu dengan pelaku. Seolah mediasi personal lebih penting daripada kejelasan hukum.
Meskipun demikian, penting juga kita akui bahwa tidak semua aparat hukum bersikap demikian. Ada juga anggota kepolisian yang mulai memahami perspektif korban, berusaha mendengar tanpa menghakimi, dan menjalankan tugas dengan itikad baik untuk melindungi penyintas. Namun, persebaran perspektif yang berpihak pada korban ini masih belum merata, dan sering bergantung pada inisiatif individu, bukan sistem.
Lantas, mengapa UU ITE masih menjadi pilihan utama dalam penanganan kasus KBGO?
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi. Pertama, UU TPKS masih dianggap sebagai undang-undang baru, sehingga belum semua aparat penegak hukum memahami atau terbiasa menggunakannya. Kedua, dari sisi ancaman pidana, UU ITE memberikan hukuman yang lebih tinggi.
Misalnya, Pasal 45A ayat (2) UU ITE mengatur pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda hingga Rp1 miliar. Sedangkan Pasal 14 UU TPKS, yang lebih relevan secara substansi, hanya mengatur pidana penjara maksimal 4 tahun dan denda maksimal Rp200 juta.
Sayangnya, pendekatan hukum hanya fokus pada beratnya hukuman bagi pelaku justru mengaburkan kepentingan utama dalam penanganan KBGO pemulihan korban. Di sinilah UU TPKS memiliki keunggulan yang tidak UU ITE miliki. UU TPKS bukan hanya memuat sanksi pidana, tetapi juga menjamin hak-hak korban mulai dari pendampingan psikologis, konseling, layanan kesehatan, hingga pemulihan sosial dan ekonomi.
Dengan kata lain, UU TPKS hadir bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi untuk mengembalikan martabat korban, memastikan bahwa mereka tidak lagi berjalan sendiri dalam proses yang melelahkan dan traumatis.
Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa implementasi UU TPKS masih jauh dari optimal. Minimnya pemeratan pelatihan terhadap aparat, kurangnya sosialisasi, dan kuatnya budaya patriarki dalam penegakan hukum menjadi hambatan nyata. Banyak aparat hukum yang belum memahami bahwa KBGO adalah bagian dari kekerasan seksual, bukan sekadar pelanggaran digital biasa.
Pendekatan Restoratif dan Transformatif
Karena itu, penyelesaian kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) seharusnya tidak hanya menggunakan pendekatan represif, tetapi juga mengintegrasikan pendekatan restoratif dan transformatif. Pendekatan yang berpijak pada kebutuhan korban, bukan hanya pada besarnya hukuman pelaku.
Selain itu, pendekatan yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, pemerintah, dan media, untuk membentuk sistem yang benar-benar adil dan berpihak pada penyintas.
Kini kita berhadapan dengan pertanyaan penting, Apakah kita akan terus mengandalkan pasal-pasal UU ITE yang berpotensi menyudutkan korban? Ataukah kita berani mendorong UU TPKS sebagai wajah baru hukum yang lebih berpihak pada kepetingan korban?
UU TPKS tidak hanya hadir untuk memberi sanksi. Ia hadir sebagai bentuk keberpihakan. Sebuah undang-undang yang jika kita jalankan dengan sungguh-sungguh dapat menjadikan hukum sebagai ruang pemulihan, bukan luka tambahan. []