Mubadalah.id- 10 Oktober lalu jadi perayaan hari kesehatan mental nasional. Selain itu, ada banyak film yang mengangkat isi sama menjamur di bioskop-bioskop tanah air. Lagu yang membahas isu kesehatan mental tidak akan ada habisnya. Data dari kementerian kesehatan menyatakan bahwa ada lebih dari 20 juta pengidap gangguan mental di Indonesia.
Membangun Kepedulian
Saling peduli akan isu ini dapat berpengaruh besar bagi mereka. Oleh karenanya, kini isu kesehatan mental bukan isu tabu yang dapat kita bahas. Jika siapapun yang membaca tulisan ini atau teman, hingga keluarga kalian yang mengalaminya segera datang ke layanan kesehatan terdekat ya.
Sebenarnya, masalah kesehatan mental terjadi dari beragam faktor. Faktor genetik dan juga lingkungan dapat mendorong seorang untuk mengidap penyakit mental. Salah satunya dengan perkembangan teknologi saat ini yang membuat manusia memiliki bias jadi tak terbatas.
Kita jadi lebih leluasa dalam menerima, membalas, hingga mengimplementasikan apa yang kita terima melalui media sosial. Dan tak jarang, trend untuk istirahat sosial media banyak digandrungi oleh anak muda.
Hal ini juga pernah saya lakukan, tika istirahat dari media sosial saya menemukan lagu yang cukup mengena. Lagu ini adalah salah satu soundtrack film yang saya tonton akhir pekan kemarin. Berakhir di aku adalah judul lagu yang jadi soundtrack film Home Sweet Loan. Lagu ini mengisahkan tentang cerita seorang yang menanggung banyak beban. Seperti beban masa depannya, keluarga, dan beban lainnya.
Berakhir di aku
Igdigaf, selaku penyanyi lagu ini ingin mengajak para pejuang yang terkadang tidak dapat bercerita untuk istirahat sejenak. Memang, bagi sebagian orang bercerita tentang apa yang ia rasakan saat ini bukan hal mudah. Apalagi jika dari kecil mendapat stimulasi dari keluarga yang sama. Kita jadi tumbuh di antara tumpukan cerita yang tak bisa terurai dengan mudah.
“Semua berakhir di aku, dan aku tak bisa lakukan apa-apa.” Ini adalah pemaknaan yang saya dapat dari lagu ini. Relasi kuasa antar orang tua dan anak terkadang begitu jauh, sehingga sebagian anak yang mengalaminya merasa tidak punya sosok yang akan dia percaya. Tanpa sadar, hal ini terus terbawa hingga anak tumbuh dewasa nanti.
Beragam pertanyaan penyanyi sajikan melalui lagu ini. Seperti untuk siapa sebenarnya dia hidup sampai saat ini? Kemana dia akan bersandar ketika orang lain bersandar kedirinya? Dan hanya doa yang dapat dilakukan. Menggalah ketika bukan dirinya yang salah, hingga membisu ketika semuanya sedang beradu.
Saya kembali tertarik dengan melihat kolom komentar. Banyak komentar saling menguatkan bertebaran. Satu komentar menarik bagi saya. Bahwa lagu ini bukan untuk anak ke berapa. Lagu ini untuk kalian yang sedang berjuang, dan mendapat tantangan dari banyak arah. Baik dari keluarga, pikiran negatif, kondisi ekonomi, bahkan kesehatan tubuh.
Media Sosial sebagai Wadah Saling Menguatkan
Fenomena saling menguatkan melalui sosial media bukan hanya sebuah fenomena belakang. Kepedulian terhadap beragam isu krusial tampaknya tepat bertebaran di media sosial. Perkembangan teknologi melalui media sosial harus jadi ladang dalam menyebarkan kebaikan. Ketika dulu kita hanya dapat melakukan kebaikan dengan orang sekitar, maka saat ini kebaikan bisa untuk siapapun yang ingin menerima kebaikan itu sendiri.
Hal itu juga berlaku untuk keburukan. Jika dulu kita hanya dapat menyakiti orang-orang sekitar kita saja, kini akan lebih banyak orang yang bisa kita sakiti dengan tulisan, video ataupun komentar negatif yang kita ketikkan. Tampaknya, menjaga lisan harus diupgrade jadi menjaga jari.
Untuk kalian semua yang sedang merasa jadi sandaran bagi banyak orang, coba dengarkan diri kalian. Bukan hanya tentang orang lain, tubuh kalian juga perlu perhatian. Coba sejenak berhenti dan cari teman untuk bercerita. Media sosial dapat jadi media berbagi kisah kalian. Bijak menggunakannya ya. Dan jika kondisi sudah terlalu sulit, meminta bantuan profesional bukan hal yang buruk. Selamat berjalan kembali para pejuang. []