Mubadalah.id – Setiap masuk bulan April, tepatnya pada tanggal 21, saya selalu mengingati tentang sejarah hidup Kartini. Dia telah menjadi pembuka jalan emansipasi perempuan di Indonesia. Ungkapan terima kasih rasanya tak cukup untuk mewakili hak-hak yang telah perempuan dapatkan hari ini, seperti akses pendidikan dan peran di ruang publik.
Di sisi lain, ada perasaan getir ketika membaca ulang sejarah. Kartini meninggal setelah melahirkan di usia yang masih sangat belia, yaitu 25 tahun. Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904 di Rembang saat berusia 25 tahun. Ia meninggal empat hari setelah melahirkan putra pertamanya karena preeklamsia.
Kartini meregang nyawa di masa reproduksi, melahirkan dan menyusui (nifas) yang hingga hari ini masih menghantui para perempuan di Indonesia. Cemas dan takut ketika kematian tiba-tiba menjemput.
Bahkan belum lama ini, orang yang saya kenal baik, seorang perempuan muda mati sia-sia karena terlambat penanganan medis ketika mengalami abortus spontan di sebuah rumah sakit swasta di Indramayu.
Tak hanya itu, belasan tahun yang lampau, saya juga memiliki sahabat baik yang meninggal persis setelah melahirkan karena pendarahan hebat. Ia tak sempat menyapa putri pertamanya yang kini telah beranjak remaja.
Pun ketika sesekali saya bertemu dan bertanya pada putrinya apakah dia masih mengingati dan mendoakan sang ibu? Ia menjawab, masih. Meski tak sanggup mengenang bagaimana rupa dan wajah sang ibu. Ya, hanya selembar foto yang bisa ia pandangi kini. Sedih dan miris, tapi memang itu kenyataan yang harus ia hadapi.
Lantas saya bertanya-tanya, harus berapa banyak lagi perempuan yang mati sia-sia karena menjalani masa reproduksi?
Menilik Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia
Melansir dari Kompas.com angka kematian ibu di Indonesia tergolong tinggi di Asia Tenggara. Menempati peringkat tiga tertinggi dari 10 negara pada 2020. Menurut estimasi yang dilakukan sejumlah lembaga kesehatan dunia, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 173 kematian per 100.000 kelahiran hidup.
Angka kematian ibu di Indonesia tersebut secara berurutan berada di bawah Kamboja dengan 218 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan Myanmar 179 kematian per 100.000 kelahiran hidup.
Di sisi lain, berdasarkan hasil Long Form Sensus Penduduk 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka kematian ibu di Indonesia sebesar 189. Itu artinya terdapat 189 kematian perempuan pada saat hamil, saat melahirkan, atau masa nifas per 100.000 kelahiran hidup.
Angka tersebut masih jauh dari target nomor 3 Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030, yakni mengurangi rasio angka kematian ibu hingga kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu menjadi parameter yang sensitif terkait derajat kesehatan perempuan dan terpengaruhi oleh kualitas layanan kesehatan, infrasktrutur, dan kesehatan ibu remaja.
Kesejahteraan Ibu
Sejarah Kartini yang meninggal setelah melahirkan, dan melihat banyaknya kasus kematian ibu menjadi catatan penting, bagaimana upaya kita untuk lebih memperhatikan kesejahteraan ibu dan calon ibu (perempuan) di Indonesia.
Di negara maju, kesejahteraan ibu terlindungi oleh undang-undang. Misal, di negara Perancis seorang ibu hamil akan mendapatkan tunjangan dari negara agar dapat membeli makanan-makanan yang bergizi, sehingga bayi yang ia kandung tumbuh secara sehat.
Sementara bagi ibu yang tidak mampu akan diberikan jaminan agar dapat melahirkan di rumah sakit tertentu tanpa harus membayar apapun, alias gratis. Bahkan setelah mereka melahirkan pun, masih bisa memperoleh makanan bayi dan susu bayi secara cuma-cuma di tempat-tempat tertentu. Tak ada lagi bayi yang lahir dengan berat badan rendah, gizi buruk ataupun stunting.
Lalu bagi ibu yang bekerja namun berpenghasilan minim atau bagi ibu yang masih sekolah/kuliah, disediakan tempat penitipan anak yang biayanya terjangkau, bahkan ada pula yang gratis.
Semua fasilititas dan layanan di atas untuk memberikan jaminan bagi kualitas generasi penerus. Anak adalah masa depan bangsa, itu sebabnya bagi negara-negara tertentu usaha untuk mensejahterakan ibu menjadi prioritas utama. Lantas, bagaimana dengan Pemerintah Indonesia?
Menggali Sejarah Pengalaman Perempuan
Kartini meninggal setelah melahirkan, cukuplah itu menjadi catatan kelam. Tinggal bagaimana sejarah Kartini itu menjadi pembelajaran penting untuk menyusun kebijakan negara yang lebih memprioritaskan kesehatan perempuan, ibu dan bayi.
Pada zamannya Kartini adalah inspirator bagi gerakan dan perjuangan kaum perempuan. Meski sekarang harus kita akui, faktanya Kartini hanyalah puing-puing yang coba kita hidupkan sekali setahun.
Apakah Kartini sudah kehilangan nilai simbolisnya? Secara resmi memang Kartini masih diangkat menjadi tokoh simbolis pahlawan emansipasi. Maka tidak berlebihan jika ada yang berpendapat bahwa Kartini di abad 21 hanya sebuah lukisan yang terpajang di museum.
Meski demikian, saya berharap momentum peringatan Hari Kartini ini tidak sekadar menjadikannya relikwi. Yakni menghormati raga dan memuja peninggalan busana putri suci dari masa lalu. Akan tetapi mengajak kita semua untuk menggali lebih dalam sejarah Kartini berdasarkan pengalaman perempuan yang seringkali dikalahkan oleh kebesaran nama pahlawan laki-laki. []