• Login
  • Register
Senin, 20 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Mengapa Rumi Memilih Monogami?

Afifah Ahmad Afifah Ahmad
22/08/2020
in Hikmah, Keluarga, Rekomendasi
0
890
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Persoalan poligami masih menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Kesadaran dan perjuangan para aktivis perempuan mempromosikan pernikahan monogami masih menghadapi banyak tantangan. Berbagai dalih dicari dan dilegitimasi untuk melenggangkan praktik poligami yang lebih sering merugikan posisi perempuan. Belakangan tak sedikit acara diskusi maupun seminar yang digelar dengan menghadirkan para pelaku poligami. Mereka seolah ingin berkabar, pernikahan poligami adalah pilihan yang ideal dan membahagiakan. Benarkah demikian?

Tanpa bermaksud memasuki ranah perdebatan hukum, saya hanya ingin berkisah tentang pilihan monogami yang dilakukan oleh Rumi, tokoh sufi dan penyair besar. Jalaluddin Rumi hidup di abad ke-13, ketika posisi perempuan di berbagai belahan dunia masih termarjinalkan. Pada masa itu, praktik poligami menjadi sesuatu yang sangat lumrah. Bahkan, banyak tokoh dan ulama yang memiliki istri lebih dari satu.

Tetapi, Rumi mengambil jalan yang berbeda. Menurut catatan Aflaki, penulis buku Manaqib Arifin, sampai akhir hayatnya, Rumi mempraktikan perkawinan monogami. Jalaluddin Rumi memang menikah dua kali, tetapi keduanya dinikahi dalam waktu berbeda. Rumi baru menikah dengan istri kedua (Kara Khaton), setelah istri pertamanya (Gohar Khaton) meninggal dunia. Sang sufi besar ini memperlakukan kedua istrinya sebagai teman seperjalanan, baik dalam urusan rumah tangga maupun pencapaian spiritual.

Sejak awal, Rumi memang memiliki pandangan yang ramah gender dan menjunjung hak-hak perempuan. Ia selalu meminta kepada keluarga dan murid-muridnya untuk menghormati para perempuan. Bahkan, ketika anaknya yang bernama Sultan Walad berselisih dengan menantunya, Fathimah Khaton, Rumi menulis surat dan memberikan dukungan kepada menantu perempuan kesayangannya itu.

“Aku bersaksi kepada Tuhan, jika Anda merasa tidak mendapat perlakuan baik dari putraku, kami akan sepuluh kali lipat lebih bersedih…. Jika putraku menyakitimu, ketahuilah ia akan terusir dari hatiku. Aku tidak akan menjawab salamnya dan melarangnya untuk melayat jenazahku…”, begitulah di antara kutipan surat Rumi kepada menantunya dalam Manaqib Arifin yang sangat menggetarkan jiwa.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an
  • Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

Baca Juga:

Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

Mungkin kita akan bertanya, apa alasan Rumi memberikan penghormatan sedemikian besar kepada para perempuan sehingga ia memilih tidak melakukan poligami? Atau dengan kata lain mengapa Rumi memilih pernikahan monogami? Sebenarnya, Rumi sendiri tidak pernah mengungkapkan alasan ini secara langsung. Tapi, kita dapat menemukannya dalam berbagai metafora dan simbol-simbol yang ia tuangkan lewat syair-syairnya. Setidaknya, ada tiga alasan yang dapat ditelusuri.

Pertama, menurut pandangan Rumi, hubungan Tuhan dengan manusia bisa diumpamakan sebagai hubungan suami istri. Tuhan menginginkan hubungan yang tidak ‘diduakan’oleh hambanya. Dalam kitab Matsnawi, jilid 5 bait 1463-1465, Rumi menjelaskan tentang bagaimana Tuhan menawarkan muamalah kepada seorang hamba, dengan cara hanya ‘membeli’ dariNya. Lalu Rumi meminta kita untuk bergegas menerima tawaran dari dzat yang mengetahui sepenuhnya awal dan akhir alam ini.

Pada bait terakhir Rumi memberikan perumpamaan, berhati-hatilah jangan sampai kita tergoda untuk menerima ‘tawaran’ dari yang lain, karena mencintai dua kekasih itu adalah hal yang buruk dan tidak terpuji (عشق بازی با دو معشوقه بد است). Dengan kata lain, hubungan cinta sejati hanya bertumpu pada satu wujud, tidak memberikan ruang kepada wujud-wujud lainnya.

Dalam kaitannya dengan cinta kepada sesama manusia, kita juga menyaksikan para pecinta sejati hanya mengenal satu orang yang dicintai, seperti Majnun yang hanya mencintai Laila.
تو هیچ مجنون دیدی که با دو لیلی ساخت
Pernahkah Anda melihat seorang Majnun yang mencintai dua Laila?
(Ghazal 3061, Divan-e Shams)

Kedua, Rumi menyebutkan, motif kebanyakan laki-laki yang mencari perempuan lain adalah karena ketamakan dan hawa nafsu. ماننده آن مردی کز حرص دو زن دارد
Seperti laki-laki yang memiliki dua istri karena ketamakannya
(Ghazal 626, Divan-e Shams)

Ketiga, pernikahan poligami seringkali menyebabkan tekanan mental dan ketidaknyamanan kepada salah satu istri. Karena sebesar apapun keinginan suami untuk berlaku adil, secara natural akan memunculkan kecenderungan kepada salah satu pihak. Tentu saja, hal ini akan melahirkan hubungan keluarga yang tidak sehat. Dalam salah satu bait puisinya, Rumi menyebutkan:
چو شخصی کو دو زن دارد یکی را دل شکن دارد
بدان دیگر وطن دارد که او خوشتر بُدش در دل
Seorang yang memiliki dua istri, ia akan membuat salah satu istrinya kecewa
ketika istri lainnya berada dalam kebahagiaan
(Ghazal 1340, Divan-e Shams)

Kalaupun secara penampakan zahir, masing-masing istri dapat menyembunyikan rasa sedih dan kecewanya, tapi apakah anak-anak bisa mengelola emosi sebaik orang dewasa? Bagaimana mereka berdamai dengan situasi yang tidak diharapkan? Apakah tidak akan menorehkan luka yang membekas? Dan tentu masih banyak lagi konsekuensi yang harus dihadapi.

Sebagai seorang sufi besar yang telah bergelut lama dan memahami masalah kejiwaan manusia, Rumi tentu sangat menyadari berbagai dampak psikis yang dapat diakibatkan oleh pernikahan poligami. Barangkali, karena berbagai alasan itulah, Rumi memberikan teladan dengan memilih pernikahan monogami. []

Afifah Ahmad

Afifah Ahmad

Founder ngajirumi.com, penulis, traveller, dan penyuka karya sastra sufistik

Terkait Posts

Dinafkahi Istri

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

20 Maret 2023
tujuan perkawinan

Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

20 Maret 2023
Poligami

Cara Al-Qur’an Merespon Poligami

20 Maret 2023
Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Poligami Perempuan

Poligami Banyak Merugikan Kaum Perempuan

19 Maret 2023
Poligami

Poligami Bukan Tradisi yang Dilahirkan Islam

19 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rethink Sampah

    Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an
  • Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist