Saya pernah berdiskusi dengan teman saya terkait jilbab. Lalu diakhir dia bertanya, mengapa saya masih memakai jilbab jika menurut saya jilbab tidak wajib? Tentu saja saya berusaha memiliki alasan ideologis. Saya belajar, membaca dan merasai pengalaman saya sebagai perempuan muslim.
Saya pernah mendengar dari Guru saya, Ibu Dr Nur Rofiah dimana beliau menyatakan bahwa agama itu bukan hanya masalah halal-haram, boleh-tidak boleh, hitam-putih. Tapi lebih dari itu, apakah baik? Apakah ma’ruf? Atau yang sering disebut oleh Ibu Badriyah Fayumi sebagai halalan, toyiban, dan ma’rufan.
Ya, saya termasuk yang berpendapat bahwa jilbab tidak wajib. Setelah saya belajar, saya tahu bahwa jilbab bukanlah budaya Islam. Ia hadir jauh sebelum Islam, perempuan-perempuan katolik menggunakannya dengan nama mantilla. Saya mempercayai tafsir yang menyatakan bahwa jilbab adalah pembeda perempuan budak dan merdeka agar tidak diganggu di zaman Nabi. Dimana berarti tujuannya adalah tidak diganggu, maka ketika zaman berubah dan perempuan bukan lagi diganggu karena ciri khas pakaiannya, apakah jilbab masih menjadi wajib?
Apalagi ketika kita tau bahwa ternyata perempuan yang menggunakan pakaian tertutup saja masih diganggu. Hal itu dapat dilihat di tagar #MosqueMeToo. Tentu saja mungkin terdapat banyak perbedaan pendapat. Dahulu, ketika saya mondok kemudian melihat perempuan yang rambutnya terlihat, saya akan berkata dalam hati “mengapa dia berani memperlihatkan rambutnya? Padahal dia santri.”
Atau bahkan ketika saya menemui santri berani memakai celana, saya lalu mempertanyakan mengapa ia berani sekali memakai celana. Saya mempercayai bahwa jilbab tidak wajib namun saya tahu bahwa tafsir Islam beragam. Kembali ke pertanyaan tadi, mengapa saya masih memakai jilbab jika saya mempercayai jilbab bukanlah kewajiban?
Pertanyaan tersebut akan saya jawab dengan pertanyaan kembali: jika saya melepas jilbab apakah itu baik (toyib) bagi saya? Apakah itu pantas (ma’ruf) bagi saya? Keluarga saya pasti akan geger, teman-teman saya yang mayoritas anak pondok pesantren pasti akan ramai.
Maka, meskipun menurut saya tidak memakai jilbab itu boleh (halal), namun itu tidak baik (toyib) dan tidak pantas (ma’ruf) bagi saya sebagai perempuan yang lahir di keluarga dan lingkungan yang hampir semuanya memakai jilbab. Hal itu serupa dengan perumpaan begini: Laki-laki dalam shalat auratnya hanya sebatas lutut dan pusar namun ketika mereka shalat, mereka memakai pakaian dan sarung. Ya itu karena agama bukan hanya tentang boleh dan tidak boleh.
Menarik sekali penjelasan Buya Husein Muhammad terkait manusia beragama ketika saya satu forum dengan beliau. Menurut beliau ada 3 tipe manusia beragama :pertama orang awam, mereka sibuk dengan halal-haram, menggunakan nalar bayani. Kedua orang yang selalu rasional, menggunakan logika dalam beragama: nalar burhani. Dan yang ketiga adalah orang yang bijaksana, ia melihat lewat kaca mata kebijaksanaan: nalar irfani.
Nalar itu bertingkat, dan dengan penjelasan beliau saya menangkap bahwa nalar yang paling baik adalah menggunakan nalar kebijaksanaan atau irfani. Nah kita ada tingkat mana dalam beragama? Masihkah kita hanya sibuk berdebat boleh-tidak boleh memakai jilbab dalam kasus ini?
Saya melihat banyak sekali perempuan bijaksana yang memilih melepaskan jilbab dengan banyak alasan ideologis. Ada yang melepas jilbab untuk membersamai muslim perempuan yang sering dianggap tidak beragama karena tidak memakai jilbab.
Saya juga melihat banyak sekali perempuan yang juga bijaksana menutup rapat rambutnya. Mereka senantiasa bertasbih dan bertahmid dan memuliakan tamu. Tidak ada yang salah, selama kita memilih dengan kesadaran kita. Perempuan yang berdaya adalah yang mengatahui bahwa ia memiliki pilihan dan memilihnya dengan kaca mata pengalaman dan pengetahuannya. Maka pastikan bahwa jilbabmu adalah pilihan sadarmu dengan pengetahuan dan pengalaman yang kamu miliki. []