Tradisi traveling sebenarnya sudah sangat dikenal di dunia Islam pada abad pertengahan. Catatan perjalanan yang ditulis Ibnu Batutah, seorang traveler muslim abad ke-14, menunjukkan betapa di usianya yang masih muda, Ibnu Batutah sudah mengembara ke berbagai penjuru dunia. Ia melintasi lebih dari 40 negara dengan hitungan geografis hari ini. Hampir seluruh negeri-negeri muslim sudah dikunjunginya.
Tidak hanya Ibnu Batutah, banyak ulama, ahli fikih, dan para sufi yang gemar melakukan perjalanan untuk mencari guru-guru terbaik di bidangnya serta mencerap pengalaman dari tempat dan tradisi yang berbeda. Ibrahim Khawas, seorang sufi abad ke-9 hijriah, ia tidak pernah menetap di satu tempat lebih dari 40 hari. Begitu juga, sebagian besar para sufi memulai perjalanan rohaninya dengan melakukan perjalanan fisik, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Jalaluddin Rumi, salah seorang sufi besar yang juga sejak usia belia telah melintasi berbagai kota dan negara di masa keemasan Islam. Ayah Rumi, Bahauddin Walad yang juga seorang ulama dan sufi terkemuka, memboyong keluarganya dari kota Balkh, yang dahulu masuk dalam wilayah Khorasan Raya, menuju Baghdad sebelum akhirnya menetap di kota Konya, Turki.
Dalam perjalanannya, keluarga besar ini singgah di beberapa kota penting, seperti Nisyabur. Di kota inilah, Rumi kecil berjumpa dengan Athar Nisyaburi, guru sufi yang sangat terkemuka pada masanya. Rumi mendapat hadiah buku “Asrarnameh” karya Athar yang sangat berharga. Kelak, karya-karya Athar ini menjadi salah satu inspirasi Rumi dalam melahirkan kitab Matsnawi.
Perjumpaan Rumi dengan berbagai peristiwa, orang-orang yang berbeda, dan tempat-tempat asing inilah, tampaknya menjadi salah satu faktor yang memengaruhi cara pandang Rumi menjadi inklusif dan terbuka. Mungkin, terbersit sebuah pertanyaan dalam benak kita, perjalanan seperti apakah yang mampu melahirkan perubahan? Mengingat banyak orang orang yang juga melakukan safar dan traveling ke berbagai tempat, tetapi kembali dengan jiwa yang sama. Atau dengan kata lain, seperti apakah traveling yang membawa keberkahan dan kemanfaatan?
Karim Zamani dalam tafsir kitab Matsnawi menyebutkan berbagai puisi Rumi yang menjelaskan pentingnya melakukan safar atau traveling dan apa saja yang sebaiknya dilakukan dalam safar.
Pertama, Rumi berpesan agar kita menjadi traveler yang aktif. Maksudnya, seorang pejalan tidak hanya memenuhi kepuasan batin saja, tapi juga membangun berbagai peluang, kesempatan, dan pengalaman melalui perjumpaan dengan orang-orang di perjalanan. Dalam kitab Matsnawi, jilid 6 bait 2616, Rumi menyebutkan: “Tuhan berfirman: Berjalanlah ke berbagai penjuru dunia, temukan rezeki dan kebahagiaan”
Diksi yang digunakan Rumi سيرو atau berjalanlah, terinspirasi dari Alquran. Kata tesebut diulang beberapa kali dengan konteks yang berlainan. Tatapi inti pesannya, agar dapat mengambil hikmah dari setiap perjalanan yang kita lakukan. Kata rezeki dalam puisi di atas, tidak hanya bermakna materi, tetapi juga bisa berupa pengalaman dan perjumpaan.
Kedua, pesan penting Rumi lainnya saat sedang traveling adalah berusaha menjumpai orang-orang shalih. Seperti disebutkan dalam kitab Matsnawi, jilid 2, bait 2221: “Ke manapun kau langkahkan kaki, temuilah para kekasih Ilahi.” Pada bait-bait selanjutnya, Rumi menceritakan kisah Bayazid Bastami yang akan menunaikan safar haji. Setiap kali singgah di suatu kota, Bayazid selalu mencari seorang alim dan shaleh untuk menyerap ilmu dan kebajikan.
Setelah ratusan tahun berlalu, di tanah air tercinta, kita juga menyaksikan tradisi sowan kepada para ulama, baik yang masih hidup maupun berziarah ke makam-makam mereka. Ternyata, tradisi ini memiliki akar sejarah kuat dan pernah dipraktekkan oleh ulama dan guru-guru sufi terdahulu. Tentu saja, anjuran mengunjungi para ulama ini dalam situasi normal. Selama pandemik seperti sekarang ini, cara kita memuliakan mereka dengan mendoakan dari jauh.
Ketiga, menurut Rumi traveling hendaknya dapat merubah mindset seseorang dan bergerak ke arah yang lebih baik. Traveler sejati selalu berupaya memaknai berbagai peristiwa maupun tempat yang dikunjunginya untuk menemukan keindahan, keagungan, dan keluasan kasih sayang Tuhan. Sehingga mereka menjadi lebih penyayang dan peka terhadap orang lain, lebih toleran dengan perbedaan, dan lebih dalam mengenali dirinya.
Rumi mencontohkan dalam kitab Matsnawi jilid 3, bait 534 dan 535: Perubahan itu seperti pergerakan bulan, dari bentuknya yang sabit menjadi purnama atau pergerakan bidak dalam permainan catur di mana prajurit biasa dapat menempati posisi penting. Jadi, pergerakan seseorang dari satu tempat ke tempat lain, tidak hanya bermakna fisik, tetapi juga memberi kebermanfaatan bagi jiwa dan sesama.
Keempat, Rumi menyarankan untuk traveling dengan orang-orang terkasih. Dalam kitab Matsnawi, jilid 6 bait 2231, Rumi menyebutkan: “Perjalanan akan membuatmu bahagia, tapi berjalan dengan orang yang kau sayangi, seratus kali lebih membahagiakan.”
Setiap orang tentu berhak menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya, begitu juga soal pilihan traveling. Ada yang menyukai traveling bersama rombongan, ada juga yang memilih solo traveling. Namun Rumi menyarankan, sekali waktu perlu dicoba traveling bersama orang-orang terdekat kita. Karena dengan melakukan perjalanan bersama, kita akan terus belajar memahami karakter satu sama lain.
Dalam konteks keluarga, melakukan family traveling akan sangat membantu dalam membangun hubungan kesalingan secara lebih baik lagi. Karena dalam perjalanan, kerap kali terjadi situasi tak terduga yang memerlukan kerja sama dan saling pengertian setiap anggota keluarga. Barangkali, tradisi honeymoon yang dilakukan pengantin baru juga dalam rangka mengenal pasangan secara lebih jujur. Seperti ada pepatah arab mengatakan: “Safar itu dikatan safar, karena dapat menyingkap perilaku seseorang.”
Kelima, nasihat Rumi lainnya yang tak kalah penting untuk para pejalan adalah tidak melupakan tanah airnya. Seperti disebutkan dalam kitab Matsnawi, jilid 2, bait 2620: “Meski kau telah berjalan jauh hingga ke tanah Rum, tapi kecintaan pada tanah air harus terus terpatri”. Diksi “tanah air” dalam teks tersebut bisa memiliki dua makna. Makna hakiki, yaitu meskipun seorang traveler telah menjelajah berbagai tempat terjauh di dunia, hendaknya tetap menjaga identitas kebangsaan dan tidak melupakan tanah kelahirannya.
Tanah air dalam puisi Rumi juga kadang mengandung arti majazi atau simbol yang menunjukkan bahwa seorang pejalan, tidak boleh melupakan tempat asal seluruh manusia, yaitu alam azali. Laiknya seorang traveler yang singgah dari satu tempat ke tempat lainnya. Perjalanan anak manusia juga berpindah dari satu alam ke alam lainnya.
Sejauh apapun manusia melangkah untuk menggenggam dunia, Rumi mengingatkan agar tidak lupa jalan pulang. Pada dasarnya, menjadi seorang pejalan mengajarkan manusia untuk selalu merindukan kampung sejati dan memahamkan tentang keterjedaan dari kemapanan untuk memperoleh kebahagiaan sesungguhnya. []