Mubadalah.id – Dalam narasi keagamaan mainstream, seringkali menganggap perempuan sebagai makhluk yang memiliki potensi pesona (fitnah) yang menggoda dan mengganggu stabilitas moral publik yang mayoritas berisi laki-laki. Karena potensi fitnah inilah, dalam logika beragama sementara ini, mengapa semua keburukan itu terjadi.
Lalu, fatwa yang dikeluarkan seringnya adalah agar para perempuan mengurangi potensi fitnah tersebut dengan banyak berada di dalam rumah. Jika pun harus keluar di ruang publik, hanya dibolehkan jika benar-benar tidak menebarkan pesona fitnah kepada publik laki-laki.
Faktor penentu ada atau tidaknya pesona perempuan ini dan dampak buruknya pada masyarakat adalah standar kehidupan laki-laki. Perempuan menjadi objek hukum, pihak yang diputuskan hukumnya. Atas dasar standar laki-laki, bolehkah atau halal haramkah, seorang perempuan keluar rumah, belajar, bekerja, bepergian, atau sekedar bersenang-senang?
Standarnya adalah sejauh mana keberadaan mereka memesona dan mengganggu laki-laki. Lalu, fatwa yang keluar adalah halal atau haram aktivitas perempuan berdasarkan standar tersebut. Atau batasan-batasan yang harus perempuan ikuti, juga atas dasar standar laki-laki tersebut.
Begitu pun ketika para perempuan difatwakan untuk berada di dalam rumah. Haram berada di ranah publik, atau setidaknya tidak boleh secara agama. Lalu, pekerjaan yang mereka anjurkan di dalam rumah, selama ini, adalah semua hal yang mengarah pada layanan untuk suami dan anggota keluarga.
Sedikit saja salah dalam hal ini, perempuan akan dicap sebagai orang yang tidak shâlihah. Sama sekali tidak layak menghuni surga. Bahkan, tidak sedikit ancaman-ancaman neraka dan laknat malaikat kepada mereka. Hak-hak mereka di dalam rumah tidak muncul secara cukup dan seimbang dalam narasi keagamaan.
Dengan narasi keagamaan semacam ini, tidak sedikit tokoh agama yang kemudian tidak sadar dengan fakta-fakta kekerasan, ketidakadilan, dan kezaliman yang secara nyata para perempuan alami.
Realitas dan pengalaman para perempuan ini menjadi absen dalam banyak rumusan fatwa yang mereka keluarkan. Terutama nasihat-nasihat keagamaan yang sehari-hari para ulama, ustadz dan tokoh-tokoh agama sampaikan. Alih-alih memberi dukungan, menguatkan, dan memberdayakan, kebanyakan dari mereka hanya memberi batasan-batasan sosial, dengan mengharamkan berbagai hal kepada para perempuan. []