PUTIH―sebuah warna yang selalu diidentikkan dengan hal-hal yang bersih, suci, dan mulia. Tetapi bagaimana jika ‘putih’ kita tunjukkan pada warna kulit dan kecantikan?
Ukuran kecantikan dalam masyarakat telah terbentuk sedemikan rupa oleh beberapa faktor yang mengakbatkan adanya standarisasi kecantikan, di mana tubuh yang tidak sesuai dengan standar cantik yang telah terbentuk di masyarakat dianggap tidak ideal atau jelek. Salah satunya warna kulit, sering kali dijadikan ukuran untuk menilai kecantikan seseorang.
Hal Ini mengakibatkan orang berlomba-lomba menstandarisasikan bentuk tubuhnya atau warna kulitnya dengan standar yang ada di masyarakat yang biasanya ditampilkan iklan-iklan kecantikan sebagai media pemasaran produk kecantikan.
Putih menjadi warna kulit yang didambakan dan digemari kebanyakan orang apalagi perempuan. Mereka dengan warna kulit putih seolah menjadi sosok yang dianggapnya lebih unggul dan memiliki daya tarik lebih daripada mereka yang memiliki kulit gelap. Tidaklah heran banyak orang berusaha keras menggunakan berbagai produk kecantikan untuk menjadikan kulitnya putih―padahal bisa jadi standar kecantikan tersebut bagian dari kapitalisasi produk kecantikan itu sendiri.
Tetapi mengapa putih bisa menjadi warna kulit yang begitu didambakan banyak orang di Indonesia? L. Ayu Saraswati dalam bukunya mencoba mengkaji tentang bagaimana putih bisa menjadi warna kulit yang digemari di Indonesia, dan menerangkan dinamika historis perubahan warna kulit putih yang digemari dari masa ke masa. Dari putih Belanda sampai putih Jepang, dan sampai pada kulit putih kosmopolitan.
Masa kolonial ternyata telah memengaruhi pola pemikiran masyarakat Indonesia mengenai kecantikan, terkhusus warna kulit. Pada masa kolonial Belanda misalnya, mereka memengaruhi pemikiran orang-orang Indonesia bahwa mereka yang memiliki warna kulit putih Kaukasia seperti orang Eropa, memiliki kecantikan yang lebih unggul, dan juga dianggap lebih terhormat―ini ada pengaruh kekuasaan kolonial yang beranggapan orang Belanda lebih terhormat daripada Pribumi.
Maka pada masa Belanda perempuan yang berkulit putih Kaukasialah yang menjadi simbol kecantikan pada masa itu. Dan itu membuat sebagian orang Indonesia―apalagi yang berdarah Indo-Belanda yang lebih merasa bangga terdapat darah Belanda dalam dirinya―meniru gaya perempuan Belanda sebagai simbol kecantikan.
Pengaruh bangsa asing dalam mengonstruksi ukuran kecantikan di Indonesia ternyata terus berlanjut pada masa Jepang. Yang menarik adalah Jepang menentang ideal kecantikan putih Kaukasia, dan menganggap putih orang Asialah yang memiliki kecantikan ideal. Putih Kukasia dan putih Jepang berbeda, di mana orang Jepang menggambarkan warna kulitnya sebagai putih kertas dan putih salju.
Pergulatan ideal kecantikan ini tidak bisa dipisahkan dari anggapan superioritas suatu ras dari ras lainnya. Ras Kaukasia menganggap ras putihlah yang lebih unggul, yang kemudian hal ini juga yang ditentang Jepang ketika menduduki Indonesia. Bahwa tidak hanya ras putih yang memiliki kulit putih, tetapi juga ras bangsa Asia.
Buku yang berhasil meraih Gloria Anzaldua Book Prize Winner pada 2013 ini, juga mengkaji tentang bagaimana pada akhirnya orang Indonesia memiliki warna kulit ideal sendiri sebagai simbol kecantikan. Kecantikan yang ideal pada masa kontemoporer kembali mengalami pergeseran―bukan cantik putih Kaukasia atau Jepang lagi―tetapi kecantikan warna kulit kosmopolitan.
Cantik kosmopolitan melampaui kecantikan yang mengacu pada etnis dan ras tertentu, tetapi di mana kecantikan dan warna kulit dikonstruksikan sebagai kosmopolitan, dan bahwa ras dan rasialisasi bekerja tendem dengan kosmopolitanisme dalam iklan-iklan pemutih. [hal 140]
Meski begitu, warna kulit putih tetap menjadi warna kulit yang diinginkan dan menjadi acuan kecantikan di masyarakat. Dan memang putih yang dimaksud bukan lagi putih Kaukasia ataupun putih jepang, tetapi putih kosmopolitan, di mana putih yang ke kuning-kuningan dan putih bening.
Putih; Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional, merupakan bacaan yang menarik jika kita ingin melihat bagaimana konstruksi kecantikan di Indonesia dipengaruhi oleh kuasa kolonial, dan konstruksi itu terus mengalami pergeseran-pergeseran.
Hingga kini warna kulit terang tetap menjadi ukuran kecantikan masyarakat yang telah terkonstruksi oleh ukuran kecantikan iklan-iklan produk kecantikan. Itu terbukti dengan makin banyaknya produk pemutih kulit atau dikenal dengan skincare dewasa ini. Yang padahal ukuran kecantikan tidak bisa ditakar dari warna kulit saja, ada banyak hal yang menjadikan seseorang terlihat cantik selain fisik.
Meskipun kecantikan telah terkonstruksi sedemikian rupa, alangkah lebih baik jika kita mulai melihat kecantikan tidak dari fisik saja; putih, langsing, tinggi, bangir dan lain sebagainya. Ada banyak hal untuk membuat kita cantik. Kecerdasan misalnya, perempuan cerdas punya nilai lebih tinggi daripada perempuan yang hanya cantik rupa.
Atau mengapa kita tidak tampil cantik dengan membuat karya-karya? Jadi, kecantikan tidak selalu ditakar dengan rupa ya teman-teman, ada banyak hal yang bisa membuat kita punya nilai kecantikan yang berbeda. Pilihan kecantikan tetap ada di tangan kita, akan menjadi perempuan cantik yang seperti apakah kita? []