Di masa physical distancing ini, salah satu cara untuk menjaga kewarasan diri adalah tetap terhubung dengan orang-orang terkasih. Meskipun, tetap saja ya rasanya berbeda antara ngobrol dari balik layar ponsel atau laptop dibanding ketemu secara langsung. Bahkan, mudik untuk berlebaran pun belum tentu dirasakan semua orang dalam situasi ini.
Ngobrolin tentang keterhubungan alias merawat relasi dengan orang-orang terkasih, saya jadi mengingat tentang membangun relasi yang lain. Kali ini, pertanyaannya agak jleb.
“Bagaimana relasimu dengan Qur’an?”
Pertanyaan ini nyantol di kepala karena saya ikut webinar yang diadakan Musawah, sebuah gerakan global tentang kesetaraan dan keadilan dalam keluarga Muslim. Undangan webinar ini nongol di barisan email baru saya sekitar dua minggu lalu.
Webinar ini bertajuk Feminist Quest for Quranic Justice, Beauty and Spiritual Care dengan para feminis kece sebagai narasumbernya, yakni Asma Lamrabet dan Mulki Al-Sharmani. Webinar ini mengajak saya untuk melihat lebih jauh ke dalam subjektivitas diri saya – sebagai perempuan queer Muslim – mengenai relasi saya dengan Al-Qur’an, terlebih dalam masa swakarantina akibat pandemi dan berbarengan dengan bulan Ramadhan.
Saya mulai menarik napas dalam-dalam karena di ingatan saya, teks-teks Al-Qur’an tak melulu selalu terasa melegakan atau menyenangkan hati. Ini karena Al-Qur’an tidak bicara untuk dirinya sendiri. Al-Qur’an, sebagai sebuah teks suci, tetap sarat tafsir berdasarkan si penafsirnya.
Hingga tak jarang berbagai posting di media sosial kerap menjadikan teks-teks Qur’an untuk melegitimasi tindakan penghakiman dan kebencian. Namun, kali ini saya bersyukur karena saya diajak untuk berefleksi ulang tentang relasi saya dengan Al-Qur’an sebagai upaya merawat kebahagiaan spiritual.
Mulki Al-Sharmani menyampaikan tentang diri yang satu (nafs wahida). Manusia itu sesungguhnya berasal dari diri yang satu dan kemudian bertumbuh secara berbeda-beda. Keberbedaaan itu sungguh-sungguh melampaui situasi yang serba hitam-putih.
Seketika, ingatan saya tiba pada kesedihan bercampur marah terhadap Mira, seorang transpuan dari Cilincing, yang tetap harus keluar rumah semasa swakarantina namun dituduh sebagai pencuri dan akhirnya dibunuh dengan cara dibakar. Kenapa seseorang bisa membenci sesama manusia dengan sangat sehingga menghilangkan kehidupannya?
Lalu, Asma Lamrabet menjelaskan tentang konsep istikhlaf yang merupakan simbolisasi dari hubungan yang erat antara manusia dan Pencipta. Kata khalifa ternyata merupakan salah satu bentuk yang ada di Qur’an untuk menjelaskan konsep istikhlaf.
Selama ini, saya pikir khalifa fil ard berarti pemimpin di bumi. Namun, Asma Lamrabet menyampaikan bahwa ini berarti wakil Tuhan di bumi. Bukan arti literal yang kerap dijadikan legitimasi para penguasa untuk menundukkan rakyatnya. Wakil Tuhan di bumi ini menyiratkan hubungan sangat dekat yang dikehendaki Tuhan dengan manusia.
Berbeda dengan hubungan antara Tuhan dan malaikat yang merupakan hubungan ketundukan dan kepatuhan. Tuhan menghendaki hubungan yang erat, dekat dan setara dalam mewujudkan sebuah misi, yakni untuk mengelola kehidupan di bumi.
Mengelola kehidupan di bumi berarti bukan sekedar kehidupan manusia, tapi juga binatang, tumbuhan dan bumi itu sendiri. Pandemi memberikan tanda yang sungguh kentara agar saya melihat ulang relasi saya sebagai manusia dengan makhluk lainnya dan semesta yang saya bernaung didalamnya.
Sudahkah saya merawat semesta seperti saya merawat diri saya sendiri? Sebagai orang yang hidup di daerah urban dengan kecemasan terhadap krisis pangan, saya bersyukur karena para petani di desa-desa bersolidaritas lewat donasi pangan bagi orang-orang miskin kota.
Namun di sisi lain, saya juga khawatir karena tak sedikit petani yang terancam penghidupannya karena tanahnya digusur perusahaan sawit ataupun tambang dan berujung pada tindak kriminalisasi terhadap para petani tersebut. Padahal, petani dan tanahnya adalah wujud nyata dari cara manusia berrelasi dengan alam.
Dalam pencarian seorang feminis tentang keadilan dan keindahan Al-Qur’an, Asma Lamrabet mengajak komunitas Muslim untuk melakukan refleksi mendalam terhadap kehidupan ekologi yang sangat terkait erat dengan kehidupan manusia itu sendiri. Kemudian, Mulki Al-Sharmani mengingatkan tentang pentingnya masyarakat Muslim untuk berpihak pada individu dan kelompok yang kerap mengalami opresi berlapis dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika saya berupaya menjawab tentang relasi saya dengan Al-Qur’an, saya mengingat beberapa hal yang saya dengar. Tentang cerita Olot Suharya, seorang tokoh masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang yang beragama Sunda Wiwitan dengan komunitas agrarisnya, mengenai masih penuhnya lumbung-lumbung padi mereka untuk memenuhi kebutuhan enam bulan ke depan.
Juga tentang Jeni, seorang transpuan muda di Yogyakarta yang bersama-sama mengelola dapur umum dan mengantarkan bahan pangan untuk kelangsungan hidup kawan-kawannya, agar bisa bertahan selama pandemi.
Masa pandemi membuat saya mampu menyediakan lebih banyak waktu untuk melakukan perjalanan ke dalam diri sendiri, terutama mengenali nilai-nilai setara dan relasi yang saling. terpaut antara diri sebagai bagian dari nafs wahidah dengan semesta raya yang tak lelah menghidupi saya.
Bagi saya, berelasi dengan Al-Qur’an merupakan upaya yang tak putus untuk merayakan kehidupan kemanusiaan dan alam yang lestari. Maka, saya mengamini pencarian feminis terhadap Qur’an karena ia membawa saya pada perjalanan menuju Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Kalau kamu, gimana menjelaskan relasimu dengan Al-Qur’an? []