Dhahar al-fasâdu fi albarri wa al-bahri bimâ kasabat aidinnâs, liyudzîqahum ba’dha al-ladzî ‘amilû la’allahum yarji’ûn “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Ruum 41)
Ayat ini kembali mengingatkan kita pada bencana-bencana yang muncul tersebut disebabkan oleh perbuatan manusia. Meski manusia memiliki potensi untuk melakukan konservasi terhadap alam, namun kerusakan yang diakibatkannya lebih cenderung kuat. Pembangunan yang kian semarak, kebiasaan – kebiasaan buruk yang melekat, serta pengelolaan yang tidak berlandaskan pada keberlanjutan lingkungan tentu berakibat kelak pada keseimbangan alam dan sekitarnya.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan memengaruhi perkembangan kehidupan manusia. Cakupannya meliputi sumber daya alam berupa air, udara, tanah, energi, mineral dan flora fauna tentunya. Kesemuanya diperuntukkan agar manusia dan alam saling memberikan kemanfaatan, saling menjaga keseimbangan, dan saling memberikan perlindungan.
Lingkungan yang kita lihat saat ini adalah sebuah hasil perjalanan panjang dari setiap tingkah laku manusia terhadap alam. Alam sebagai komoditas menjadi sasaran empuk eksploitasi yang tak ada habisnya, meski kondisi alam itu sendiri memiliki batasnya. Ternyata tindakan yang terjadi pada alam terjadi pula pada kondisi perempuan. Perempuan dari jaman dahulu dianggap seperti barang yang layak untuk dieksploitasi, dinilai lebih rendah daripada lawan jenisnya, dan ketimpangan dalam mendapatkan hak-haknya.
Dengan keadaan demikian, muncullah gerakan ekofeminisme. Gerakan ini merupakan reaksi protes yang dilakukan oleh perempuan terhadap ketimpangan-ketimpangan yang muncul. Menurut Saras Dewi dalam Magdalene.co menyatakan bahwa penggabungan ini berdasarkan suatu renungan bahwa dominasi serta diskriminasi yang dialami baik oleh lingkungan hidup maupun perempuan, bersumber dari problem yang sama yakni, budaya patriarki. Sehingga perjuangan untuk bumi sejatinya adalah perjuangan demi keadilan dan kesetaraan sosial-ekologis.
Gerakan Ekofeminisme dan realitas hidup perempuan Masa Kini
Mendengar kata ekofeminisme itu sangat menggetarkan buat saya. Sebagai seorang istri yang banyak berkutat di rumah, sangat terasa sekali bahwa memang perempuan tidak bisa lepas dari alam itu sendiri. Sedari bangun tidur, kegiatan-kegiatan kita tidak akan jauh dari air, makanan, kotoran, dan sampah. Istilah ini ternyata memang sudah diperkenalkan dalam feminisme, yaitu subjugasi atau pemisahan ranah publik dan privat.
Urusan-urusan yang sudah saya sebutkan tadi dalam fikiran banyak orang pasti identik dengan tugas perempuan. Tentu saja seharusnya tidak. Namun, sebagai perempuan sendiri, dengan mengesampingkan subjugasi yang dimaksud, justeru saya mencoba menyelami makna menjaga alam itu sendiri dari berkegiatan di ranah domestik ini.
Dalam melakukan kegiatan rumah, figur saya tentu saja adalah Ibu. Darinya saya dikenalkan bahwa alam itu memberikan manfaat yang tiada terkira. Mencuci piring kotor, tinggal ambil sabut kelapa di pinggir rumah, ditambah abu kayu dari belakang rumah dan sedikit sabun colek, piring dan peralatan dapur akan bersih mengkilap. Saat darah haid kali pertama datang, hal yang pertama kali disodorkan oleh Ibu saya adalah potongan kain jarik yang digunakan untuk menyumpal darah haid saya.
Saat saya ingin membeli pakaian, ibu hanya akan membeli kain dan menjahitkannya untuk saya. saat menemukan pisang yang sudah hampir bosok, yang terpikirkan oleh Ibu adalah mengambil daun pisang dan mengolahnya menjadi pais pisang. Bahkan nenek saat itu masih dengan rajinnya membolak-balik santan yang akan dibuat menjadi minyak kelapa untuk memasak dan kebutuhan perawatannya.
Saya pikir itu adalah hal-hal biasa yang lumrah dilakukan oleh perempuan jaman dahulu. Saya fikir itu dilakukan karena teknologi belum seberkembang saat ini, dan tentu saja tidak sepraktis sekarang. Saya pikir saya cukup beruntung terlahir di era modern, yang menjadikan saya makhluk praktis yang bisa dengan cepat dan mudah menggunakan barang-barang hasil mesin tersebut.
Setelah saya selami gaya hidup orang-orang yang sedang memperjuangkan keberlanjutan alam, setelah saya tinggal di negara yang bahkan untuk sampah saja pajaknya tinggi sekali, setelah saya diingatkan kembali pada gerakan lokal sesepuh terdahulu, setelah saya mengetahui proses penguraian sampah-sampah non organik yang saya gunakan sehari-hari ternyata memakan waktu yang cukup lama untuk terurai, saya rasa ternyata yang saya kira keberuntungan itu justeru sebuah kemafsadatan. Kepraktisan hidup saat ini menjadikan proses-proses menjaga alam yang diajarkan oleh leluhur kita menjadi privilage untuk dilakukan saat ini.
Lalu, bagaimana ekofeminisme dilakukan oleh perempuan modern saat ini? Saya sendiri merasa masih jauh dari praktek tersebut. Dalam menentukan sebuah tindakan, pertimbangan praktis, cepat, mudah dan tentu saja murah adalah kriteria utama yang dipilih. Yang tanpa dinyana justeru telah menunjukkan ketidaksayangan kita kepada alam dan bumi yang kita singgahi ini.
Ternyata kegiatan yang dilakukan oleh Ibu, Nenek, dan tetua kita terdahulu mengajarkan pola hidup yang peka terhadap lingkungan dan keberlanjutannya. Perempuan dalam setiap geraknya pada zaman dahulu mencoba menunjukkan makna melakukan suatu tindakan sebisa mungkin perlu melibatkan alam dan anggota tubuh.
Mereka tidak bisa diam. Tubuh selalu bergerak untuk memintal, memasak, meramu, mengolah, dan memanfaatkan apa saja yang ada pada alam untuk disajikan pada anggota keluarga mereka. Dengan keadaan seperti saat ini, kita perlu bersama-sama meruwat alam kembali untuk keberlanjutan hidup anak cucu kita.
Lepas dari itu, kewajiban kita sebagai manusia, tanpa memandang laki-laki atau perempuan, kita memang wajib menjaga alam ini. Agama sudah jelas mewajibkan kita untuk menjaga alam dan sekitarnya karena agama itu sendiri adalah entitas yang mengajarkan kebaikan-kebaikan universalitas kepada alam dan makhluk lainnya.
Dengan ini, tentu diharapkan sekali peran dakwah/pengajian yang menjadi perantara ajaran agama untuk mengajak umat lebih peka dan peduli pada pelestarian lingkungan dan penjagaannya dengan memberi contoh, berkolaborasi dengan gerakan peduli lingkungan, membuat gerakan lokal, maupun menjaga kegiatan lokal yang pro pada perlindungan alam.
Jane Goddall, seorang Primatolog perempuan tertua di dunia, selalu mengkampanyekan bahwa manusia dan alam perlu memiliki hubungan yang baik. Maka, dalam wawancara dengan TED Talks, Jane berkali-kali bilang ‘Tolonglah, jangan menjadi manusia yang rakus, apalagi terhadap alam. Setiap hari kita hidup, kita memberikan dampak pada alam’.
Pertanyaannya, sudahkan kita memberi dampak baik pada alam? []