• Login
  • Register
Minggu, 18 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Ketika Misoginisme Dikemas dengan Label Agama

Caranya mereduksi perempuan sebagai makhluk yang dinilai dari bentuk dan fungsi fisiknya, tak pernah sejalan dengan nilai moral manapun juga.

Fatimatuz Zahra Fatimatuz Zahra
11/12/2024
in Publik, Rekomendasi
0
Misoginisme

Misoginisme

761
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belakangan ini seorang penceramah tengah menjadi bulan-bulanan warganet akibat mengolok-olok seorang pedagang dari atas panggung tempat ia ceramah. Cuplikan video tersebut menjadi bensin yang dengan cepat menyulut api kemarahan warganet. Tak hanya di Indonesia, bahkan sejumlah media internasional juga turut menyoroti kejadian tersebut.

Namun, ada satu hal penting yang nampaknya tak banyak menjadi perbincangan dari viralnya sang penceramah. Yaitu bahwa ia adalah sosok dengan cara pikir misoginis yang mengemas kebenciannya terhadap perempuan dalam label agama.

Pada cuplikan video viral saat sang penceramah menghina pedagang, setelah itu ia ternyata menyambung “guyonan” nya dengan kalimat misoginis nir konteks. Ia mengatakan bahwa zaman sekarang banyak perempuan yang ditinggal suaminya berdagang, namun tiba-tiba hamil.

Seperti yang terjadi pada guyonannya yang mengolok-olok pedagang.  Kalimat lanjutannya yang misoginis pun turut disambut gelak tawa oleh para lelaki yang berada di atas panggung bersamanya.

Tak hanya sikap misoginisme itu. Beberapa hari berselang beredar pula video lama yang menujukkan cara guyonan pelaku. Yakni dengan melakukan kekerasan seksual secara verbal terhadap seniman perempuan senior di atas panggung. Dia mengolok-olok tubuh dan rupa beliau. Dalam video tersebut, pelaku mengandaikan jika sang seniman berparas cantik mungkin ia tak akan menjadi seniman, tetapi pekerja seks.

Baca Juga:

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

Teks Lengkap Ceramah Nyai Dr Hj Nur Rofiah, Bil. Uzm di Masjid Istiqlal Jakarta

Teks Lengkap Ceramah Nyai Badriyah Fayumi di Masjid Istiqlal Jakarta

Memberikan Porsi Kultum Ulama Perempuan di Mimbar Ramadan

Cacat Logika

Kalimat-kalimat di atas selalu disebut oleh pelaku dan orang-orang di sekitarnya sebagai bagian dari cara berdakwah dengan menggunakan lawakan. Namun, kita perlu tahu bahwa dalam sebuah lawakan selalu ada objek yang menjadi bahan tertawaan dan di situlah kepekaan kita sebagai manusia teruji. Apakah kita memilih menjadikan diri sendiri dan pemegang kekuasaan sebagai objek tertawaan?

Sebagaimana yang kerap kali Gus Dur lakukan dahulu. Atau seperti halnya yang sedang viral sekarang, menjadikan orang lain yang kita anggap tak sederajat dengan diri kita menjadi bahan tertawaan. Kali ini, dengan membuang jauh kesadaran akan privilege dan membawa serta akar kebencian terhadap diri perempuan.

Ketika ketidakpekaan terhadap realitas sosial tersebut kita bawakan di atas mimbar dakwah. Seolah-olah hal tersebut menjadi benar, hanya karena tersampaikan di sela-sela pembacaan dan penjelasan terhadap ayat suci.

Cacat logika argumentum ad-populum memainkan peran penting dalam hal ini. Yaitu dengan membela atau bahkan menganggap benar sebuah argumen hanya karena hal tersebut tersampaikan oleh orang terkemuka yang kita anggap tidak mungkin melakukan kesalahan.

Terlebih, jika orang yang kita maksud adalah profil yang dilekatkan dengan pemahaman agama yang baik, sehingga ia juga kita ekspektasikan untuk memiliki dan memegang teguh nilai moral. Sebagaimana yang agama ajarkan, dan oleh karenanya, ia kemudian kita anggap tak mungkin melakukan kesalahan.

Petuah Cak Nun

Dengan cara berpikir yang demikian, kita akhirnya berhenti menjadi kritis. Lalu mengiyakan apa saja yang pelaku katakan. Termasuk ketika ia melemparkan ujaran kekerasan seksual secara verbal melalui bercandaan yang klasis, seksis dan misoginisme seperti yang terungkap belakangan ini.

Hal ini membuat saya teringat dengan petuah Cak Nun, bahwa ada pesan penting di balik banyaknya syarat sah ritual ibadah yang menyebut kata “berakal” sebagai salah satunya. Kata Cak Nun, itu menunjukkan bahwa syarat utama untuk kita bisa beragama dengan baik adalah mendaya gunakan akal kita. Tidak membiarkannya disetir, terperdaya atau bahkan dimanipulasi oleh siapapun. Termasuk yang mungkin kita sebut sebagai pemuka agama.

Karena hanya dengan begitu, kita bisa sampai pada kejernihan berpikir terhadap apa yang benar-benar Tuhan kehendaki, atau hanya ambisi para pesohor yang sedang mabuk popularitas.

Dalam hal pelaku yang menumbuh suburkan kebencian terhadap diri perempuan, yang kita lakukan atas nama agama, rasa-rasanya kita perlu mempertanyakan kemampuannya dalam mendaya gunakan akalnya.

Lupa Caranya Memanusiakan Manusia

Apakah ia benar-benar penyampai firman Tuhan? Atau hanya sesosok laki-laki berprivilege yang menganggap bahwa perempuan bukanlah manusia seutuhnya, sehingga layak kita benci dan kita hina. Termasuk melalui apa yang ia sebut sebagai sekadar bercandaan semata. Caranya mereduksi perempuan sebagai sekadar makhluk yang dinilai dari bentuk dan fungsi fisiknya, rasa-rasanya tak pernah sejalan dengan nilai moral manapun juga.

Yang tak kalah ironis dari peristiwa ini adalah bahwa pelaku adalah orang yang sempat menjalankan perjalanan ‘dakwah’ ke tempat-tempat yang dianggap hina, seperti bar dan lokalisasi. Dulu, ia berkeyakinan bahwa berdakwah harus dilakukan dengan rasa hormat terhadap sesama manusia. Salah satu caranya adalah dengan mendatangi mereka dan bukan meneriaki mereka dari mimbar yang jauh.

Namun, pengalaman berharga itu sekarang hanya menjadi pajangan dan ajang berbangga untuknya. Sayangnya, ia seolah tak pernah benar-benar belajar mendengar pengalaman orang-orang yang rentan dan memahami manusia dengan segala macam irisan identitas yang menjadi bagian hidupnya. Ia seolah lupa caranya memanusiakan manusia. []

Tags: Candaan SeksisCeramahdakwahKasus Gus MiftahMisoginisme
Fatimatuz Zahra

Fatimatuz Zahra

Akun Sosial Media : Fatimatuz Zahra(Facebook), @fzahra99_(instagram)

Terkait Posts

Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nyai Ratu Junti

    Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version