Mubadalah.id – Dalam pemikiran keagamaan yang mainstream, yang berpijak pada paradigma fitnah perempuan, yang akan disalahkan pada kasus-kasus kekerasan domestik pun adalah juga perempuan. Yang disalahkan adalah pakaian perempuan, perilakunya, atau layanannya kepada suami dan kerabat yang dianggap tidak maksimal.
Dalam narasi seperti ini, perempuan tidak pernah menjadi subjek sebagai manusia utuh yang berhak hidup bermartabat dan berkeadilan. Terutama tanpa kekerasan.
Mereka tidak menjadi subjek yang didengar pengalaman hidup mereka. Lalu dilibatkan dalam merumuskan apa yang disebut sebagai baik dan maslahat dalam narasi keagamaan, atau yang disebut sebagai fatwa.
Para perempuan yang mengalami hal demikian banyak sekali. Mereka tidak menemukan jawaban dari para tokoh agama yang menggunakan narasi mainstream selama ini.
Akhirnya, mereka datang bertanya kepada para ulama perempuan yang kemudian tergabung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Tentu saja, para ulama KUPI ini telah melalui dinamika yang cukup intensif bersama para perempuan tersebut. Bahkan jauh sebelum Kongres yang berlangsung di Pesantren Kebon Jambu pada April 2017.
Bahkan, secara historis bisa ditarik sejak awal 1990-an, ketika kegundahan mereka itu baru mulai disuarakan dan didiskusikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Secara kelembagaan, pola ini kita lanjutkan pada Kongres KUPI yang kedua di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara pada Nopember 2022. Dan, akan kita lanjutkan terus pada kongres-kongres berikutnya.
Namun, Kongres di Pesantren Cirebon ini menjadi momentum pengakuan yang utuh terhadap para perempuan yang bertanya. Sekaligus para ulama mereka. Baik pengakuan secara spiritual, intelektual, kultural, dan sekaligus sosial.
Di Kongres ini, para perempuan yang mengalami kekerasan dan meminta fatwa sebagai subjek dan ia kita ajak bersama terlibat dalam merumuskan narasi fatwa keagamaan. Pengalaman hidup mereka kita akui sebagai salah satu sumber pengetahuan yang otoritatif untuk rumusan narasi ini.
Begitu pun ulama KUPI, bersama para perempuan tersebut, otoritas mereka, kita akui dan pengetahuan mereka kita jadikan arah keimanan, pengetahuan, dan kerja-kerja gerakan individu-individu yang hadir dalam Kongres ini. []