Kembali, rakyat dikhianati. Seakan tidak pernah kapok, wakil rakyat kita berulah lagi. Tak pernah jera mencederai amanat konsitituen, kali ini tiba-tiba pasal-pasal omnibus law yang cacat prosedur dan banyak melanggar hak asasi para pekerja, buru-buru disahkan, meski telah menuai protes di segala penjuru negeri.
Lucunya, pemerintah yang banjir kritik dan demonstrasi, justru mengelak, lalu meminta rakyat untuk membaca betul-betul regulasi. Padahal, naskah finalnya sendiri belum jelas yang mana, urai Badan Legislasi. Begitu kok, rakyat diminta untuk percaya? Kesan yang ditangkap masyarakat malah membuat kita semua seperti dikibuli.
Reaksi mayoritas anggota dewan juga sepertinya kembali menegaskan bahwa keadilan di tanah air tercinta hanya milik sekelompok elit yang dinamakan oligarki. Tak ubahnya mengulang peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu, di mana golongan pekerja selalu ditempatkan di tingkatan terbawah suatu sistem, yang hanya mengedepankan keuntungan para kapitalis licik.
Dulu, seorang perempuan lantang bernama Marsinah bahkan tak segan-segan bersuara keras menuntut keadilan bagi rekannya sesama pekerja. Yang tragis, ia kemudian harus mengorbankan nyawa karena dibunuh atas aspirasi yang ia suarakan. Heroisme Marsinah membuktikan bahwa PR pemerintah dari zaman orde baru hingga kini belum pernah dituntaskan, yang ada malah diperburuk dengan undang-undang baru bernama cipta kerja.
Dua belas tuntutan Marsinah, dari tunjangan cuti hamil hingga asuransi kesehatan, boro-boro dipenuhi pemerintah dua puluh tujuh tahun kemudian, sekarang malah justru dilucuti dengan dalih meningkatkan investasi. Aspirasi Marsinah dan kelompok buruh yang terus didengungkan belum juga dikabulkan sesuai harapan.
Semua kebijakan yang diambil pemerintah hanya bergerak memenuhi pasar serta pengusaha skala besar. Salah satunya melalui upah murah, dan hak pesangon yang makin diperkecil agar pemilik modal makin berjaya, namun nasib para pekerja akan makin sengsara.
Disahkannya UU Cipta Kerja mengingatkan kita bahwa upaya Marsinah perlu terus diperjuangkan, terutama ketika kondisi perburuhan, utamanya buruh perempuan di Indonesia tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2019 lalu, kesenjangan upah buruh laki-laki dan perempuan semakin melebar.
Tercatat, sepanjang periode 2015-Februari 2019, selisihnya mencapai Rp 492,2 ribu. Padahal tiap tahun persentase pekerja perempuan terus meningkat. Sayangnya, jumlah ini tidak diiringi oleh kesejahteraan yang sama, bahkan rata-rata buruh perempuan dihargai lebih rendah dibandingkan kompatriotnya yang laki-laki.
Jika pun mereka memiliki kondisi khusus, misalnya sedang sakit, hamil, atau menstruasi, perusahaan acap kali tak mempedulikan situasinya, seperti yang dialami oleh buruh perempuan yang bekerja di PT Alpen Food Industry Aice. Laporan dari Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), yang mewakili serikat buruh Aice, menyatakan bahwa sejak tahun 2019 hingga saat ini sudah terdapat 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi yang dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa dialami oleh buruh perempuan Aice. Meski tudingan ini dibantah oleh perusahaan, namun nyatanya para buruh beberapa kali sudah melakukan aksi boikot, dan produsen es krim murah itu sudah dikecam berulang kali oleh lembaga swadaya masyarakat.
Praktik penindasan hak buruh perempuan tak ubahnya pelanggengan budaya patriarki di sektor ketenagakerjaan. Mayoritas perusahaan selalu beralasan bahwa pemenuhan hak mereka akan mengurangi efektivitas dan efisiensi proses produksi. Bahkan buruh perempuan selama ini dianggap sebagai pekerja kelas dua, yang mengakibatkan mereka sering diperlakukan semena-mena.
Jangankan cuti hamil, cuti haid yang sebenarnya sudah tercantum dalam regulasi saja, sulit didapatkan. Tak ayal, banyak buruh perempuan memilih menahan sakit saat bekerja. Dalam penelitian di Kawasan Berikat Nusantara (BKN) Cakung Jakarta Timur pada tahun 2017, buruh perempuan yang hamil pun tidak diperlakukan secara khusus. Mereka wajib lembur meski berbadan dua, parahnya upaya lebih mereka justru tidak dibayar oleh perusahaan.
Marjinalisasi buruh perempuan di tempat kerja diperburuk oleh ancaman lainya, yakni pelecehan verbal dan seksual. Masih merujuk pada penelitian di BKN, dari 773 buruh perempuan yang berpartisipasi dalam riset, 437 di antaranya pernah mengalami pelecehan seksual, dengan rincian 106 mengalami pelecehan verbal, 79 mengalami pelecehan fisik, dan 252 mengalami keduanya. Dari angka tersebut, hanya 26 orang yang berani melapor. Ketakutan mereka akan kehilangan pekerjaan dan ancaman pelaku membuat mayoritas mereka lebih memilih untuk diam.
Potret buram kondisi buruh perempuan tersebut bisa jadi akan terus langgeng dengan adanya UU Cipta Kerja. Selain memperkuat kesewenang-wenangan perusahaan, perlindungan buruh non formal seperti asistem rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh perempuan juga tidak terakomodasi. Hal ini tentu menjadikan hak dan keselamatan mereka semakin bias di tangan-tangan pebisnis tak bertanggungjawab.
Padahal, Islam sendiri sudah memberikan amanah agar pengusaha tidak memberikan beban tugas kepada pekerja melebihi kemampuannya. Jika pun terpaksa itu harus dilakukan, beliau perintahkan agar sang majikan turut membantunya. Dalam hadis Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Rasul bersabda yang artinya: “Janganlah kalian membebani mereka (budak), dan jika kalian memberikan tugas kepada mereka, bantulah mereka.” (HR. Bukhari no. 30)
Dengan disahkannya Omnibus law, pemerintah bukan hanya mencederai kepercayaan rakyat, tapi juga merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja yang diamanahkan oleh Islam sejak masa lampau. Kalau sudah begini, perjuangan Marsinah untuk menyuarakan hak buruh terutama pekerja perempuan perlu kita teruskan, dan bahkan sekarang, perlu jauh lebih lantang! []