Mubadalah.id – Ketika saya menonton film Sore: Istri dari Masa Depan” beberapa hari yang lalu di bioskop, saya menyadari bahwa film ini lebih dari sekadar kisah cinta biasa. Bagi saya, film besutan Yandy Laurens ini membuka ruang refleksi tentang bagaimana cinta sejati yang sadar mesti terbangun atas kesiapan, kesadaran, dan kemitraan yang sehat.
Selain itu, saya juga merasakan bahwa film ini juga selaras dan relevan dengan prinsip Mubadalah. Prinsip yang menekankan kesetaraan, kemitraan, dan kerja sama sebagai fondasi relasi laki-laki dan perempuan dalam berbagai ranah kehidupan.
Cinta yang Belum Siap Akan Bisa Melukai
Pernah dengar ungkapan, “Cinta yang belum siap akan bisa melukai, meski niatnya baik”? Nah, film ini menggambarkan ungkapan tersebut lewat karakter Jonathan (diperankan oleh Dion Wiyoko) dan Sore (diperankan oleh Sheila Dara Aisha).
Melalui karakter Sore dan Jonathan, film ini mengajak kita memahami luka batin, trauma, dan perjalanan penyembuhan dalam relasi yang kompleks. Jonathan adalah sosok yang belum siap secara emosional untuk membuka diri dan mencintai secara penuh karena luka trauma masa lalu dan ketidakstabilan emosinya.
Meskipun niatnya mungkin baik, ketidaksiapan emosionalnya justru dapat menyebabkan luka dan rasa sakit bagi diri sendiri maupun bagi Sore sebagai pasangannya.
Sebagai istri dari masa depan, Sore hadir dengan kesadaran penuh tentang kondisi Jonathan. Bahkan ia mengetahui kesulitan dan luka yang akan mereka hadapi. Namun, cinta Sore bukanlah nafsu atau sekadar perasaan romantis yang membabi buta. Melainkan cinta yang berlandaskan pada kesadaran, penerimaan, dan pilihan untuk mendampingi meski risiko luka tetap ada.
Film ini secara halus mengajak kita untuk melihat bahwa seseorang yang “belum siap” bukanlah sosok yang buruk. Melainkan manusia yang berjuang melawan trauma internal, dan membutuhkan waktu, pengertian, dan kesabaran.
Konsep ini mengingatkan kita bahwa cinta tidak selalu bisa menyembuhkan secara instan. Jika seseorang belum siap, baik secara psikologis maupun emosional, maka hubungan tersebut bisa menimbulkan lebih banyak rasa sakit daripada pertumbuhan positif.
Dua Pihak yang Saling Mencintai Merupakan Subyek Utuh
Dalam buku Qiraah Mubadalah, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menegaskan Mubadalah sebagai prinsip kesetaraan dan kemitraan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Dalam prinsip Mubadalah, kedua pihak hadir sebagai subyek utuh yang setara dan saling mendukung. Menjadi subyek utuh berarti masing-masing pihak memiliki akal, kehendak, hak, dan tanggung jawab atas diri sendiri.
Prinsip tersebut sangat selaras dalam film ini. Jonathan yang belum siap merupakan gambaran seseorang yang belum menyelesaikan tanggung jawabnya terhadap luka batin. Ia masih berusaha berdamai dengan luka dan tanggung jawab atas penyembuhan dirinya sendiri.
Sementara itu, Sore sebagai pasangan hadir bukan sebagai pelengkap pasif, melainkan sebagai subyek aktif yang sadar akan kapasitas dan batasan diri serta tidak memaksakan perubahan secara instan pada Jonathan.
Prinsip Mubadalah mematahkan stigma bahwa perempuan hanya sebagai pelengkap atau obyek. Dalam film ini, Sore justru muncul dari masa depan sebagai sosok mandiri, sadar, dan aktif yang memilih datang ke masa lalu bukan untuk sekadar dicintai, tetapi untuk menyelamatkan Jonathan dan mendukung pertumbuhan bersama.
Situasi ini mengilustrasikan aplikasi praktis prinsip Mubadalah dalam relasi modern bahwa perempuan tidak hanya sekadar pelengkap, tetapi subyek penuh yang berperan aktif.
Penghormatan terhadap Proses dan Kapasitas Masing-Masing
Film ini mengajarkan kepada kita bahwa luka batin bukan sesuatu yang bisa kita paksakan segera sembuh. Sore berkata kepada Jonathan, “Aku nggak akan bisa maksa kamu. Tapi kapanpun kamu siap, aku ada di sini.” Dia memahami bahwa penyembuhan itu harus dari kesadaran dan kerelaan dari pihak yang terluka.
Lebih jauh, dia mengajarkan kita bahwa sebuah luka akan mereda ketika kita bersedia percaya bahwa setiap orang mampu menghadapi lukanya.
Prinsip Mubadalah mendukung gagasan ini dengan menegaskan kesalingan dalam menghormati kapasitas dan proses masing-masing. Tidak ada dominasi atau pengambilalihan beban yang berlebihan, melainkan pendampingan yang setara dan penuh pengertian tanpa paksaan.
Kita tidak bisa memaksa pasangan atau orang lain untuk segera berubah. Yang ada adalah saling menemani dengan penuh pengertian. Pada akhirnya, kita akan merasa lebih tenang dan secure. Karena ketika dalam memproses luka itu, kita punya seseorang yang bersedia hadir tanpa memaksakan kita untuk segera sembuh.
Cinta atas Komitmen yang Sadar, Landasan Hubungan yang Sehat
Film ini juga menegaskan arti penting cinta yang sadar. Aspek kesadaran dan kesiapan emosional menjadi kunci utama untuk cinta dan hubungan yang sehat. Prinsip Mubadalah menegaskan bahwa relasi laki-laki dan perempuan harus berdasar pada kesetaraan dan kesalingan, bukan dominasi satu pihak terhadap yang lain.
Cinta yang tumbuh tidak hanya berlandaskan perasaan semu, tetapi juga kesadaran penuh akan diri sendiri dan orang yang kita cintai. Kesadaran ini menjadi elemen kunci dalam Mubadalah yang menuntut kedua pihak hadir sebagai subyek utuh.
Kedua pihak merupakan individual mandiri dengan kesiapan emosional yang memadai. Tanpa kesadaran diri dan regulasi emosi yang baik, cinta bisa berubah menjadi beban yang menyakitkan, bukan ruang bagi tumbuh kembang bersama.
Sore pernah berkata kepada Jonathan dalam bahasa Kroasia:
“Da moram živjeti deset tisuća života, uvijek bih izabrala tebe.”
(“Kalau aku harus hidup sepuluh ribu kali pun, aku akan tetap memilihmu.”)
Kalimat tersebut menunjukkan dimensi cinta yang sangat dalam dari sosok Sore, yakni pilihan sadar dan komitmen berulang yang tidak terhenti oleh keluh kesah, luka, atau ketidaksempurnaan. Dalam konteks Mubadalah, ini adalah bukti hadirnya subyek utuh dalam relasi, yang bukan sekadar mengikuti arus emosi atau kebutuhan sesaat, melainkan berproses secara dewasa dan bijak.
Komitmen ini bukan tentang mengikat secara posesif, melainkan memilih untuk bertanggung jawab bersama, memberi ruang penyembuhan dan pertumbuhan bagi dua pihak. Dengan kata lain, Sore menunjukkan bahwa cinta yang sebenar-benar cinta adalah yang memilih dengan kesadaran penuh dan tidak tergoyahkan oleh masa lalu atau ketidakpastian masa depan.
Setiap Dari Kita Adalah Sore dan Jonathan
Film ini secara sangat otentik merepresentasikan dua sisi pengalaman emosional yang sangat umum dalam dinamika hubungan manusia. Film ini menyentuh realitas banyak orang yang pernah berada baik di posisi Sore maupun Jonathan.
Beberapa dari kita mungkin pernah berada pada posisi Sore. Sosok yang memberi terlalu banyak, baik perhatian, energi, dan cinta. Dengan harapan bisa menyelamatkan atau membantu orang yang dicintai melewati kesulitan, meski risiko sakit hati dan kekecewaan sangat besar.
Posisi ini menggambarkan karakter yang berbagi cinta dengan kesadaran dan niat baik, tetapi dihadapkan pada tantangan tidak mudah menerima ketidaksiapan atau ketidaksempurnaan pasangan.
Ada juga di antara kita yang pernah berada pada posisi Jonathan. Sosok yang belum selesai dengan luka batin dan proses penyembuhan dirinya sendiri, namun tetap mendambakan cinta, penerimaan, dan harapan baru dari orang lain.
Jonathan merepresentasikan ketidaksiapan emosional yang sangat manusiawi, yang tetap menginginkan hubungan dan kedekatan meski belum sepenuhnya siap membuka diri atau bertanggung jawab secara emosional.
Kedua peran ini sangat universal dan menjadi representasi pengalaman banyak pasangan atau individu yang menghadapi ketidaksempurnaan dalam relasi karena faktor internal masing-masing.
Hubungan antara Sore dan Jonathan juga menegaskan bahwa kehadiran orang yang tepat di waktu yang tidak tepat bukan kesalahan siapa-siapa. Seringkali, kita harus melewati proses pertumbuhan diri dulu sebelum siap memasuki komitmen dan jenjang yang lebih serius.
Oleh karena itu, hubungan dengan pola Sore dan Jonathan menggarisbawahi pentingnya kesiapan emosional sebagai prasyarat utama untuk menjajaki hubungan berlandaskan Mubadalah. Tanpa kesiapan personal, kesetaraan dan kemitraan tidak akan berjalan mulus karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab maupun energi emosional.
Refleksi untuk Kehidupan Nyata
Film Sore: Istri dari Masa Depan” menghadirkan pelajaran tentang cinta yang sadar yang tidak hanya sekadar perasaan, tetapi juga pilihan yang berulang dan komitmen penuh kesadaran. Dengan mengaitkannya pada prinsip Mubadalah, kita memahami bahwa cinta sejati adalah kemitraan yang berdasarkan kesetaraan, saling menghormati, dan kerja sama.
Film ini mengajarkan kita bahwa memberi cinta dengan sadar berarti mengenali kapasitas diri sendiri dan pasangan, serta menghargai proses yang masih berlangsung. Menerima pasangan yang belum siap bukan berarti mengorbankan diri tanpa batas, melainkan melibatkan komunikasi jujur, kesabaran, dan pengertian yang sejati. Dalam hubungan yang sehat, setiap individu dihargai sebagai mitra dengan hak dan tanggung jawab yang sama, sesuai prinsip Mubadalah.
Dengan demikian, film Sore: Istri dari Masa Depan tidak hanya bercerita tentang cinta dan luka, tetapi juga memetik pelajaran universal tentang bagaimana menciptakan hubungan yang adil, sehat, dan berkelanjutan. Bukan berdasarkan idealisme romantis semu, melainkan sesuai kenyataan dan nilai-nilai kemanusiaan yang utuh dan universal. []