• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Menjadi Perempuan Mandiri itu Bukan Shaming

Betapa ketika seorang perempuan telah mempunyai kesempatan untuk bisa mengambil keputusan sendiri adalah proses yang penuh perjuangan. Setelah berhasil mewujudkannya, ternyata perjuangan itu masih belum selesai

Mela Rusnika Mela Rusnika
07/09/2021
in Personal
0
Perempuan

Perempuan

317
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Di saat saya punya kehendak memilih menjadi perempuan mandiri, sesederhana mengambil resiko, tanggungjawab, dan keputusan sendiri, ternyata saya masih dilabeli sebagai perempuan inferior. Laki-laki itu tetap superior. Di balik perempuan hebat, selalu ada laki-laki yang membimbing di belakangnya, baik itu ayah, kakak, maupunpasangan. Menjadi perempuan itu seolah-olah didesain literally hanya menjadi ‘makmum’.

Dulu saya sempat berpikir, bahwa menjadi perempuan itu secara kelas ada di bawahnya laki-laki, sehingga menganggap perempuan yang mandiri itu sebagai shaming. Seiring berjalannya waktu, ternyata cara pandang seperti ini sangat memengaruhi cara saya beragama dan bersosialisasi dengan orang lain. Saya dipenuhi rasa bersalah, bahkan saya juga mengklaim perbuatan saya sendiri sebagai dosa karena telah melawan ‘imam’ saya.

Perjalanan waktu ini pun membawa saya ingin lebih mendalami dan memahami peran seorang perempuan. Ini karena saya merasa hal-hal yang katanya wajib dilakukan perempuan di dapur, kok tidak sejalan dengan pikiran, hati, dan keinginan saya.

Saya ingin memilih menjadi perempuan yang justru tampil di publik dan tidak ingin menyentuh pekerjaan domestik. Hingga waktunya tiba, saya memantapkan keputusan untuk menjadi perempuan yang mandiri. Namun, keputusan ini pun membawa tantangan baru dalam proses hidup saya.

Betapa ketika seorang perempuan telah mempunyai kesempatan untuk bisa mengambil keputusan sendiri adalah proses yang penuh perjuangan. Setelah berhasil mewujudkannya, ternyata perjuangan itu masih belum selesai. Inilah yang terjadi kepada saya.

Baca Juga:

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Sudah menjadi rahasia umum kalau kita terlahir di lingkungan yang patriarki, entah itu di dalam keluarga, masyarakat, hingga ranah agama yang bias. Kita juga pasti sudah tahu kalau perempuan itu selalu menjadi nomor dua dalam segala bidang, kecuali ketika menjadi ibu rumah tangga kita sangat dijagokan, meskipun ini bagian dari cara lingkungan mendomestikasi peran perempuan.

Bersyukurnya di era post-modern ini, banyak perempuan yang mulai tumbuh kesadarannya dan terbuka juga pemikirannya, bahwa peran perempuan itu sangatlah luas, tidak hanya di dapur, sumur, dan kasur yang selama ini kita sudah sering juga mendengarnya. Dalam menentukan arah jalan hidup juga, sebagian perempuan tidak memerlukan izin lagi dari laki-laki.

Dengan adanya kesempatan bagi perempuan untuk bisa berperan lebih dari hanya di dapur, saya mengambilnya dengan memilih hidup menjadi perempuan mandiri. Di mulai dari mengambil keputusan ingin kuliah jurusan apa di masa sekolah, sekarang mencari uang dan menghidupi diri sendiri, hingga di masa depan saya mengambil tanggungjawab untuk menikah atau tidak, punya anak atau tidak, dan lainnya.

Saya menikmati hidup yang demikian, itulah pilihan saya. Keputusan-keputusan ini telah menjadi tanggungjawab saya sebagai seorang perempuan yang merdeka. Meski begitu, ternyata ingin menjalani kehidupan yang saya harapkan tidaklah mudah. Apalagi ketika keputusan saya ini disampaikan kepada keluarga, teman, dan lingkungan social secara umum, justru mendapat kritik dengan nada yang merendahkan.

‘Menjadi perempuan mandiri itu bakal susah dapetin jodoh, karena laki-laki itu kodratnya sebagai imam. Perempuan itu  menjadi makmumnya untuk dibimbing laki-laki. Jangan sekolah terlalu tinggi juga, nanti laki-laki pada lari. Jangan menikah di usia lebih dari 25 tahun, nanti susah dapetin anak dan suami pergi cari perempuan lain.’

Itulah kalimat-kalimat yang sering saya terima, seolah-olah menjadi perempuan mandiri yang bisa menghidupi dirinya sendiri adalah hal yang memalukan (shaming). Dengan nada yang demikian, seolah-olah tujuan hidup perempuan itu hanya sebatas pada mencari jodoh, menikah, dan punya anak.

Perempuan seperti di set up untuk menjadi makmum yang  sangat patuh, harus menikah, melahirkan, dan mengurus anak. Dan ini semua dilakukan bisa jadi untuk kebahagiaan orang lain, bukan kebahagiaan dirinya sendiri.

Adapun kalau muncul anggapan bahwa perempuan mandiri itu sulit bertemu dengan pasangannya, itu karena lingkungannya pun dominan mengadopsi pemikiran yang patriarki. Sehingga tidak ada titik tengah yang bisa menyambungkannya untuk bisa saling bertemu dan memahami.

Di samping itu, lagi-lagi saya melihat adanya seksisme dalam nada yang merendahkan perempuan ini. Pada akhirnya perempuan dilihat dari sudut pandang bahwa dia perlu menyempurnakan dirinya secara fisik dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada perspektif orang lain untuk diatur dan dikontrol.

Padahal banyak hal yang bisa perempuan lakukan secara mandiri dalam hidupnya. Kita diberikan kehendak bebas oleh Tuhan untuk memimpin diri sendiri. Bahkan salah satu hukum menikah saja sunah. Dalam pernikahan pun diberikan kesempatan berpisah sebagai salah satu penyelesaian masalahnya. Artinya kita memiliki hak untuk melakukan yang terbaik untuk diri kita sendiri.

Kita juga hidup di negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak setiap individu, termasuk berpendapat, memilih, dan memutuskan. Dengan adanya kesempatan besar inilah, maka saya mencoba mengekspresikan diri sebagai perempuan mandiri yang merdeka.

Dalam konteks ini, anehnya ketika ada perempuan yang memilih untuk tidak menjadi mandiri juga sama-sama dianggap shaming. Perempuan tetap menjadi buah bibir dengan label, seperti materialistis. Jadi merasa serba salah juga ya! Gak jarang juga dalam hubungan kerumah-tanggaan, saya menemukan perempuan lebih banyak disalahkan atas masalah yang terjadi dalam keluarga tersebut.

Sebagai contoh kaitannya dengan anak. Ketika anak tidak bisa melakukan hal yang diharapkan orang lain, ibu yang disalahkan. Muncul pertanyaan, ibunya kemana?! Contoh kecil lainnya tentang kebersihan rumah yang dibebankan kepada perempuan, ketika kondisi di rumah tidak sesuai dengan keinginan pasangannya, perempuan juga yang disalahkan.

Sebagaimana pun orang luar memandang perempuan, sebaiknya kita punya kekuatan dan keberanian untuk mengambil komitmen menjadi perempuan yang diinginkan diri kita sendiri, termasuk ketika ingin menjadi perempuan mandiri, dan fokus pada karir. Karena menjadi perempuan mandiri itu bukanlah shaming, tapi sebuah kebutuhan.

Di era yang semakin maju ini pun tentu membutuhkan perempuan-perempuan yang mandiri, produktif, supportif, dan kooperatif. Oleh sebab itu, ketika kita memilih dan merasa mampu untuk bisa menjadi mandiri, kenapa tidak untuk mencoba?! Hasilnya pun bukan hanya bermanfaat untuk peradaban, tapi untuk diri kita sendiri. []

 

 

Tags: DomestikasiGender ShamingPeran PerempuanperempuanPerempuan MandiriSelf Love
Mela Rusnika

Mela Rusnika

Bekerja sebagai Media Officer di Peace Generation. Lulusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Part time sebagai penulis. Tertarik pada project management, digital marketing, isu keadilan dan kesetaraan gender, women empowerment, dialog lintas iman untuk pemuda, dan perdamaian.

Terkait Posts

Catcalling

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

21 Mei 2025
Berpikir Positif

Rahasia Tetap Berpikir Positif Setiap Hari, Meski Dunia Tak Bersahabat

21 Mei 2025
Puser Bumi

Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi

21 Mei 2025
Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Aeshnina Azzahra Aqila

Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

20 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pengepungan di Bukit Duri

    Film Pengepungan di Bukit Duri : Kekerasan yang Diwariskan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hadits-hadits yang Membolehkan Azl

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KB dalam Pandangan Fiqh
  • Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?
  • Hadits-hadits yang Membolehkan Azl
  • Film Pengepungan di Bukit Duri : Kekerasan yang Diwariskan
  • Pengertian dan Hadits Larangan Melakukan Azl

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version