Mubadalah.id – Al-Qur’an dalam Surat Al-Hujurat (49:13) menegaskan bahwa kita diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, terdiri dari berbagai bangsa (syu’uub) dan suku (qabaa’il), agar saling mengenal satu sama lain.
Pesan saling mengenal ini begitu penting, terlebih dalam konteks dunia yang kian kompleks dan majemuk. Keragaman itu bukan sekadar jenis kelamin. Tetapi juga mencakup warna kulit, postur tubuh, bahasa, adat istiadat, hingga cara pandang terhadap kehidupan. Bahkan dalam satu bangsa atau suku pun terdapat spektrum keragaman yang sangat luas—diversity within diversity.
Sayangnya, perbedaan yang seharusnya dirayakan justru kerap dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi dan penindasan.
Sejarah panjang umat manusia mencatat, bahwa salah satu akar kezaliman adalah menjadikan perbedaan sebagai pembenaran untuk merendahkan kelompok yang lemah.
Dalam bahasa al-Qur’an, kelompok al-mala’—yakni golongan yang kuat—kerap meminggirkan dluafa’ (yang lemah) dan mustad’afin (yang dilemahkan), dengan dalih bahwa mereka berbeda atau tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh kelompok dominan.
Menurut Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm kesadaran ini justru hadir untuk membongkar logika diskriminasi tersebut. Al-Qur’an tidak pernah menempatkan perbedaan jenis kelamin, ras, atau suku sebagai ukuran kualitas manusia. Sebab, semua perbedaan itu adalah sesuatu yang kita bawa sejak lahir—bukan hasil usaha atau pilihan bebas kita. Maka, tidak logis menjadikannya dasar penilaian moral ataupun sosial.
Karena di dalam Islam, satu-satunya standar nilai hidup adalah takwa. Yaitu sejauh mana seseorang menjaga komitmen tauhid kepada Allah dalam kerja-kerja kemaslahatan bagi sesama makhluk. Terutama sesama manusia.
Bahkan, takwa bukan hanya soal hubungan dengan Tuhan. Tetapi juga tercermin dari seberapa manusiawi kita bersikap kepada orang lain, tanpa peduli latar belakang mereka.
Cita-cita besar Islam ini, sebagaimana tercermin dalam konsep rahmatan lil ‘alamin, adalah menciptakan sistem kehidupan yang membawa anugerah bagi seluruh semesta.
Dan sistem ini hanya akan mungkin terwujud jika manusia sebagai khalifah fil ardh dapat mengembangkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya seluruh ajaran Islam pada hakikatnya untuk menyempurnakan akhlak manusia. []