Mubadalah.id – Di dalam kehidupan keluarga, sering kali kita dihadapkan pada realitas bahwa semua pekerjaan domestik adalah tanggungjawab perempuan. Perempuan harus bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Baik itu masak, bersih-bersih rumah dan semua pekerjaan lainnya.
Realitas inilah yang masih melekat dalam kehidupan keluarga sebagain masyarakat kita. Termasuk saya sendiri ketika di rumah masih mengalami hal demikian.
Misalnya, saya sering menyaksikan sendiri bagaimana ibu itu mulai menjalankan aktivitasnya sejak setelah shalat Subuh.
Biasanya yang pertama ibu lakukan setelah shalat Subuh adalah ia mulai dengan mencuci baju, cuci piring, menyapu, ngepel hingga masak untuk menyiapkan sarapan.
Bahkan saat semua sedang sarapan, ibu selalu menyambi dengan pekerjaan lainnya. Misalnya tidak jarang ibu juga langsung mencuci wadah bekas yang tadi telah dipakai untuk masak. Lalu setelah semua beres, ibu baru makan sarapan. Setelah itu ia lanjut menjemur baju.
Kira-kira begitulah yang mungkin sebagian besar yang masih dilakukan oleh beberapa keluarga di tengah kehidupan masyarakat kita.
Pada awalnya aku mengamini seluruh apa yang dilakukan oleh ibuku. Bahkan tidak jarang ibu juga mendidik aku dan adik-adikku untuk bisa meneladani apa yang ia lakukan.
Namun, setelah saya masuk dan belajar menjadi mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, ternyata apa yang dilakukan oleh ibu adalah salah satu bentuk dari konstruksi budaya yang patriakhi. Yaitu perempuan adalah manusia kedua setelah laki-laki.
Sehingga seluruh kehidupan perempuan berada di bawah laki-laki. Jadi mau tidak mau perempuan harus patuh dan taat kepada laki-laki. Hal inilah yang kemudian berdampak kepada kehidupan perempuan setelah menikah. Ia harus mengerjakan semua pekerjaan baik sumur, dapur dan kasur.
Apa yang perempuan di atas, saya dapat mengetahui, bahwa semua praktik di atas adalah bentuk-bentuk ketidak adilan gender. Para perempuan selalu mengalami beban ganda dan ia juga selalu didomestifikasi dan didiskriminasi oleh budaya patriakhi.
Ajaran Islam
Oleh sebab itu, menurut saya, apa yang perempuan alama di atas sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Islam datang justru untuk memuliakan perempuan dan menghormatinya.
Bahkan dalam persoalan pekerjaan domestik, Nabi Muhammad Saw telah memberikan banyak teladan. Termasuk dalam beberapa catatan Hadis, nabi juga kerap melakukan kerja-kerja domestik. Hal ini kita bisa temui dari Hadis yang diriwayatkan oleh Aswad bin Yazid.
Aswad bin Yazid berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah Ra. mengenai apa yang Nabi Muhammad Saw perbuat di rumah. Aisyah menjawab, “Beliau selalu membantu keluarganya. Ketika datang waktu shalat, beliau bergegas pergi untuk melaksanakan shalat.” (Shahih al-Bukhari).
Teks ini, menurut Kiai Faqihuddin Abdul Kodir seperti di dalam buku 60 Hadis Shahih, bercerita tentang sisi kehidupan Nabi Muhammad Saw yang tidak segan-segan untuk ikut melakukan kerja-kerja rumah tangga.
Bahkan dalam buku Perempuan bukan Makhluk Domestik, Kiai Faqih menjelaskan bahwasanya pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab bersama seluruh anggota keluarga yang tinggal bersama di dalam rumah. Segala aktivitas di dalamnya menjadi kepentingan keluarga, seperti membersihkan rumah, mencuci baju, memasak, juga menjaga, menemani, dan mendidik anak.
Oleh karena itu, dengan memiliki kesadaran seperti ini, nanti ketika pulang ke rumah nanti. Aku ingin membawa praktik baik ini, untuk aku wujudkan dalam kehidupan keluargaku. Aku ingin bilang ke ibu dan bapak, kalau kerja-kerja domestik itu menjadi kerja bersama seluruh anggota keluarga.
Mari bapak dan adik-adikku, kita harus memiliki kesadaran ini. Tugas dan pekerjaan domestik adalah kerja kita bersama. Jangan pernah lah lagi menjadikan ibu untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga. Tapi bagaimana, kita sama-sama melakukan itu semua. []