Mubadalah.id – Umum rasanya jika kita mendengar istilah love language. Lalu bagaimana dengan stress language? Ternyata tubuh kita tidak hanya membutuhkan unsur cinta dan kasih sayang. Ada sinyal lain yang harus kita pahami sebagai respon dari perasaan tidak nyaman atau tekanan lainnya.
Apa itu stress language?
Stress language merupakan cara seseorang dalam merespon stres melalui bahasa verbal, nada suara, pola perilaku, dan pola pikir. Pada dasarnya setiap manusia memiliki sisi emosional. Yaitu reaksi psikologis dan fisiologis terhadap suatu keadaan maupun kondisi yang melibatkan pengalaman, perilaku, dan perasaan.
Dengan memahami stress language, kita dapat mengontrol emosi negatif agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Selain itu, kita dapat mengomunikasikannya kepada pasangan, kerabat, maupun teman secara bijak. Melansir dari website Hellosehat, ada lima jenis stress language yang dimiliki seseorang.
The Exploder
Sesuai dengan artinya yaitu bahan peledak. Seseorang dengan jenis ini cenderung reaktif dalam merespon tekanan atau masalah yang ada dalam dirinya. Emosi yang muncul seringkali berupa fight yaitu melawan. Misalnya ketika mereka terseret dalam situasi sulit atau tertekan, ia tidak segan untuk berteriak, marah-marah, atau juga bisa menangis.
The Imploder
Jika exploder adalah bahan peledaknya, maka imploder adalah si pembuat bahan peledak tersebut. Tipe imploder lebih suka memendam perasaan negatifnya. Ketika sedang banyak tekanan, mereka memilih untuk memendamnya. Sekilas lebih baik, namun dampak panjangnya lebih buruk dari exploder.
Sebut saja seperti bom waktu. Ia tidak meledak sekarang, namun berpotensi meledak di lain waktu dengan skala yang lebih besar tergantung berapa banyak tekanan yang terpendam selama ini. Maka tidak heran, menguraikan reaksi negatif secara bertahap sangat diperlukan dalam menjalin relasi dengan siapapun.
The Fixer
Hampir sama dengan exploder. Mereka cenderung reaktif dalam merespons suatu tekanan. Namun, fixer akan mengerahkan perhatiannya kepada solusi untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Sedangkan exploder hanya fokus dalam menyalurkan emosinya.
Seseorang dengan jenis stress language ini cocok menjadi pemimpin. Karena mereka lebih fokus terhadap solusi bukan masalah. Sisi negatifnya, stress language ini dapat membuat seseorang untuk mencoba memperbaiki sesuatu yang sebenarnya tidak perlu.
The Denier
Jenis Denier hampir sama dengan fawn (menghindar) dalam merespon tekanan. Bisa juga kita menyebutnya dengan istilah denial (menolak). Ketika masalah muncul, reaksi mereka adalah dengan mencari hal positif di dalamnya. Terdengar positif, namun kurang baik. Maka tidak heran banyak kalangan psikologis menyebutnya sebagai toxic positivity.
Cara ini bukan sepenuhnya salah, namun dapat mengantarkan seseorang pada situasi buruk yang berulang.
The Number
The Number secara sengaja membuat dirinya mati rasa terhadap perasaan stres. Mereka ingin terlihat baik-baik saja, meskpiun jiwanya penuh dengan tekanan. Alih-alih agar terlihat baik-baik saja, mereka mengalihkannya pada kegiatan yang justru merugikan.
Tak jarang, orang-orang dengan tipe ini memilih untuk menyalurkan stresnya dengan penyalahgunaan alkohol, konsumsi narkotika, kecanduan game dan gadget secara berlebihan.
Pentingnya mengetahui stress language dalam menjalin hubungan
Dalam romansa percintaan, akan rentan terjadi konflik jika tidak memiliki komunikasi yang sehat. Memahami stress language diri sendiri dan pasangan termasuk ke dalam komunikasi non verbal yang dapat meningkatkan sensitifitas (kepekaan) satu sama lain.
Setelah mempelajari love language pasangan, kita akan mengusahakan agar pasangan kita merasa dicintai seutuhnya. Pun sama dengan stress language, kita perlu mengetahui kondisi pasangan saat sedang berada di kondisi yang tertekan atau stres.
Pasangan adalah rumah, tempat kembali ketika seharian penuh beraktivitas di ruang publik. Melepas penat dan kembali mengisi energi dengan orang tercinta. Ketika pasangan kita sedang stres tapi kita tidak mengetahuinya, maka dapat menjadi magnet konflik. []