• Login
  • Register
Rabu, 23 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mengapa Perlindungan Anak Harus Dimulai dari Kesadaran Gender?

Kalau hari ini kita masih membatasi langkah anak perempuan atas nama cinta, mungkin cinta itu perlu kita pertanyakan ulang.

Nadhira Yahya Nadhira Yahya
23/07/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Perlindungan Anak

Perlindungan Anak

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Kenapa anak perempuan itu gak boleh ikut lari-lari sama anak laki-laki?”
“Karena nanti bajunya kotor. Kan perempuan harus sopan.”

Mubadalah.id – Kalimat ini bisa saja muncul di teras rumah, di taman bermain, atau bahkan di ruang kelas. Mungkin kamu sendiri pernah mendengarnya. Atau jangan-jangan, kamu yang mengucapkannya?

Kalau iya, kamu nggak sendirian kok.

Banyak dari kita tumbuh dengan kepercayaan bahwa menjaga berarti melarang, melindungi berarti mengatur. Kita begitu ingin anak-anak kita “aman”, sampai-sampai lupa bertanya. Aman menurut siapa? Dan siapa yang akhirnya kita korbankan atas nama sopan santun, kehormatan, atau citra keluarga ini?

Mari kita jujur sama diri sendiri. Kita sering bilang ingin melindungi anak perempuan, tapi bentuk perlindungan anak lebih mirip pagar: membatasi gerak, membungkam suara, mengarahkan hidup mereka ke jalur yang “lebih bisa diterima”. Yang penting rapi, diam, tidak bikin malu.

Padahal, kalau kita benar-benar sayang, bukankah seharusnya kita membuat dunia jadi lebih aman untuk mereka bergerak bebas? Bukan justru menyuruh mereka mengecilkan diri agar muat di dunia yang sempit ini?

Baca Juga:

Fenomena Sibling Rivalry dalam Rumah: Saudara Kandung, Tapi Rasa Rival?

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Kita bisa mulai perlindungan anak dari hal yang sangat sederhana. Seperti kalimat di awal tadi. Sering kali yang kita anggap remeh, justru punya akar yang panjang. Karena cara kita memandang anak perempuan hari ini, akan membentuk cara mereka memandang diri sendiri di masa depan.

Dan jangan salah, yang dimaksud “perlindungan bias” itu bukan cuma hal besar seperti menikahkan anak di bawah umur. Tapi juga komentar santai seperti, “jangan ketawa kenceng, nanti dibilang genit,” atau “ngapain sih kamu main bola? Itu olahraga cowok.”

Sistem Nilai

Hal-hal semacam ini tidak berdiri sendiri. Ia terhubung dengan sistem nilai yang lebih besar, yang sejak dulu membentuk cara kita berpikir tentang siapa yang pantas bicara, siapa yang harus diam, siapa yang boleh terlihat, dan siapa yang hanya boleh menunggu di balik layar.

Mungkin kita belum menyadarinya, tapi anak perempuan hidup di dua lapis dunia. Yakni dunia anak, dan dunia perempuan. Bayangkan, dua-duanya sama-sama penuh tuntutan dan penghakiman. Mereka dianggap “belum cukup umur” untuk terdengar, tapi sekaligus dituntut untuk “tahu diri” sebagai perempuan. Miris sekali, bukan?

Kita bilang anak-anak harus terjaga, tapi cara jaganya adalah dengan membatasi mereka. Kita bilang ingin mendidik, tapi mendidiknya dengan cara membungkam keingintahuan. Lama-lama, mereka belajar untuk diam. Dan diam itu, kita sebut sebagai “perempuan baik-baik”.

Padahal Al-Qur’an pernah mengingatkan kita dengan sangat tegas:

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap dirimu sendiri” (QS. An-Nisa: 135)

Ayat ini menyentil kita: kalau memang kita ingin adil, maka adil itu harus berani dimulai dari cara kita memperlakukan yang paling rentan. Termasuk anak-anak, terutama anak perempuan. Ingat: adil bukan berarti memperlakukan semua orang sama rata, tapi justru melihat siapa yang butuh lebih banyak ruang, lebih banyak perlindungan, dan lebih banyak keberpihakan.

Karena faktanya, tidak semua anak mengalami dunia dengan cara yang sama. Seorang anak perempuan dari keluarga miskin, dari daerah terpencil, dari komunitas adat, dari kelompok minoritas. Semuanya membawa kerentanan yang bertumpuk. Mereka tidak butuh nasihat yang merendahkan. Mereka butuh sistem yang paham di mana mereka berdiri.

Di Mana Ruang Aman Anak Perempuan?

Dan kita tidak bisa menutup mata dengan alasan “netral”. Netralitas sering kali jadi tameng untuk tidak berpihak. Padahal dalam dunia yang timpang, netralitas bisa jadi bentuk paling halus dari pembiaran.

Kamu mungkin bertanya, “Kalau begitu, harus berpihak ke siapa?”

Jawabannya: berpihaklah pada yang paling jarang kita beri ruang bicara. Pada anak-anak yang masih dicap “nakal” hanya karena bertanya. Atau anak perempuan yang dikata-katai hanya karena ingin main petak umpet sampai sore. Pada suara-suara yang dikecilkan karena dianggap terlalu ribut, terlalu cerewet, terlalu keras untuk ukuran “perempuan baik-baik”.

Kamu mungkin juga bertanya, “Apa gunanya semua ini?”

Gunanya? Agar kita tidak mengulang lingkaran luka yang sama ke generasi berikutnya. Agar anak-anak perempuan tidak tumbuh dengan perasaan bersalah hanya karena jadi diri mereka sendiri. Dan, agar mereka tahu: tubuh mereka bukan untuk kita atur, suara mereka bukan untuk terbungkam, dan mimpi mereka bukan untuk menyesuaikan dengan ekspektasi orang lain.

Malala Yousafzai bilang,
“We cannot all succeed when half of us are held back.”
Kalau separuh dari anak-anak kita terus disuruh diam, apa jadinya dunia ini lima puluh tahun ke depan? Masihkah kita bisa bicara soal kemajuan?

Dan sekarang, coba kamu lihat ke sekeliling. Rumahmu, sekolah anak-anakmu, komunitas tempat kamu tumbuh. Sudahkah ada perlindungan anak? Adakah ruang aman di sana? Sudahkah anak perempuan bisa bersuara tanpa takut kita nilai? Sudahkah kita berhenti mengatur hidup mereka dengan dalih “untuk kebaikanmu, Nak”?

Keberanian untuk Mengubah Dunia

Kalau jawabannya belum, itu bukan akhir dunia. Tapi itu bisa jadi titik awal. Titik di mana kamu memilih untuk tidak lagi diam, atau kamu memutuskan untuk mulai mendengar lebih banyak, mengatur lebih sedikit. Titik di mana kamu sadar bahwa perlindungan bukan soal melarang, tapi menciptakan dunia yang tidak perlu ditakuti.

Dan kamu tidak sendirian. Banyak dari kita sedang belajar bersama. Belajar untuk tak langsung menghakimi. Berhenti menyamakan suara keras dengan sikap tak sopan. Belajar untuk mengatakan pada anak perempuan: kamu boleh bicara, kamu boleh bermain, kamu boleh bermimpi sebesar langit.

Karena dunia yang adil untuk anak-anak tak akan hadir karena waktu berjalan. Ia hadir karena kita memilih untuk bangun, hari ini juga.

Di Hari Anak  Nasional ini, barangkali yang paling perlu kita rayakan bukanlah senyuman mereka, tapi keberanian kita mengubah dunia yang terlalu sempit untuk menampung mimpi-mimpi mereka. Kalau hari ini kita masih membatasi langkah anak perempuan atas nama cinta, mungkin cinta itu perlu kita pertanyakan ulang. Maka, merenunglah. []

Tags: Hak anakhari anak nasionalkesadaran genderparentingperlindungan anakRuang Aman
Nadhira Yahya

Nadhira Yahya

Terkait Posts

Pesantren Inklusif

Menuju Pesantren Inklusif: Sebuah Oto-kritik

22 Juli 2025
Perselingkuhan

Perselingkuhan, Nikah Siri dan Sexually Discipline

22 Juli 2025
Mazmur

Mazmur dan Suara Alam: Ketika Bumi Menjadi Mitra dalam Memuji Tuhan

21 Juli 2025
Erika Carlina

Dari Erika Carlina Kita Belajar Mendengarkan Tanpa Menghakimi

21 Juli 2025
Tren S-Line

Tren S-Line: Ketika Aib Bukan Lagi Aib

21 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan

20 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Keadilan

    Standar Keadilan Menurut Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menemukan Makna Cinta yang Mubadalah dari Film Sore: Istri dari Masa Depan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghargai Hak-hak Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perlindungan Anak Harus Dimulai dari Kesadaran Gender?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menuju Pesantren Inklusif: Sebuah Oto-kritik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengapa Zina dilarang Agama?
  • Mengglobal: SUPI ISIF Jalani PIT di Malaysia dan Singapura
  • Viral Pegawai PPPK Ramai-ramai Gugat Cerai Suami: Disfungsi Institusi Pernikahan
  • Menghargai Hak-hak Anak
  • Menemukan Makna Cinta yang Mubadalah dari Film Sore: Istri dari Masa Depan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID