Mubadalah.id – “Bagaimana pendapat ibu, mengenai fenomena saat ini, banyak anak anak usia muda yang menjadi pekerja seks komersial. Apakah ini bagian dari emansipasi perempuan yang kebablasan?” “Apakah ini yang dimaksud menjadi perempuan seutuhnya?”
“Bagaimana pendapat ibu mengenai problem karaoke di pati yang melibatkan para perempuan pendamping karaoke yang “nyambi-nyambi”, apakah ini juga bentuk emansipasi perempuan yang kebablasan?”
“Maaf bu… akhir akhir ini sering saya dapati istri istri yang tidak lagi memiliki hormat kepada suami karena adanya emansipasi wanita. Bagaimana pemecahannya menurut ibuk?”
“Saya perempuan lulusan S1 yang sekarang menjadi ibu rumah tangga. Saya “malu” karena sering disindir oleh keluarga dan tetangga, ngapain sekolah tinggi tinggi kalau hanya jadi ibu rumah tangga. Bagaimana menurut ibu kondisi yang saya alami ini?”
Demikian beberapa pertanyaan yang dilontarkan audiens saat talkshow memperingati hari kartini, pada Kamis, 20 April 2017, ketika saya bersama ibu Endah menjadi narasumber di radio PAS FM Pati.
Sungguh, pertanyaan pertanyaan tersebut membuat saya tertegun. Betapa masih jauhnya jarak pemahaman masyarakat terhadap apa yang dimaksud sebagai emansipasi. Dan sungguh begitu kagetnya saya pagi ini, sàat seseorang justru memaknai maraknya bisnis terkait pekerja seks komersil sebagai akibat dari emansipasi wanita yang dianggap kebablasan.
Saya sendiri memaknai kesetaraan sebagai kondisi dimana perempuan memiliki potensi dan peluang yang sama untuk secara sadar melakukan pilihan pilihan dalam hidupnya. Apakah pilihan itu adalah pilihan sebagai ibu rumah tangga, pilihan sebagai saudagar, pilihan sebagai guru atau pilihan pilihan lainnya. Kondisi sadar terhadap pilihan yang dilakukan ini tentu saja hanya dapat terjadi jika perempuan memiliki peluang untuk menyelami potensi diri dan memiliki peluang untuk mengasah potensi itu.
Agak sedih juga saat mendengar keluhan seorang perempuan lulusan perguruan tinggi yang malu karena akhirnya “hanya” menjadi ibu rumah tangga. KENAPA HARUS MALU?? bukankah seharusnya kita justru merasa malu, jika sebagai ibu kita tidak mendidik diri dengan baik. Ibu adalah madrasah bagi keluarganya. Pendidikan bagi seorang perempuan bukanlah dimaksudkan hanya semata mata untuk memenuhi tuntutan lapangan pekerjaan. Namun, dalam ranah apapun setiap perempuan wajib menjadi pintar karena ia adalah madrasah bagi keluarganya dan Madrasah bagi masyarakatnya.
Tak perlu phobia terhadap emansipasi perempuan. Karena itu hanya akan membuat kita menjadi terjebak dalam pikiran pikiran negatif sehingga menyulitkan kita dalam memahami persoalan sosial yang sesungguhnya. Kepandaian perempuan tidak akan merugikan siapapun. Karena perempuan yang pandai adalah berkah bagi semesta. Dan karena perempuan pandai adalah berkah bagi kehidupan generasi penerus kita.
Lebih jauh, mengenai peringatan tanggal 21 April, peringatan hari Kartini itu sendiri seharusnya memang tidak dimaksudkan sebagai saat untuk memitoskan seorang Kartini. Banyak pula syakwasangka tentang penetapan Hari Kartini ini. Namun, apapun itu, daripada menghabiskan energi untuk memelihara prasangka buruk. Akan lebih bermanfaat jika kita mau mengambil hikmah dari kehidupan seorang hamba Alloh yang ditakdirkan wafat saat melahirkan anak pertamanya itu.
Memperingati hari Kartini semestinya digunakan sebagai momentum untuk menyerap semangat seorang perempuan muda bernama Kartini yang dikaruniai Alloh kehidupan kurang dari 26 tahun hidup di dunia. Namun dengan singkatnya usianya itu, Kartini dapat memaksimalkan potensinya untuk memberikan manfaat kepada sesama. Semoga kita termasuk orang orang yang dicintai-NYA. Orang-orang yang tak gampang terjebak dalam syakwasangka. Orang-orang yang mampu mengambil hikmah dan kebijaksanaan dalam setiap peristiwa. Semoga Alloh ridlo. Amin.
SELAMAT HARI KARTINI
*catatan ini ditulis Bu Nyai Tutik N. Jannah satu tahun kemarin, dan saya bagikan ulang..