Mubadalah.id – Kesadaran akan kebersihan tidak hanya bertumpu pada pengetahuan mengenai hubungan kebersihan dengan kesehatan, tetapi juga bertumpu pada perasaan.
Pengetahuan tentang hubungan kebersihan dengan kesehatan diperoleh melalui ilmu pengetahuan. Tetapi kepekaan terhadap kebersihan dibangun melalui pembiasaan sejak kecil.
Konsistensi orang tua terhadap keharusan anak-anak untuk cuci tangan sebelum makan, cuci kaki sebelum tidur, mandi dan gosok gigi secara teratur, menyapu lantai dan halaman rumah.
Juga termasuk buang sampah di tempatnya, meletakkan sepatu di tempatnya, merapikan pakaian dan buku-buku di kamarnya.
Serta membereskan tempat tidur setiap bangun tidur, merupakan pekerjaan membiasakan anak pada hidup bersih. Hingga kesadaran akan kebersihan itu menjadi bagian dari kepribadiannya.
Pada usia remaja, kesadaran akan kebersihan harus kita dukung oleh pengetahuan empirik, misalnya, melihat air, benda, atau tangan kotor dengan bantuan mikroskop. Sehingga mereka melihat sendiri kuman-kuman penyakit pada kotoran tersebut.
Adapun perilaku bersih dan tertib pada masyarakat hanya mungkin terwujud dengan pengaturan yang kita rancang secara serius, seperti sistem pemeliharaan kebersihan umum lengkap dengan segala sarananya, sistem sanitasi, sistem pembuangan limbah di tempat-tempat umum.
Kemudian kita dukung dengan peraturan yang menjamin kelangsungan hidup bersih dan tertib. Misalnya, Singapura mengenakan denda sekitar lima ratus ribu rupiah bagi orang yang hanya membuang puntung rokok secara sembarangan.
Pembiasaan Kejujuran dan Kedisiplinan
Kejujuran merupakan sifat seseorang. Dalam bahasa Arab, kejujuran diungkap dengan istilah shiddiq dan aminah. Shiddiq artinya benar dan aminah artinya dapat dipercaya. Ciri orang jujur adalah tidak suka bohong. Akan tetapi, jujur yang berkonotasi positif berbeda dengan jujur dalam arti lugu dan polos yang berkonotasi negatif.
Dalam sifat amanah juga terkandung kecerdasan, yakni kejujuran yang disampaikan secara tanggung jawab. Jujur bukan dalam arti mau mengatakan semua yang diketahui apa adanya. Tetapi mengatakan apa yang diketahui sepanjang membawa kebaikan dan tidak menyebutnya (bukan berbohong) jika diperkirakan membawa akibat buruk kepada dirinya atau orang lain.
Sebagai ilustrasi dari sebuah hadis bahwa suatu hari Nabi Saw. sedang duduk di suatu tempat, tiba-tiba seseorang berlari dan lewat di depannya. Tak lama kemudian, datang lagi orang lain dengan menghunus senjata tajam, yang terlihat sedang mengejar orang yang berlari tadi.
Ketika sampai di dekat Nabi Saw., orang itu bertanya adakah engkau melihat orang lari lewat sini? Jika Nabi Saw. berkata tidak, berarti beliau berbohong. Tetapi jika berkata iya, berarti kejujuran Nabi Saw. membawa kepada ancaman bahaya bagi seseorang yang belum mengetahui apakah bersalah atau tidak.
Karena itu, Nabi Saw. menjawab dengan ungkapan, “Sejak saya berdiri di sini tidak ada orang lewat.” Nabi tidak berbohong karena ketika orang yang pertama lari di depannya, Nabi Saw. masih duduk. Setelah berdiri, tidak ada lagi orang yang lewat. []