Mubadalah.id – Media Sosial Tik Tok sedang marak, terkait seseorang yang sedang melakukan komodifikasi agama. Komodifikasi agama biasanya ada kalimat yang menjadi bumbu manis dan tidak jarang ada unsur kebohongan. Melakukan kebaikan, masuk konten lalu bisa mendapat cuan. Misalnya merasa punya hubungan spesial dengan Gus. Lalu bagaimana agama memandang perilaku ini.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Munafiqun ayat 1 menegaskan bahwa orang-orang yang berdusta termasuk orang munafik. Berbohong akan membawa kerugian bagi pelakunya. Sikap inilah yang dipastikan akan menjadi boomerang nantinya.
إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ قَالُواْ نَشۡهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ لَكَٰذِبُونَ
Komodifikasi berasal dari dua kata, yakni komoditi dan modifikasi. Komodifikasi adalah perubahan nilai dan fungsi dari suatu barang atau jasa menjadi komoditi yang memiliki nilai ekonomi. Tiga bentuk komodifikasi yaitu
Pertama, komodifikasi konten. Konten dibuat semenarik mungkin untuk menarik hati masyarakat. Contohnya konten kegiatan sehari-hari yang terkadang tidak membedakan mana privacy dan konsumsi publik, seperti video Ra R*cis. Konten bagi-bagi duit seperti yang dilakukan Ba*m Wong, sehingga menarik para penonton berkunjung ke kediamannya untuk meminta bantuan.
Kedua, komodifikasi audiens. Contohnya tayangan video konten yang menghadirkan realitas kehidupan artis, sehingga bisa menaikkan viewer dan mendapatkan banyak penonton. segala hal yang menyangkut orang banyak, hal ini bisa berbentuk positif, namun juga ada kejadian negatif, misalnya video kejadian laka-lantas, tawuran, perselingkuhan, dst. yang berdampak kita seperti terbiasa mengkonsumsi kejadian tersebut.
Ketiga, komodifikasi pekerja. Para pekerja, pegawai, karyawan, pedagang kecil dan tenaga kasar lainnya, menjadi komoditas. Contohnya konten terkait sulitnya mendapat pekerjaan, kemudian mengundang penonton untuk membeli dagangannya, konten pedagang asongan, penjual lansia atau pekerja lainnya. Hal ini bisa berbentuk positif, asal tidak ada unsur eksploitasi yang bisa menjadi boomerang pada orang terkait di kemudian hari.
Bentuk Nyata dari Kapitalisme
Konten media sosial adalah bentuk nyata dari aspek kapitalisme yang berada dalam lingkup media massa. Konten dengan teknik persuasifnya berusaha menarik masyarakat menyukai, dan membeli produk yang ditawarkan. Kondisi ini mengarah pada masyarakat libidonomic atau masyarakat yang berpikir atas dasar nafsu bukan pemikiran yang realistis.
Komodifikasi budaya adalah suatu modifikasi yang awalnya sakral menjadi komersial. Adanya kepentingan agar memperkuat identitas dan memberi nilai secara ekonomi kepada pelaku. Komodifikasi agama adalah upaya mengubah aspek-aspek agama demi mendatangkan profit, suatu bentuk perdagangan yang kemudian terjadi pertukaran nilai.
keduanya memiliki ciri khas yang awalnya dijaga secara sakral, kemudian menjadi normalisasi dengan kebalikannya. contoh kecil saat ada seseorang yang menggunjingkan nama besar seorang kiai dalam sebuah acara live supaya mendapat simpati dari netizen. contoh lain, kegiatan religius yang biasanya dilakukan diam-diam namun kemudian diekspose di konten, acara bagi-bagi, bercumbu dengan lawan jenis, kegiatan mandi lumpur, dst.
Libidonomic dan Kapitalisme
Semakin dunia berkembang maka semakin besar pula dinamika yang terjadi di media sosial. Berbagai kepentingan berlomba-lomba untuk mengambil tempat. Public Sphere atau ruang publik di media sosial menjadi alat untuk membentuk, menguatkan, atau bahkan mengubah opini publik.
Bentuk nyata dari aspek kapitalisme adalah menarik khalayak untuk mengenal, menyukai, dan membeli produk. Memanfaatkan ciri khas masyarakat menjadi kapitalisme, dengan unsur-unsur komodifikasi demi sebuah content. Kondisi ini akan mengarah pada masyarakat libidonomic atau masyarakat yang berpikir atas dasar nafsu demi konten, hingga mengabaikan pemikiran secara logis.
Konten yang menjual guna mendatangkan iklan. Dalam hal mengejar iklan, ingat kasus iklan kerudung R*bbani kala itu, sering tidak dilakukan proses filtrasi yang tepat dan cermat sehingga banyak konten yang tidak layak dikonsumsi publik.
Para konten kreator tidak bisa lepas dari konsep komunikasi persuasi. Konten video berusaha mempengaruhi sasarannya terus-menerus, mendorong untuk mengubah tingkah laku kelompok sasarannya. Meski kontennya tidak ada unsur edukasi alias sampah. Eksploitasi yang mengarah pada destruksi simbol-simbol dan kekerasan verbal. Pada akhirnya kita terpaksa menormalkan perilaku tersebut. Misalnya mengatai orang lain dengan kata-kata anj*ng yang dalam tradisi sehari-hari adalah contoh ketidak sopanan.
Kecenderungan menampilkan sensasi, mempengaruhi para konten kreator tergoda melakukan kekerasan verbal, bullying, roasting atas nama candaan. Atas nama hiburan namun kemudian membawa dampak buruk bagi khalayak. Seperti Popo, Lina Mukherji, Galih Loss, Avita.
Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Hal ini menjadi suatu masalah karena berhubungan dengan persepsi dan tingkah laku khalayak. Melalui kajian konsepsi psikologi tentang manusia, yaitu konsepsi psikoanalisis, kognitif, behaviorisme, dan humanisme. Keempat konsep dalam teori psikoanalisis. Freud (2004) memberikan indikasi bahwa tantangan terbesar yang manusia hadapi adalah bagaimana mengendalikan dorongan agresif itu.
Ada 3 (tiga) struktur kepribadian dalam teori psikoanalitik, yaitu: id, ego dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”.
Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana. Di mana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realitas dan berhubungan dengan dunia, untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego.
Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak atau apapun sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.(Rakhmat, 2005)
Dalam konsep psikoanalisis tersebut, setiap orang sebenarnya mampu untuk menahan egonya. Namun, manusia saat ini dihadapkan pada era media sosial, akibatnya bergeser menjadi manusia kapitalis.
Jika tipe masyarakat seperti ini semakin banyak menerima rangsangan, maka proses daya muat (coding) unsur komodifikasi dalam bentuk kekerasan verbal. Jika kondisi ego kurang stabil, maka superego atau moral manusia itu akan mengalami pergeseran dengan menganggap berbohong pada publik bukanlah hal yang buruk, asal bisa mendatangkan viewer.
Pergeseran Nilai Akibat Menormalisasi Perilaku Buruk
Sesuai ciri khas masyarakat di media online, jika terus-terusan sebuah masyarakat tersebut mendapatkan muatan-muatan mengenai perilaku buruk yang dinormalkan atau pembiaran. Maka dalam jangka waktu tertentu sebuah masyarakat tersebut akan mengidap apa yang kita sebut sebagai libidonomic. Masyarakat bertindak lebih besar karena nafsu, bukan berdasarkan pemikiran yang realistis. Sementara pandangan lain mempunyai efek yang berbeda.
Dalam pandangan psikologi kognitif, pengguna media sosial adalah individu yang aktif berpikir yang memiliki sifat persuasi, mereka adalah kelompok media sosial yang heterogen. Transaksi yang dilakukan tidak hanya transaksi naik follower, namun juga endorsement yang sifatnya profit oriented.
Wacana kapitalisme telah mengubah media sosial bagaikan panggung pertunjukkan, haus akan hiburan dalam bentuk tontonan. Dalam wacana semacam itu kemudian menjadi dogma, untuk memproduksi suatu komoditi berupa tontonan menarik meski tanpa norma dan etika.
Keberadaan konten kreator seakan memiliki roh untuk mampu menggerakkan siapa pun yang melihatnya. Setelah melihat hasil video konten, maka hati dan pikirannya tergerak menikmati atau membeli, yang kita sebut passionate capitalism (kapitalisme penuh nafsu). Eksploitasi dan daya tarik konten kreator terjadi akibat interaksi deviasi norma dan etika, mengubahnya menjadi nilai tukar alias cuan. []