Mubadalah.id – Secara tidak sengaja ketika membuka gawai, melintas berita yang membuat saya bergidik ngeri. Penganiayaan seorang perempuan oleh pacarnya sendiri hingga meregang nyawa di Surabaya. Judul berita tersebut, “Anak DPR Bunuh Pacar.” Lagi-lagi kekerasan terhadap perempuan kembali terjadi.
Padahal masih hangat dalam ingatan kita, korban KDRT ibu muda yang terjadi di Bekasi, pun mengalami hal yang sama. Mati sia-sia menjadi korban kekerasan oleh orang terdekatnya sendiri. Pengaduan korban perihal KDRT ke pihak aparat penegak hukum pun tak pernah petugas tanggapi secara serius. Sampai kapan kasus serupa akan terus berulang?
Dengan maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan, saya hanya khawatir kita akan terbiasa, dan menerima kekerasan sebagai bagian dari kehidupan kita. Menormalisasi seakan hal yang lumrah dan biasa saja, sehingga perempuan dianggap pantas menerima perlakuan kekerasan seperti itu.
Kekerasan yang Selalu Didiamkan
Hannan Najmah seorang intelektual Islam berlatar belakang Timur tengah mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bagian dari jenis kekerasan yang selalu kita diamkan (al-maskut anhu) oleh masyarakat.
Maksudnya masyarakat diamkan, karena tidak dianggap sebagai permasalahan publik, terutama kekerasan yang terjadi di ranah domestic (KDRT).
Hal ini terjadi sebab adanya asumsi bahwa perempuan wajar menerima kekerasan berkaitan dengan posisinya sebagai anak, ibu rumah tangga, istri, pacar dan sebagainya.
Dalam konteks Indonesia, misalnya terdapat tradisi yang menabukan pengungkapan kekerasan domestik terhadap perempuan ke publik. Ada kekhawatiran jika ada pengungkapan ini akan menimbulkan aib keluarga, terutama aib suami.
Di mana hal ini merupakan pelanggaran hak domestik keluarga. Akibatnya ketika perempuan dipukul, atau dikenai jenis kekerasan lainnya, si korban tidak bisa membela diri apalagi menuntut si pelaku kekerasan tersebut ke depan hukum.
Pelaku menganggap istri dan anak adalah anggota keluarganya. Jika kepala keluarga, ayah atau suami melakukan tindakan kekerasan terhadap anggotanya, hal itu mereka anggap wajar karena mungkin dianggap sebagai bentuk dari teguran atau sapaan sayang dari laki-laki yang telah dianggap sebagai kepala keluarga.
Menelusuri Akar Kekerasan terhadap Perempuan
Jika kita ingin menelusuri secara lebih jernih, salah satu akar kekerasan terhadap perempuan adalah tradisi patriarki. Pendapat ini mendapat persetujuan dari Hannan Najmah, yang mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan tab’ah (ikutan) dari struktur patriarki. Yakni struktur yang didominasi oleh aturan-aturan kebapakan yang sudah memimpin kehidupan umat manusia sejak ribuan tahun lalu.
Meskipun menurutnya kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena umum, namun bentuknya berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan berbeda dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Di mana semua memiliki kaitan erat dengan tradisi patriarki tersebut.
Berdasarkan hal ini kita bisa mengatakan bahwa tingkat dan bentuk kekerasan terhadap perempuan itu juga sangat terkait dengan ada atau tidak adanya sistem patriarki dalam struktur suaru masyarakat, terutama pada tingkat keluarga sebagai inti dari masyarakat itu sendiri.
Lebih lanjut Hannan menyatakan “selama sistem patriarki menghegemoni keluarga dan masyarakat, maka kekerasan yang terjadi terhadap perempuan akan lebih keras dan besar.”
Membincang Relasi Kuasa
Ketika kita membahas tentang sistem patriarki, maka akan saling berkelindan dengan relasi kuasa. Hal ini berangkat dari definisi kekerasan terhadap perempuan, yang Farida Benani sampaikan. Farida sendiri adalah seorang ahli fikih perempuan dari Maroko.
Menurut Farida definisi kekerasan adalah perlakun atau tindakan yang muncul dengan sifat permusuhan yang terjadi pada tingkat individual, atau pada tingkat masyarakat, atau negara. Yakni dengan tujuan mengalahkan atau menundukkan sudut yang lain dalam bingkai relasi kuasa yang tidak seimbang. Baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Hingga menyebabkan munculnya kerugian material, spiritual dan kejiwaan secara individual, masyarakat maupun negara.
Jika melihat definisi kekerasan yang Farida kemukakan di atas, maka kekerasan sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat luas. Bisa terjadi kepada siapa saja, di mana saja, dan oleh siapa saja.
Salah besar bila ada anggapan yang menyatakan bahwa kekerasan hanya terjadi pada kelas masyarakat tertentu. Mereka semua berpotensi menjadi pelaku kekerasan atau menjadi objek kekerasan, hanya tingkatannya yang berbeda-beda.
Semua itu tergantung pada relasi kuasa yang terjadi di antara mereka. Siapa yang memegang relasi kuasa, dialah yang akan berpotensi menjadi pelaku kekerasan, meskipun kuasa tidak selalu digunakan oleh pemilliknya untuk melakukan tindakan kekerasan.
Sementara apabila kita pilah secara detail, misalnya melihat dari perspektif ruang, maka kekerasan bisa terjadi pada wilayah publik dan domestik. Ruang publik ini adalah wilayah negara dari berbagai skala lapisannya hingga ke tingkat desa. Sedangkan ruang domestik, adalah wilayah keluarga atau antara dua individu yang sedang menjalin relasi.
Akhiri Kekerasan Sekarang Juga!
Sebagaimana seruan dari Komnas Perempuan dalam penyampaian catatan tahunan 2023, kita harus segera mengakhiri kekerasan terhadap perempuan sekarang juga. Adapun seruan dari Komnas Perempuan adalah sebagai berikut:
Pertama, pentingnya peran aktif berbagai stakeholder terkait, terutama pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memastikan implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan kebijakan lainnya terkait kekerasan terhadap perempuan.
Tujuannya agar aturan ini berdampak, sehingga perlu perumusan aturan turunan dan sosialisasi secara meluas, memperhatikan keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual, dan mempercepat peningkatan kapasitas aparat dalam mengimplementasikan UU TPKS.
Kedua, perlunya dukungan masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan sektor privat untuk bersama-sama secara aktif melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan di lingkungan masing-masing, termasuk dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Ketiga, perlunya dukungan media massa dengan menyebarluaskan gagasan anti kekerasan terhadap perempuan.
Keempat, perlunya meningkatkan literasi terkait kekerasan berbasis gender untuk memperluas pemahaman dan mendorong korban untuk berani bersikap.
Selain itu, penting bagi kita terus mengkampanyekan gerakan “Dare to Speak Up” untuk berani melapor dan mengakhiri tindak kekerasan terhadap perempuan. Perempuan yang berani bersuara akan menjadi dorongan bagi penyintas kekerasan lainnya untuk turut berani melapor, sehingga bisa mendapatkan keadilan dan layanan yang mereka butuhkan, serta memberikan efek jera terhadap pelaku. []