• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Lahir dari Masyarakat Plural, Bangga Indonesia Punya Pancasila

Prof. Mahfud menegaskan, bahwa Islam wasathiyyah adalah salah satu jalan untuk menjawab tantangan ini, di mana semua manusia akan mendapatkan harkatnya, dengan tasamuh atau toleransi

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
22/09/2022
in Publik
0
Masyarakat Plural

Masyarakat Plural

468
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada Rabu, 14 September 2022, Institut Leimena bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) mengadakan Konferensi Internasional Virtual dengan tajuk “Mengukuhkan Martabat Manusia dalam Masyarakat Plural.” Dengan moderator Ranie Kasmir (Maarif Institute), konferensi ini dihadiri oleh satu narasumber kunci dan enam narasumber lainnya yang akan memberikan wawasan dan pengalaman terkait topik yang mereka bahas.

Membuka acara sambutan dari Iwan Kurniawan, Bc.IP., S.H.,M.Si (Staf Ahli Bidang Penguatan Reformasi Birokrasi Kemenkumham RI) yang mengatakan bahwa menjadi masyarakat plural merupakan tantangan tersendiri bagi kita rakyat Indonesia, namun ini semua dapat kita dukung dengan semboyan yang kita miliki, yakni Bhineka Tunggal Ika.

Perkembangan zaman tentunya memberikan pengaruh pada sentimen-sentimen terhadap etnik, golongan, dan juga keyakinan, yang berdampak pada kepentingan bersama, yakni kepentingan bangsa. Apabila hal ini terus kita biarkan, tentunya akan menimbulkan gesekan-gesekan antar kelompok yang mempengaruhi harmonisasi martabat hidup manusia dalam ruang berbangsa dan bernegara. Ia berharap, hasil konferensi dapat memberikan sumbangsih pada persatuan dan kesatuan bagi masyarakat Indonesia.

Martabat Manusia dan HAM

Dr. Maruarar Siahaan (Senior Fellow, Institut Leimena) juga menyampaikan sedikit prakata. Baginya, martabat manusia dan HAM merupakan hal yang tidak boleh kita abaikan dalam diri manusia. Dasar kehidupan berdasarkan HAM merupakan konsekuensi asasi dalam UUD ’45, sehingga harus terlindungi oleh hukum.

Sebagai narasumber kunci, Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud MD, S.H., S.U., M.I.P (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia) menyampaikan tentang konteks masayarakat Indonesia yang pluralistik dan peran pemerintah di dalam meneguhkan harkat martabat rakyatnya. Fakta, Indoensia adalah Negara dengan masyarakat plural, beragam secara primordial, baik keagamaan, kesukuan, kedaerahaan, ras, dan bahasa.

Baca Juga:

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

Singkatnya, Indonesia terdiri dari manusia-manusia yang beragam, yang rentan terhadap perpecahan karena seringkali ada sekelompok manusia berdasarkan ikatan primordialnya merasa lebih bermartabat, atau lebih harus kita hormati. Misalkan secara agama, ada yang merasa agama saya yang paling dihormati, secara suku, suku saya yang paling baik, dan sebagainya.

Negara Merdeka

Maka ketika sebuah Negara mendeklarasikan diri sebagai Negara merdeka, maka harus menjadikan apapun itu menjadi sama, yaitu mengangkat harkat martabat manusia. Tidak ada lagi kasta-kasta, tingkatan-tingkatan dalam masyarakat. Harkat martabat manusia harusnya sama.

Akan tetapi, kondisi tersebut merupakan kondisi dilema menurut Prof. Mahfud, karena ketika Negara merdeka, maka ia membutuhkan 2 hal, butuh demokrasi (untuk menjaga martabat manusia untuk mendapatkan hak yang sama) dan integrasi (Negara harus bersatu).

Demokrasi berwatak membebaskan, sedangkan integrasi berwatak menyatukan secara paksa. Itulah yang setiap Negara merdeka hadapi. Yakni harus mampu mengatasi keduanya. Indonesia mengatasi dilema ini dengan melalui perjalanan panjang. Tepatnya sejak 28 oktober 1928 dengan lahirnya Sumpah Pemuda, dengan beragamnya suku agama dan bahasa bersatu untuk mengangkat harkat martabat manusia.

Dalam konstitusi sendiri, untuk melindungi martabat manusia, kita memerlukan hukum. Bahkan dalam Alquran juga tersebutkan bahwa seluruh manusia di muka bumi itu beriman dengan-Nya, jangan memaksakan orang lain untuk beriman kepada-Nya, biarkan berbeda, agar kita saling berlomba-lomba melakukan kebajikan.

Islam Wasathiyyah

Prof. Mahfud menegaskan, bahwa Islam wasathiyyah adalah salah satu jalan untuk menjawab tantangan ini, di mana semua manusia akan mendapatkan harkatnya, dengan tasamuh atau toleransi. Semua ini sudah ada dalam dasar ideologi Negara yang kita sebut Pancasila. Untuk melihat pancasila sebagai dasar falsafah Negara, pancasila harus kita posisikan sebagai sumber hukum Negara yang tertinggi, yang menjadi ukuran validitas norma pada produk hukum yang dimaksud.

Apabila ingin hidup bernegara dengan baik, tidak hanya tunduk pada norma hukum, namun juga norma kehidupan (agama, susila, dan kesopanan). Untuk menghindari perpecahan, hukum harus kita ciptakan secara demokratis, tidak sewenang-wenang/peran rakyat untuk memperoleh menang, dan nomokratis (hukum-hukum dalam penegakannya harus kita tuntun oleh aturan-aturan hukum) untuk memperoleh kebenaran. Mencari kemenangan dan kebenaran inilah Negara pancasila.

Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. memberikan paparan tentang peran perempuan dalam menguatkan martabat manusia dalam masyarakat yang plural. Menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai sektor kehidupan merupakan upaya yang terus kita perjuangkan. Kita semua perlu optimistik terhadap perjuangan tersebut. Baik norma agama maupun UUD ‘45, semua mendukung bahwa manusia martabatnya haus kita jaga, termasuk perempuan.

Penggunaan kompetensi yang perempuan-perempuan miliki, merupakan salah satu cara untuk mengangkat harkat martabat manusia, khususnya perempuan. Seperti contoh, khususnya di masa pandemic ini, perempuan memiliki banyak peran di faktor ekonomi (dan lainnya) untuk membantu kehidupan keluarga.

Dengan kata lain juga mengangkat maratabat keluarga/manusia. Perempuan dalam masa genting akan sangat mudah beradaptasi dan mandiri. Perempuan juga dituntut untuk mampu menerima perbedaan dan menciptakan perubahan yang positif untuk mengikuti perkembangan zaman.

Pluralitas adalah Sunatullah

Senada dengan pemaparan narasumber-narasumber sebelumnya, Dr. Breet G. Schraff juga mengatakan bahwa martabat manusia menjadi gagasan mendasar bagi perumusan HAM yang diperuntukkan guna menciptakan kesetaraan, keadilan, dan persamaan manusia. Manusia diberi akal dan nurani, sehingga harus memiliki semangat persaudaraan. Ia juga mengutip pernyataan Jan Figel yang memasukkan wacana perubahan iklim sebagai salah satu dari bentuk hak asasi manusia.

Di akhir pernyataannya, ia berkata bahwa Indonesia pantas memimpin isu ini, karena baginya nilai-nilai pada Pancasila dapat meng-cover persoalan mengenai hak asasi manusia. Ia juga memberikan informasi penting tentang kurangnya literasi tentang martabat manusia dari perspektif Islam yang terdapat di Barat.

Menjadi salah satu pembicara ini pula, Prof. Dr. Abdul Mu’ti menegaskan bahwa pluralitas agama, budaya lainnya adalah sunnatullah yang terjadi karena hal-hal yang bersifat alamiah, dan juga ilmiah. Pluralitas memang merupakan kekayaan, tapi terkadang menjadi pemicu perpecahan, sehingga perlu ikhtiar yang bersifat strategis dan sistematis, salah satunya melalui pendidikan agama.

Implementasi Ajaran Agama

Pendidikan agama merupakan faktor yang dapat mempersatukan perbedaan yang ada di tengah keberagaman. Pendidikan agama Islam yang pluralistis adalah salah satu contohnya. Beragama merupakan fitrah manusia, tetapi manusia memang diberikan kebebasan oleh Allah apakah seseorang akan menjadi beragama atau tidak. Dalam konteks perbedaan tersebut, manusia harus menyadari perbedaaan pilihan dan harus kita hormati, karena pilihan tersebut Allah juga menghormatinya.

Oleh karena itu, manusia harus bertanggung jawab atas pilihannya. Prinsip berikutnya dalam pluralistis adalah penerimaan, tidak sekedar toleran yang bersifat pembiaaran atau tidak perduli. Pendidikan agama yang pluralistis harus mindfull (harus kita hormati pilihannya). Lalu inklusif, yakni berusaha untuk terbuka di tengah perbedaan yang ada dengan keyakinan yang kita miliki.

Pendidikan agama tidak harus terbatasi oleh enam agama resmi yang pemerintah akui. Karena Indonesia memliki agama dan keyakinan/beragama yang tidak bisa kita kuantifikasi, sehingga layanan pendidikan harus inklusif, apapun yang kita yakini). Lalu transformasi berbagai ajaran agama untuk saling memberikan ruang dialog, agar dalam pendidikan agama pluralis, kita bisa mengenal agama lain secara tekstual, dan memahami orang lain yang berbeda secara terbuka dengan interaksi yang terjadi.

Tantangan Indonesia

Mewakili Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi mengungkap bahwa Negara Indonesia di mata internasional terlanjur dikenal sebagai Negara yang pluralis dan ramah. Di Indonesia sendiri, banyak tantangan yang ada di sekitar kita.

Contoh kasus status keagamaan yang kerap menjadi halangan bagi murid untuk menjadi ketua osis di Depok. Atau juga perusakan dan pemindahan makam warga yang berbeda agama yang dilakukan di Solo dan Mojokerto. Dapat kita bayangkan, saudara yang telah tiada saja masih mendapatkan perilaku diskriminasi karena identitas yang ia miliki. Pekerjaan kita adalah mewujudkan toleransi, kesetaran, dan keadilan dalam dunia nyata ini.

Sebagai pembicara terakhir, Dr. Chris Seiple menyampaikan sebuah teori yang ia sebut dengan convenental pluralism. Yakni komitmen untuk berhubungan, melindungi dan menghormati martabat yang melekat pada tiap diri manusia. Konsep ini muncul dari sistem keyakinan kita, dan dari lingkungan di mana kita terbentuk. Kita bisa saja menjadi mayoritas untuk suatu daerah, namun bisa juga menjadi minoritas di belahan dunia yang lain.

Kalau kita ingin hidup di masyarakat dengan bermaratabat. Maka kita harus menghormati keyakinan orang lain, ini juga untuk kepentingan kita sendiri. Bagi kebaikan bersama, tidak ada salahnya kita yang memiliki keyakinan berbeda untuk bekerjasama.

Kita harus melakukan ke orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Kita harus membuat jembatan multi agama untuk perdamaian anak-cucu kita dan dunia ke depan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah konkret yang harus kita lakukan sejak saaat ini. Salah satunya adalah dengan mengadakan deklarasi interaksi multi agama.

Jika para pendiri bangsa sudah matang merumuskan Pancasila, dan bangsa lain sangat mengapresiasi nilai-nilai di dalamnya. Maka, tidak ada alasan untuk tidak menghayati dan mengaplikasikan ruh-ruh Pancasila dalam keseharian kita semua. []

 

Tags: IndonesiaKebangsaankeberagamanmasyarakatPancasilapluralismetoleransi
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version