Mubadalah.id – Hingga saat ini, persepsi sebagian masyarakat kita masih menggunakan istilah kodrat perempuan hanya untuk mengecilkan peran sosial perempuan dalam masyarakat, membatasi, mengekang, bahkan melecehkan mereka.
Misalnya, ungkapan bahwa kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga, sering sebagian orang gunakan untuk mengekang perempuan agar tinggal di dalam rumah saja dan tidak banyak keluar sekalipun untuk belajar atau bekerja.
Ketika bekerjapun, pekerjaan perempuan sebagian orang anggap sebagai sambilan untuk membantu suami. Karena itu ia mendapat gaji juga sambilan dan tidak utuh. Persepsi kodrat seperti ini, yang menyebabkan perempuan pembantu rumah tangga misalnya, mendapat gaji sangat kecil. Meskipun jenis pekerjaanya cukup melelahkan dan melebihi batas kewajaran.
Jika kita bandingkan, pasti upah pembantu rumah tangga lebih kecil dari gaji supir yang hanya melakukan pekerjaan antar-jemput majikan.
Masih banyak lagi persepsi kodrat yang berkembang di masyarakat, yang pada praktiknya sering merugikan perempuan. Mereka seringkali harus hidup sesuai kodrat yang masyarakat asumsikan, padahal peran mereka sudah tidak lagi bisa sesuai dengan kodrat tersebut.
Ketika dipaksakan, yang terjadi adalah keburukan, pelecehan dan kezaliman. Seperti kodrat keibuan, lemah lembut, dipilihkan dan dikawinkan, dilindungi, pendamping suami, pasifitas dalam hal kebutuhan seks, dinafkahi dan tidak menafkahi, emosional dalam membuat keputusan, hidup di dalam rumah dan menjadi figur penggoda bagi masyarakat.
Persepsi kodrat ini sering diperkuat dengan pandangan-pandangan yang dianggap sebagai ajaran agama Islam. Padahal di dalam ajaran Islam, perempuan dan laki-laki adalah setara dalam memperoleh hak dan kewajiban.
Dalam ungkapan Nabi Muhammad Saw menyebutkan, bahwa “Perempuan adalah mitra sejajar laki-laki” (Hadis Abu Dawud dan Turmudzi). []