• Login
  • Register
Sabtu, 12 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mengejar Pembangunan: Membelokkan Gender, Mendegradasi Lingkungan

Untuk mempertahankan keseimbangan, pembangunan harus menjalankan amanat Undang-Undang dengan mengakui corak gender setempat, bukan mengubahnya. Menjaga kemurnian bentang alam adalah satu paket dalam pengakuan corak gender

Miftahul Huda Miftahul Huda
21/03/2022
in Publik
0
Pembangunan

Pembangunan

100
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Klaim pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat sudah menjadi klise, dan fakta yang menunjukkan sebaliknya juga semakin jamak ditemui. Paradigma pembangunan yang eksploitatif dan antroposentris adalah penyebabnya, dan ini sudah mendapat banyak kritikan. Perempuan dan lingkungan menjadi korban utama dari paradigma usang ini.

Mansour Faqih, Naila Kabeer, dan Sara Hlupekile Longwe adalah beberapa nama yang telah mengusulkan jalan keluar dari pembangunan yang mendiskriminasikan perempuan. Perempuan, dalam kerangka yang mereka usulkan, harus diberdayakan melalui partisipasi, akses, dan pengambilan keputusan dalam pembangunan.

Namun, lagi-lagi, corak gender yang berbeda membutuhkan langkah yang berbeda pula dalam implementasinya. Celakanya, pembangunan masih belum beranjak dari cara pandang antroposentris. Berdasarkan perencanaan, pembangunan memang berkomitmen melibatkan perempuan, tapi tidak dengan pengakuan gendernya. Alih-alih mengakui, tujuan pembangunan malah berusaha mengubah corak gender masyarakat untuk melancarkan eksploitasi alam.

Aturan di Atas Kertas, Terbakar di Lapangan

Langkah strategis sudah diambil Indonesia melalui UU No. 7/1984, hasil ratifikasi Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women (CEDAW), untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Tapi penerapannya di lapangan aturan ini terjerat oleh cara pandang feminisme liberal, di mana ideologi kesetaraannya berkutat pada capaian perempuan dalam dunia kerja modern.

Pijakan itu malah menjadi diskriminatif terhadap perempuan yang peran gendernya menyesuaikan diri dengan bentang alam. Sebab, dunia modern menganggap keterkaitan perempuan dengan alam adalah penghambat pembangunan. Untuk menyukseskan pembangunan, maka keduanya harus dipisahkan. Pengalaman, potensi, budaya, dan aspirasi perempuan yang harusnya diakui, sebagaimana amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 67/2011 Pasal 1, malah diabaikan demi standar kesetaraan versi feminisme liberal.

Baca Juga:

Islam dan Persoalan Gender

Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Pemisahan paksa perempuan-alam oleh pembangunan adalah wujud tidak adanya pengakuan terhadap gender masyarakat lokal dalam pembangunan. Penelitian Rebecca Elmhirst dkk. berjudul Revisiting Gender and Forestry in Long Segar, East Kalimantan, Indonesia: Oil Palm and Divided Aspiration (2016) mengurai bagaimana industri sawit di Kalimantan Timur mengubah gender masyarakat adat.

Perempuan yang mulanya mengolah ladang di hutan, kemudian harus bekerja di industri sawit dan kehilangan area hutannya. Bagi yang tetap mengolah ladang, mereka harus membeli motor untuk menuju ladang yang semakin jauh karena terhalang area sawit. Beban mereka juga bertambah karena harus membagi waktu pengasuhan dan kerja formal. Dari sisi pendapatan, bekerja di industri sawit tidak subsisten karena upah hanya mencukupi kebutuhan harian, yang juga bertambah karena pola hidup dan konsumsi mereka juga berubah.

Fenomena yang sama juga dialami oleh masyarakat Cilacap yang terdampak PLTU. Saya sempat menuliskannya dengan judul Terhimpit Energi Kotor: Jatuh-Bangun Masyarakat Pesisir Menghadapi Krisis Iklim, di mana perempuan yang memiliki peran di pertanian dan laut harus kehilangan peran itu karena pembangunan PLTU.

Pembangunan mencoba menyetarakan perempuan melalui kerja industri, yang mana itu omong kosong karena petani dan nelayan minim skill untuk industri itu. Alhasil, perempuan mengalami dua kerugian: alam yang rusak dan gender yang tidak sesuai dengan dunia industri.

Pembangunan juga mempraktikkan kekerasan ketika masyarakat menolak pembangunan, seperti yang terjadi di Wadas dan Wawonii. Pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden No. 9/2000 akhirnya digunakan untuk mendakwa belum setara bagi perempuan yang memanfaatkan bentang alam, dan menggunakan indikator kesetaraan melalui kuantifikasi perempuan dan laki-laki di dunia industri. Oleh karenanya, pembangunan akan terus berusaha mengubah gender tradisional, sekali pun dengan kekerasan.

Menurut Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB, problem pembangunan bukan sebatas produk hukumnya, melainkan kemauan politik yang memaksakan fungsi ruang hidup yang tidak pernah terbayang sebelumnya oleh masyarakat lokal. Legitimasi mengentaskan kemiskinan dan menyetarakan status sosial menutupi pelanggaran-pelanggaran selama proses pemaksaan itu. Pun dalam studi lingkungan-sosial investasi pembangunan tidak merekam pelanggaran itu.

Pembangunan yang Menghasilkan Ketidakseimbangan

Alquran memiliki term ifsad, dalam buku Bi’ah Progresif (2021), yang maknanya mengarah pada sebuah ketidakseimbangan. Terkadang kata ifsad juga bermakna ikhtilal (destruktif) dan idhtirab (ketidakteraturan) yang disebabkan oleh ulah manusia. Objek yang rusak adalah populasi manusia atau flora-fauna.

Pembangunan, dengan paradigma antroposentrisnya, telah melakukan perusakan terhadap lingkungan dan manusia yang ada di atasnya. Masih di buku yang sama, corak pembangunan ini disebut perilaku munafik dalam Q.S. Al-Baqarah: 205. Dalam konteks ayat tersebut, sifat orang munafik adalah berusaha merusak ladang kaum Muslimin, dorongannya adalah kebencian. Senada dengan sifat pembangunan yang merusak penghidupan masyarakat lokal beserta lingkungannya.

Fasad adalah bentuk pasif dari ifsad, yang merujuk pada tindakan-tindakan destruktif. Ar-Raghib al-Ashfihani berpendapat bahwa term fasad melekat pada jiwa atau tubuh fisik, perilakunya menyebabkan suatu hal menjadi tidak seimbang. Term fasad ini terinternalisasi dalam jiwa pembangunan yang mendegradasi alam dan menyebabkan ketidakseimbangan kehidupan.

Ini juga berlaku pada dampak pembangunan terhadap relasi perempuan-alam, di mana orientasinya memisahkan keduanya. Wujud ketidakseimbangan-nya adalah perempuan kesulitan hidup di lingkungan baru yang jauh dari alam. Bagi alam, ia juga mengalami ketidakseimbangan dengan menjauhnya entitas yang merawat mereka, yaitu perempuan.

Untuk mempertahankan keseimbangan, pembangunan harus menjalankan amanat Undang-Undang dengan mengakui corak gender setempat, bukan mengubahnya. Menjaga kemurnian bentang alam adalah satu paket dalam pengakuan corak gender. Dus, perilaku destruktif dan solusi palsu pembangunan harus disudahi. []

Tags: EkofeminismeGenderIndonesiaLingkunganPembangunan
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Perempuan dan Pembangunan

Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

12 Juli 2025
Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Negara Inklusi

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Humor Kepada Difabel

Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

10 Juli 2025
Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Negara Inklusi

    Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam dan Persoalan Gender

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID