Beberapa waktu lalu, pemenang sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018, Felix K. Nesi ditahan oleh kepolisian Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) karena merusak kaca jendela dan kursi-kursi pastoran dengan helmnya.
Sebenarnya, tindakan perusakan yang dilakukan Felix bukanlah tanpa sebab. Ia dibuat marah dan kecewa oleh pihak institusi gereja karena mereka melindungi pastor bermasalah. Padahal sebelumnya, dia sudah berbicara baik-baik agar romo yang memiliki catatan buruk dengan perempuan itu dipindahkan. Alih-alih ditempatkan di lokasi baru, romo kepala malah tidak bergeming dan membiarkan oknum tersebut tetap bekerja di sekolah yang memiliki banyak murid perempuan.
Sebelas dua belas dengan kasus tadi, institusi pesantren pun tak luput dari problematika yang sama. Kasus terakhir melibatkan putra petinggi pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur yang melakukan sejumlah kekerasan seksual terhadap santriwati dan mantan santriwati.
Meski para penyintas sudah membeberkan keterangan dan alat bukti, narasi korban justru dipertanyakan dan dianggap sebagai fitnah semata. Ujung-ujungnya, pihak pesantren menyarankan agar kasusnya diselesaikan secara kekeluargaan saja.
Pada kasus di level personal, sebelumnya juga muncul laporan pelecehan seksual yang dilakukan oleh hafizh Quran yang juga peraih beasiswa pemerintah Australia, Ibrahim Malik, serta Qari internasional Fatih Seferagic. Jumlah korban yang sudah mengadu bukan hanya satu-dua orang, tapi sudah puluhan.
Yang disayangkan, berbagai bukti chat yang dilampirkan korban dan pengakuan mereka seakan tidak banyak dipercaya orang. Salah satu penyintas mengatakan, “pasti orang-orang lebih percaya dia walaupun dia cuma sekali bilang ‘tidak’ dan saya menceritakan kasus saya berkali-kali.”
Popularitas dan branding pelaku di laman media sosial serta kiprah mereka di atas panggung-panggung dakwah membuat masyarakat abai bahwa pelaku tindakan kekerasan seksual bisa berprofesi apa saja, termasuk orang yang dilabeli syekh sekalipun.
Ia tak pandang bulu. Bahkan dari uraian kasus tadi seakan menunjukkan jika pelaku terbantu sekali oleh aktivitas-aktivitas relijius yang mereka lakukan, termasuk berlindung dengan dalih keturunan alim ulama. Privilege tersebut oleh pelaku dimanfaatkan secara maksimal untuk berkelit dan menghindarkan diri dari jeratan hukum.
Sebaliknya, kondisi penyintas-penyintas pelecehan seksual tadi ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula! Mereka terpaksa menanggung kemalangan ganda: menjadi korban kejahatan seksual sekaligus korban kriminalisasi dan diskriminasi oleh lingkungan sekitar.
Tak ayal beberapa korban lainnya kemudian memilih berdiam diri karena khawatir ia yang akan dituduh balik sebagai penggoda dan perempuan murahan. Efek sampingnya pun berkelanjutan: banyak korban yang mengalami depresi berat, termarjinalisasi, hingga beberapa di antaranya memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban.
Di sisi lain, budaya perkosaan dan tradisi menyalahkan korban masih langgeng di negeri ini. Jangankan pemuka agama, orang biasa pun ketika ia melakukan tindakan kekerasan seksual, akan diberikan tatapan sinis oleh kebanyakan orang sekitarnya, dan ditanyakan hal-hal seperti: bentuk hubungan yang dijalin antara korban dan pelaku, jenis pakaiannya bagaimana, sampai kapan kejadian itu terjadi.
Situasi yang menyudutkan korban tersebut diperparah dengan sistem hukum dan sosial kita jarang sekali berpihak pada korban. Dalihnya pun bermacam-macam: dari melindungi nama baik lembaga, baik itu kampus maupun institusi agama, hingga persoalan sejenis cukup diselesaikan secara musyawarah mufakat.
Pahitnya perlindungan hukum terhadap penyintas kekerasan seksual juga didorong oleh relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Figur yang diidolakan seperti Ibrahim Malik dan Fatih Seferagic jelas memiliki modal sosial kuat untuk dipercaya para korban sebelum melancarkan tindakannya.
Kondisi ini menyebabkan posisi muslimah korban pelecehan seksual menjadi serba salah. Jika memilih diam, bisa saja korban selanjutnya akan menjadi lebih banyak. Bila mengaku dan melapor, masih disalahkan juga. Seringkali mereka dianggap hanya mencari sensasi dan hanya ingin menjatuhkan popularitas pelaku yang memiliki banyak pengikut.
Bahkan beberapa waktu lalu ketika hashtag #MosqueMeToo digaungkan oleh Eltahawy, salah satu penyintas pelecehan seksual di Mekah, ia bukannya mendapatkan simpati, justru dituding ingin membuat citra laki-laki muslim terlihat buruk di mata global. Pengakuannya dianggap mengada-ada dan tidak masuk akal. Padahal ia yang menyembunyikan pengalaman buruk itu selama bertahun-tahun, dan hanya ingin menyadarkan komunitas muslim agar jauh lebih paham bahwa pelecehan seksual bisa terjadi dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun. Sehingga harapannya penegakan hukum terhadap kasus ini perlu diperkuat untuk melindungi korban, bukan pelaku. Sayangnya, penegakan hukum di negeri ini masih compang-camping, jauh dari ajaran Rasul.
Dahulu, berkaitan dengan penegakan hukum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam khutbahnya, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Meski konteksnya pencurian, namun secara mendalam kita dapat menafsirkan juga bahwa penegakan hukum harus dilakukan seadil-adilnya. Dengan menyebut nama Fatimah, yang tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum, Rasul hendak menegaskan bahwa siapapun orangnya, bahkan jika anaknya sendiri berbuat salah, ia harus dihukum. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang menyandang status sebagai pemuka agama sekalipun, bila ia berbuat kejahatan, proses penegakan hukum harus diperlakukan sama.
Dan, jika komunitas berbagai agama terus mengelak serta tak pernah menganggap serius problematika ini, yang dikhawatirkan adalah pelaku akan terus mengulangi perbuatannya dengan membawa-bawa topeng relijiusitas yang ia sengaja kenakan. Walhasil, agama akan dijadikan perisai untuk menutupi laku kejahatan yang diperbuat.
Oleh karenanya, Eltahawy sebagai individu yang pernah mengalami kejadian buruk tersebut berpesan, “Saya mengimbau pada seluruh laki-laki muslim untuk bersimpati pada korban pelecehan seksual, dan tidak serta merta menyalahkan mereka. dengarkan suaranya, apa yang mereka rasakan!
Dan yang lebih penting, para lelaki juga perlu mengedukasi sesama lelaki untuk tidak melakukan catcalling, dan berhenti menganggap pelecehan seksual hanyalah isu perempuan. Hal itu justru salah, ini masalah bersama yang perlu diselesaikan dengan kerja sama antar semua pihak.” []