Mubadalah.id – Ada nalar para orang tua, khususnya ibu, yang tidak gampang diamini oleh anak-anak zaman dulu di setiap jelang hari Lebaran tiba. Yakni membelikan pakaian baru, karena sama sekali tidak berpijak pada pertimbangan tren, momentum, bahkan ukuran badan.
Di era 1990-an, anak-anak lazim menerima hadiah baju Lebaran berbentuk pakaian sekolah. Bisa berupa seragam pramuka, atau sekadar atasan berwarna putih polos. Alasannya, agar lebih bermanfaat jangka panjang ketimbang cuma hura-hura di hari raya yang hanya berlangsung sehari saja.
Jika tidak, ada pula para orang tua yang secara sadar betul bahwa ukuran pakaian yang cocok untuk tubuh anaknya ialah S (kecil), misalnya. Tetapi mereka membelikan baju berukuran L alias jauh lebih besar. Meski tidak pas, namun hal itu ibu lakukan dengan dalih agar nilai manfaat pakaian tersebut bisa bertahan lebih lama seiring perkembangan tinggi badan sang anak.
Secara serampangan, argumentasi-argumentasi para ibu di zaman dulu pada kasus tersebut hanya kita anggap taktik agar tetap bisa merayakan hari Lebaran di tengah keterbatasan ekonomi. Padahal, tidak juga. Sebab, strategi serupa juga kita temukan dalam tradisi masyarakat kelas menengah.
Kesadaran rethink sampah
Tidak hanya jelang Lebaran, para ibu juga sebisa mungkin mensiasati hidup serba hemat selama bulan suci Ramadan berlangsung. Semisal, menyajikan menu serupa saat berbuka puasa dan santap sahur. Tekniknya dengan cukup menghangatkan sisa makanan kemudian melengkapinya dengan satu dua jenis lauk tambahan.
Pola manajemen rumah tangga selama Ramadan hingga Lebaran seperti itu sebenarnya melampaui dari sekadar taktik untuk mensiasati berlebihnya pengeluaran secara hitung-hitungan ekonomi. Strategi tersebut bisa juga kita maknai sebagai betapa tingginya kesadaran orang-orang terdahulu terkait persoalan sampah. Perilaku itu tak lain dan tak bukan masuk pada salah satu dari strategi pengelolaan sampah yang baru tren belakangan, yaitu rethink sampah. Alias upaya penanggulangan problem ekologi melalui perubahan cara pandang terhadap sampah.
Rethink sangat kita butuhkan guna melengkapi hierarki atau urutan penanganan sampah yang terdiri dari pencegahan, pengurangan, penggunaan kembali, daur ulang, penghematan energi, dan pembuangan sampah. Urutan proses pencegahan bahaya sampah itu kemudian kita sederhanakan dalam prinsip 3R. Yaitu reduce (mengurangi timbulan sampah), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang material).
Penempatan Posisi Rethink Sampah
Posisi rethink sampah inilah yang kemudian harus kita tempatkan di posisi lebih awal sebelum penerapan tiga prinsip tersebut.
Rethink sampah bisa kita terapkan jauh sebelum adanya suatu barang yang tentu, cepat atau lambat akan menjadi sampah. Proses ini bisa kita lakukan dengan cara menimbang dengan matang perolehan barang yang kita butuhkan. Rumusnya adalah dengan melihat potensi penambahan jumlah sampah yang akan dihasilkan melalui keberadaan barang tersebut. Kemudian kita bandingkan dengan urgensi kepemilikan barang tersebut secara pribadi.
Misalnya, saat membeli atau berbelanja. Sebuah barang yang hendak kita sasar harus dipertimbangkan dari sisi fungsi dan dampaknya terhadap lingkungan. Begitu pula dengan mempertimbangkan secara pasti bahwa barang tersebut masuk pada kategori kepentingan privat atau pun kolektif. Jika kolektif, maka penting untuk menerapkan sistem pemakaian bersama demi mengurangi kuantitas si bakal sampah.
Rethink juga menyarankan agar seseorang bisa mempertimbangkan perolehan barang dengan nilai, manfaat, dan fungsi yang berkepanjangan. Dengan mengurangi pembelian barang sekali pakai, seseorang telah bisa dianggap telah turut bersumbangsih dalam upaya pengurangan bahaya sampah di dunia.
Peningkatan konsumsi Ramadan dan ancaman penumpukan sampah
Strategimelakukan rethink para ibu tempo dulu selama momentum Ramadan hingga Lebaran juga tidak nihil nilai. Sebab di dua momentum tersebut, masyarakat terbukti mengalami kenaikan tingkat konsumsi yang bisa berujung pada problem penumpukan sampah.
Menurut laporan Survei Sensus pada 2022 kemarin, misalnya, anggaran belanja masyarakat selama Ramadan 2022 diproyeksikan meningkat sebesar 10% dari pada tahun-tahun sebelumnya. Hasil survei itu menyebutkan bahwa masyadakat rata-rata menyediakan Rp 6,9 juta untuk belanja Ramadan 2022.
Peningkatan itu didominasi terjadi pada kebutuhan penyediaan makanan saat berbuka dan sahur. Sebagian umat Muslim beranggapan bahwa menu di kedua waktu itu mesti istimewa sebagai bentuk penghargaan atas upaya menahan haus dan lapar di saat menjalani puasa di siang hari.
Perkaranya adalah tidak setiap apa yang kita sajikan di meja makan bakal tersantap habis. Sepersekian persen dari kemewahan menu tersebut turut menyumbang pada perkara tingginya sampah sisa makanan di Indonesia.
Jumlah Sampah Makanan di Indonesia
Mengutip data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020, sampah makanan di Indonesia mencapai 40% dari total sampah yang masyarakat hasilkan di 199 kabupaten/kota. Sedangkan pada 2022, sampah makanan di Indonesia termasuk tinggi. Yakni sebesar 16,3 juta ton/tahun.
Sampah sisa makanan, meskipun kita masukkan dalam kategori sampah organik, akan tetapi itu bukan berarti tidak memiliki dampak bahaya seperti jenis sampah lainnya. Sejumlah penelitian menyimpulkan, sampah sisa makanan bisa menyebabkan tanah mengandung gas metana yang berbahaya bagi atmosfer bumi. Selain itu, efek rumah kaca juga bisa timbul dari karbon dioksida yang dihasilkan dari makanan sisa.
Terlebih lagi sampah sisa pakaian, perkara ini harus mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar lagi. Pada 2019, Nexus Foundation mengeluarkan data bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 33 juta ton pakaian/tahun. Dari jumlah itu, setidaknya akan ada sumbangan satu juta ton sampah di setiap tahunnya yang akan terus menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan.
Pada akhirnya, mengembalikan nalar ke tradisi para ibu zaman dulu adalah suatu hal yang sangat masuk akal. Bahkan, menjadi kebutuhan mendesak di tengah isu kerusakan alam yang kian mengancam. []