Mubadalah.id – Dalam pandangan sosial–zaman dulu, zina (adultery) bisa kita kategorikan sebagai bentuk pencurian properti. Ini karena keyakinan bahwa, bila salah satu di antara pelakunya masih di bawah pengawasan orang tua, pencurian aset dari orang tua/wali. Pun misalnya jika kedua palakunya adalah seseorang yang telah memiliki komitmen pernikahan, maka sesungguhnya mereka telah mencuri dari pasangan sah mereka.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah terma properti yang merujuk pada manusia (baik laki-laki ataupun perempuan) masih relevan di masa sekarang? Di mana manusia bukanlah sebuah barang dan pernikahannya bukanlah sebuah relasi transaksional.
Sebuah pandangan lain datang dengan mengatakan bahwa zina adalah sebuah bentuk pengkhianatan. Jika mereka adalah orang yang mengimani sebuah agama, maka ia telah mengkhianati Tuhan yang mereka imani.
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral yang janji atasnya disaksikan oleh Tuhan, begitu kira-kira. Jadi, Zina adalah pengkhianatan atas sebuah komitmen untuk menjaga mereka dalam marabahaya psikologis atau fisik, secara sosial atau secara material.
Jauh sebelum pembahasan itu, mengapa orang harus melakukan hubungan seksual yang halal? Jika, toh, sama saja hasilnya jika dilandasi dengan tanggung jawab? Menarik tentu saja pertanyaan ini karena di era agama semakin sulit (?) menemukan relevansinya karena gempuran modernitas.
Tetapi, justru alasan itulah yang membuat kuat mengapa halal (dalam pernikahan) itu sangat penting. Karena dalam semesta yang begitu besarnya ini, manusia bukanlah siapa-siapa dan tak memiliki apa-apa. Di hadapan alam semesta, manusia akan luluh lantak.
Relasi Marital yang Halal
Mungkin pada beberapa bagian manusia bisa mengantisipasinya. Tetapi seberapa besar kekuatan jika alam di bawah kendali tangan Tuhan sudah bergerak? Nah, di sini pentingnya memiliki keterpautan dengan pemilik alam semesta atau bagi yang mengimaninya disebut dengan Tuhan, dan lebih spesifik umat Islam menyebutnya Allah ar-Rahman dan ar-Rahim.
Dengan memiliki ketertautan ini, manusia menegaskan perannya di bumi sebagai khalifah fil ard (sederhananya adalah pengurus bumi–yang mewakili Tuhan).
Dengan begitu, manusia tak lagi hanya sekadar angka dalam hitungan statistik negara atau sebuah molekul yang menjadi penggenap tata surya. Di antara penautan diri kepada Tuhan adalah dengan menjalani segala sesuatu dalam hidup dengan halal (dan tentu saja aman). Termasuk di dalamnya adalah pernikahan.
Relasi marital yang halal dan aman membantu pasangan untuk terus bertumbuh dan berproses menuju ketenangan (sakinah). Ikatan ini juga sebagai bentuk untuk meminimalisir segala kejahatan yang mungkin saja ditimbulkan dari sebuah hubungan seksual–yang umumnya dialami oleh perempuan.
Zina dan nikah tidak hanya berbeda dalam sisi hukum fikih atau negara. Lebih jauh, perbedaan terletak pada tujuan untuk terus berproses dan bertumbuh sebagai khalifah. Yakni dengan basis keyakinan dan nilai-nilai, di antaranya adalah martabat, adil, dan maslahah. []
—
*)Tulisan ini dibuat dari materi yang disampaikan pada Tadarus Subuh, 20 Juli 2025 dengan pengampunya Kang Faqih dan juga diskusi aktif oleh Prof. Alimatul Qibtiah, Bu Istiadah, Bu Erik, dan Mbak Ain.