• Login
  • Register
Minggu, 13 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Larangan Berjilbab dalam Sektor Pelayanan Mengundang Polemik

Dalam memilih pekerjaan, mereka berharap dapat bekerja di tempat yang menghormati kebebasan beragama, dan memfasilitasi praktik keyakinan mereka

Alifah Nurul Fadilah Alifah Nurul Fadilah
13/07/2023
in Publik, Rekomendasi
0
Larangan Berjilbab

Larangan Berjilbab

954
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Di sebuah pusat perbelanjaan yang ramai di kota metropolitan, terdapat seorang perempuan muda berpakaian rapi dan sopan. Namun, ada satu hal yang mencolok dari penampilannya— ia tidak memakai jilbab, sebuah aksesori yang lazim di kebanyakan kalangan muslimah. Karyawan perempuan ini adalah salah satu dari banyak individu yang terkena dampak larangan berjilbab di sektor pelayanan.

Korban Merek Perusahaan

Dalam mencari pekerjaan, Fira, panggilan akrabnya, memiliki kualifikasi dan keahlian yang kompeten pada bidangnya. Hal yang menarik saat Fira melamar sebagai SPG di beberapa toko di pusat perbelanjaan ini. Ia menghadapi sebuah kebijakan perusahaan yang melarang para karyawan perempuan untuk memakai jilbab. Alasannya? Menjaga keseragaman merek dan citra yang telah mereka bangun dengan hati-hati.

Begitu pula dengan beberapa perusahaan lain di sektor pelayanan seperti hotel dan restoran, banyak menjumpai larangan-larangan serupa. Padahal, para karyawan perempuan ini memiliki keyakinan agama dalam menganggap jilbab sebagai bagian integral dari identitas dan kebebasan beragama mereka.

Dalam memilih pekerjaan, mereka berharap dapat bekerja di tempat yang menghormati kebebasan beragama, dan memfasilitasi praktik keyakinan mereka.

Kenapa Jilbab Jadi Polemik?

Dalam pertemuan saya dengan Fira, saya memberanikan diri untuk mengulik lebih jauh tentang pengalamannya ini. Fira mengaku bahwa ia selalu dihantui rasa bersalah dengan tindakannya, tetapi mendepatkan pekerjaan lebih sulit baginya. Perasaan dilema antara mengorbankan identitas dan keyakinan agama mereka atau mencari pekerjaan lain yang lebih menghormati kebebasan beragama terus menjadi polemik dalam kehidupan Fira.

Baca Juga:

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

Dokumen Abu Dhabi: Warisan Mulia Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb Bagi Dunia

Larangan berjilbab ini menghasilkan ketidakadilan yang tidak bisa diabaikan. Fira merasa terjebak di antara pengorbanan untuk mendapatkan pekerjaan dan mempertahankan nilai-nilai agamanya. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, perlindungan terhadap kebebasan beragama menjadi semakin penting.

Para pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa perusahaan sedang berusaha menjaga keseragaman dan citra merek yang telah mereka bangun, sehingga pelamar yang seharusnya menyesuaikan diri. Di sisi lain, banyak yang mencoba mengkritisi hal ini bahwa kesetaraan dan inklusivitas adalah prinsip yang tak terpisahkan dalam masyarakat modern.

Kesadaran terhadap kebebasan beragama menjadi salah satu fondasi dasar harus ada agar mampu menghormati dan menjaga keberagaman ini. Banyak negara di seluruh dunia telah mengakui pentingnya melindungi kebebasan beragama individu.

Dalam beberapa kasus, hukum telah memberlakukan prinsip atas regulasi melindungi hak-hak ini. Mengabaikan kebebasan beragama dalam kebijakan perusahaan berpotensi melanggar prinsip-prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi yang telah menjadi hak asasi manusia.

Bagaimana Seharusnya Bersikap?

Dalam perjuangan melawan larangan berjilbab ini, para perempuan Muslim yang bekerja di sektor pelayanan seperti Fira adalah bukti nyata bahwa kekerasan dan diskriminasi perempuan masih banyak terjadi. Fira adalah contoh penindasan kaum elit pada otonomi tubuh perempuan.

Mengapa dalam kasus ini Fira tidak dapat dipersalahkan? Fira adalah wajah ribuan perempuan dan kelompok rentan lainnya yang tidak mendapatkan kesempatan atau previlage lebih. Perusahan memiliki power yang lebih dominan, dengan kebijakannya seharusnya mampu menghadirkan inklusivitas untuk perempuan memilih menggunakan jilbab atau tidak.

Perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab memberikan alternatif model berpakaian yang ramah bagi pengguna jilbab dan yang tidak. Sehingga, permasalahan kontrol atas ketubuhan perempuan tidak lagi menjadi sebuah polemik yang terus berulang.

Fira dan teman perempuan lain yang senasib dengannya juga mendapatkan pengakuan dan keadilan. Mereka ingin  hak mereka untuk bekerja tanpa harus mengorbankan identitas agama mereka. Masyarakat harus terus berusaha untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, menghormati kebebasan beragama, dan mendorong keragaman sebagai kekuatan yang memperkaya kita semua. []

Tags: agamaDiskriminasiJilbabLarangan Jilbabperempuan bekerja
Alifah Nurul Fadilah

Alifah Nurul Fadilah

saya seorang pembelajar dan pejuang kesetaraan. isu perempuan, hak asasi manusia dan keberagaman adalah minat saya. Ig: @alifadilah_

Terkait Posts

Mas Pelayaran

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

13 Juli 2025
Perempuan dan Pembangunan

Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

12 Juli 2025
Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Negara Inklusi

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

11 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hak Perempuan

    Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Merebut Kembali Martabat Perempuan
  • Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan
  • Kala Kesalingan Mulai Memudar
  • Hancurnya Keluarga Akibat Narkoba
  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID