Mubadalah.id – Mungkin bagi beberapa kalangan sudah mengenal tentang kisah Hilda yang tertulis di dalam Novel Hilda. Novel yang mengisahkan tentang perjuangan perempuan melawan trauma, keadilan dan tabir dibalik konstruksi sosial. Seperti dijelaskan dalam beberapa tulisan tentang pilu dan luka seorang penyintas kekerasan seksual yang tergambar dalam tulisan saya sebelumnya, Film 27 Step Of May dan Proses Panjang Melawan Trauma yang diterbitkan di Mubadalah.id. Mungkin seperti itulah gambaran seorang penyintas kekerasan seksual.
Menurut saya sangatlah keji bagi mereka yang meninggalkan luka baik fisik, psikologis, sosial dengan melakukan tindak kekerasan seksual. Dengan adanya Novel Hilda mengantarkan pembaca untuk lebih terbuka membaca realitas di sekitar, sambil mengajak pembaca untuk lebih kritis memandang dan menyikapi kesenjangan sosial.
Novel Hilda lahir atas kemauan, dan keinginan penulis yaitu Muyassarotul Hafidzoh untuk mewujudkan dan merealisasikan atas apa yang didapatkannya dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia atau KUPI. Upaya ini dilakukan sebagai sarana edukasi melalui karya sastra, yang dianggap efektif untuk menyampaikan pesan tentang pencegahan, dan penanganan kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan sang novelis ada beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya Novel Hilda. Pertama, hadirnya ide untuk menulis novel berasal dari keinginannya untuk memberikan sumbangsih kepada KUPI. Khususnya dalam menyuarakan keadilan bagi semua pihak dan memberantas kekerasan seksual.
Kedua, sebagai seorang yang consent dalam isu gender dan seksual melihat keadaan yang hampir didominasi oleh budaya patriarki membuatnya ingin menuliskan apa saja dampak dari patriaki. Hingga suatu ketika ditemukannya kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu sekolahan di Indonesia.
Ketiga, pesantren sebagai tempat yang aman bagi semua orang dan semua kalangan. Dari sinilah sang novelis menjabarkan dalam tulisannya bahwa pesantren seharusnya lebih aware dan terbuka terhadap isu-isu gender dan seksualitas. Keempat, ditambahkannya kisah romance tentang Hilda dan Mas Wafa sebagai wujud bahwa seorang penyintas juga dapat melanjutkan hidupnya termasuk pernikahan.
Kelima, novel Hilda juga membuka pemahaman bahwa zina dengan pemerkosaan sangatlah berbeda. Zina dilakukan dengan suka sama suka antara pasangan yang belum menikah dan pemerkosaan dilakukan dengan adanya unsur pemaksaan dan pihak yang dipaksa menjadi korban seutuhnya.
Latar belakang novel Hilda dengan kondisi sosial yang ada di sekitar kita sangatlah dekat. Dalam kasus pemerkosaan korban justru yang mendapatkan beban berlipat ganda. Mulai dari rasa trauma, baik secara fisik, psikologis dan sosial, dikeluarkan dari sekolah, mendapat stigma, dan minimnya sekolah yang bisa menerima penyintas.
Masyarakat saat ini belum sepenuhnya mengerti tentang bagaimana menghadapi kasus-kasus kekerasan seksual. Oleh sebab itu perlu adanya advokasi dan edukasi yang merata bagi semua kalangan. Sebab tindakan kekerasan seksual dapat terjadi di manapun, kapanpun, dan tidak mengenal status sosial maupun jenis kelamin.
Novel Hilda merefleksikan tentang bagaimana kondisi saat ini, di mana masih menganggap perempuan itu lemah, objek seksual, dianggap aib ketika mengalami tindak kekerasan seksual, hingga sulitnya mendapat kepercayaan untuk menikah. Di samping pandangan-pandangan tersebut, justru pembaca diajak berpikir kritis, dan diluruskan pemahamannya yang masih kaku dan keliru tentang isu gender dan seksualitas.
Meskipun pernah menjadi korban kekerasan seksual, tetapi mereka tetap harus diberi semangat dan motivasi, bahwa mereka masih memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, serta menggapai cita-citanya. Bahkan mereka juga berhak untuk merasakan indahnya mencintai, dan dicintai, serta kebahagiaan membina rumah tangga.
Berdasarkan tulisan singkat ini, pelajaran yang dapat dipetik dibalik kisah Hilda ialah tidak memberikan victim blamming kepada korban, menganalisis lebih dalam dibalik terjadinya kasus pemerkosaan, sekolah tidak boleh gegabah mengambil keputusan apabila ada siswa yang menjadi korban atau pelaku kekerasan.
Sebaliknya, sekolah diharapkan bisa menyediakan ruang aman bagi korban untuk melanjutkan pendidikan, memberikan pemahaman bahwa zina dengan pemerkosaan berbeda, membuka ruang bagi perempuan dalam menyuarakan aspirasi, tidak menstereotipe korban dengan menganggapnya makhluk yang tidak suci, dan menghadirkan motivasi agar korban dapat melanjutkan hidup. Terimakasih. []