Mubadalah.id – Sebanyak sepuluh mahasantri dari Program Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) berangkat ke Malaysia dan Singapura untuk mengikuti Praktik Islamologi Terapan (PIT) Internasional. Kegiatan ini akan berlangsung selama satu bulan, mulai 23 Juli hingga 22 Agustus 2025.
Program ini menjadi angkatan pertama dalam sejarah ISIF yang menyinergikan kurikulum praktik lapangan dengan pengalaman global lintas negara. Rektor ISIF, Marzuki Wahid, MA., menyebutkan bahwa inisiatif ini berangkat dari kebutuhan untuk memperluas wawasan global para mahasantri SUPI, sekaligus menguatkan jejaring keilmuan dan keulamaan perempuan pada level internasional.
“Kami ingin para mahasantri SUPI ini tidak hanya memahami persoalan lokal, tetapi juga bisa membaca dan merespons isu-isu global. Karena itu, program SUPI harus memberikan pengalaman internasional,” ujar Marzuki, pada 23 Juli 2025.
Integrasi SUPI dan PIT
Program ini merupakan penggabungan dua kurikulum strategis di ISIF yaitu SUPI yang berfokus pada pencetakan sarjana ulama perempuan, dan PIT yang merupakan bentuk kuliah kerja nyata (KKN) khas ISIF, namun dengan pendekatan Islamologi.
“Daripada berjalan sendiri-sendiri, kami integrasikan. Jadi saat mereka mengikuti PIT, mereka juga menjalani tugas akademik sebagai mahasantri SUPI. Ini lebih efektif dan kaya secara pengalaman,” tambahnya.
Tidak seperti KKN pada umumnya yang berlangsung di pedesaan, PIT versi internasional ini mengajak mahasantri untuk live in bersama komunitas pekerja migran Indonesia di Malaysia. Di sana, mereka tidak hanya belajar tentang dinamika Islam di luar negeri, tetapi juga melakukan pendampingan sosial, observasi kebijakan migrasi, serta riset kontekstual.
Kenapa Malaysia dan Singapura?
Pemilihan Malaysia dan Singapura bukan tanpa alasan. Menurut Marzuki, ada pertimbangan logistik, psikologis, dan strategis.
“Sebagian besar dari mereka belum pernah ke luar negeri, bahkan belum pernah naik pesawat. Maka, kita pilih negara tetangga yang relatif dekat, aman, dan sudah ada jejaring,” ungkapnya.
Di Malaysia, ISIF bekerja sama dengan berbagai mitra strategis. Di antaranya, tokoh komunitas seperti Nyai Mimin dan Kiai Liling—keduanya merupakan asli orang Cirebon yang kini menjadi figur penting bagi komunitas Muslim Indonesia di Malaysia. Ada juga organisasi internasional seperti Sisters in Islam (SIS) dan jaringan hak-hak perempuan Islam global, Musawah.
Sementara itu, di Singapura, kegiatan akan difokuskan pada kunjungan ke pusat dialog antaragama, perguruan tinggi, dan pertemuan dengan aktivis sosial. “Meski hanya dua hari di Singapura, kami berharap mereka mendapatkan perspektif yang berbeda tentang pluralisme dan kebijakan keagamaan,” jelas Marzuki.
Tiga Skema PIT: Reguler, Mandiri, dan Internasional
ISIF sendiri memiliki tiga model PIT: reguler, mandiri, dan internasional. PIT reguler berlangsung dua bulan di desa-desa dampingan sekitar Cirebon. Mahasantri melakukan social mapping, riset partisipatif, hingga aksi nyata berbasis masalah lokal. Mereka dibimbing oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan tinggal bersama warga setempat.
PIT mandiri hampir serupa, namun dilakukan secara individual di luar zona Cirebon, dengan pemantauan daring oleh DPL.
Berbeda dengan keduanya, PIT internasional hanya berlangsung satu bulan karena keterbatasan visa dan izin tinggal di negara tujuan. Namun, intensitas kegiatan sangat padat, mulai dari diskusi tematik, kunjungan lapangan, hingga penyusunan artikel ilmiah.
“Targetnya bukan hanya laporan kegiatan. Kami minta tiap peserta menulis artikel akademik sesuai isu yang mereka teliti—seperti soal perempuan migran, diskriminasi agama, atau relasi keluarga lintas negara. Artikel itu akan diterbitkan dalam jurnal atau dibukukan,” tegas Marzuki.
Menuju Global
Keberangkatan ini menjadi pengalaman akademik bagi para mahasantri SUPI. Banyak dari mereka baru pertama kali memiliki paspor, terbang ke luar negeri, dan tinggal di lingkungan yang sangat berbeda dari kampung halaman mereka.
“Ini langkah awal. Kelak, kami ingin alumni SUPI bukan hanya menjadi pemimpin lokal, tapi juga bisa berbicara di forum internasional,” kata Marzuki menutup wawancara.