• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Laki-laki dan Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

Sejarah Nusantara mengajarkan, jika menghendaki kemajuan bangsa, maka baik kaum laki-laki maupun perempuan harus selalu topang-menopang, bukan saling blok, apalagi menempatkan sebagian pihak dalam posisi kelas dua

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
26/07/2021
in Personal, Rekomendasi
0
Laki-laki

Laki-laki

315
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Gerakan perempuan mengupayakan kesetaraan tidak berarti untuk menandingi peran laki-laki. Oposisi biner (perbandingan antara laki-laki dan perempuan) bukan cita-cita feminisme. Maksud gerakan tersebut begitu sederhana, adalah untuk menghormati perempuan sebagai manusia, bukan makhluk kelas dua yang bisa direndahkan. Dengan kata lain, merupakan upaya membela maupun memajukan nasib kaum perempuan.

Sejalan dengan itu, Nadya Karima Melati dalam bukunya Membicarakan Feminisme menjelaskan perihal siapa itu feminis. “Feminis adalah orang yang memiliki kesadaran, tepatnya kesadaran yang berpihak kepada yang tertindas setelah menganilisis bahwa ada relasi tidak imbang berlandaskan seks/gender….”

Jadi, lawan feminisme bukan budaya apalagi agama, pun bukan kaum laki-laki. Melainkan, adalah patriarki, ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Sebab, hal itu jelas dapat memasung kebahagiaan manusia yang disebut perempuan.

Apa Laki-laki juga Harus Berkesadaran Keadilan Gender?

Sujatin Kartowijono berkata–sebagaimana dikutip dari buku Sujatin Kartowijono: Mencari Makna Hidupku, disusun oleh Hanna Rambe–bahwa, “Hanya penindasan oleh pria terhadap wanita, kukira bukan perintah Tuhan. Kehendak Tuhan, pria dan wanita saling mengasihi, hidup selaras jika membentuk keluarga.”

Baca Juga:

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Negara Amnesia, Korban Masih Terjaga: Kami Menolak Lupa atas Tragedi Pemerkosaan 98

Kesadaran berpihak kepada kaum tertindas sepantasnya ada di hati setiap manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Karenanya, upaya membela nasib kaum perempuan seharusnya menjadi kesadaran bersama. Sebab, baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya tidak ingin ada pihak yang terjajah. Kita sama-sama ingin bahagia dalam hidup ini.

Dalam perspektif Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), terdapat garis yang membedakan term “perempuan ulama” dan “ulama perempuan”. Perempuan ulama adalah semua yang berjenis kelamin perempuan dan memiliki kapasitas keulamaan. Sementara, ulama perempuan adalah semua ulama, baik itu dari kaum laki-laki maupun perempuan, yang memiliki kesadaran dan mengamalkan perspektif keadilan gender.

Sebagaimana Hasanatul Jannah dalam bukunya Ulama Perempuan Madura: Otoritas dan Relasi Gender menjelaskan: “…kata ‘perempuan’ bisa memiliki dua makna: biologis dan ideologis. Dari sisi biologis, adalah orang yang memiliki kemaluan perempuan (dapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui), sedangkan sisi ideologis, adalah orang yang memiliki perspektif, kesadaran, dan gerakan keberpihakan pada perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial. Dua pemaknaan ini digunakan untuk membedakan kata ‘perempuan ulama’ dan ‘ulama perempuan’.”

Dari sini kita bisa paham, kalau kesadaran berkeadilan gender tidak hanya terbatas untuk perempuan, namun sepantasnya juga ada pada kaum laki-laki. Karenanya, tidak berlebihan jika ada laki-laki yang berkesadaran keadilan gender ikut mengupayakan perbaikan nasib kaum perempuan. Kalau pun belum mampu bergerak, sekurangnya tidak mencibir mereka yang mengupayakan keadilan gender.

Laki-laki dan Gerakan Perempuan dalam Sejarah Bangsa

Pada 22 Desember 1928, untuk pertama kali dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia. Sekitar seribu orang dari perwakilan 30 organisasi perempuan hadir. Dan, di momen yang paling bersejarah dalam gerakan perempuan Indonesia itu, juga turut serta beberapa organisasi laki-laki.

Ny. Sujatin Kartowijono selaku penggagas Kongres Perempuan Indonesia mengakui bahwa Ki Hajar Dewantara (seorang laki-laki) turut andil bagian dalam terlaksananya kongres tersebut. “Orang yang banyak sekali memberi dukungan moral waktu itu dalam pekerjaan kami ialah Ki Hajar Dewantara,” ucap Ny. Sujatin (dikutip dari buku Sujatin Kartowijono: Mencari Makna Hidupku).

Berkaca dari usaha menyukseskan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, maka dalam gerakan memajukan nasib perempuan, kaum laki-laki juga sepantasnya memberi dukungan. Hal ini sangat dipahami oleh tokoh-tokoh sentral Indonesia waktu itu. Mereka sadar betul kalau upaya memajukan bangsa akan berjalan pincang jika kaum perempuan malah disepak ke pinggir medan perjuangan.

Karenanya, di masa melawan penjajah, perjuangan perempuan dan gerakan kemerdekaan bergandengan tangan dalam memperjuangkan nasib bangsa. Rasa persatuan antara perkumpulan perempuan dan laki-laki terjalin erat dalam upaya kemerdekaan Indonesia. Semuanya sama-sama ingin memajukan bangsa. Dan, salah satu syarat sebuah bangsa menjadi kuat, adalah kaum perempuannya memiliki nasib yang baik.

Ny. Sujatin Kartowijono berkata, “Salah satu hasil gemilang perjuangan bersama-sama itu ialah sebuah undang-undang dasar yang menempatkan wanita dan pria sejajar, terutama di muka hukum. Ini pasti bukan hasil pemikiran kaum pria belaka. Juga bukan karya kaum wanita saja. Aku yakin, hasil pemikiran kedua pihak yang menyadari bahwa membangun sebuah bangsa tidak mungkin hanya satu pihak yang lebih tinggi, yang lain lebih rendah. Keduanya justru harus saling menopang, menolong sesama bangsa.”

Sejarah Nusantara mengajarkan, jika menghendaki kemajuan bangsa, maka baik kaum laki-laki maupun perempuan harus selalu topang-menopang, bukan saling blok, apalagi menempatkan sebagian pihak dalam posisi kelas dua. Keadilan relasi antara perempuan dan laki-laki adalah salah satu kunci suksesnya perjuangan kemerdekaan Indonesia. []

Tags: Aliansi laki-Laki Barugerakan perempuankeadilan genderKesetaraan Laki-laki PerempuanLaki-laki dan perempuanrelasi laki-laki dan perempuanSejarah Indonesia
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID