Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Kita tidak bisa terus menormalkan sunyi. Tidak bisa terus menganggap inses sebagai “aib keluarga” yang harus disembunyikan.

Kekerasan Seksual Sedarah

Kekerasan Seksual Sedarah

Mubadalah.id – Beberapa hari terakhir, media sosial kembali gaduh dengan kabar tentang inses, yakni kekerasan seksual sedarah, yang dalam banyak kasus bukan sekadar “hubungan” tapi kekerasan seksual yang dilakukan ayah kepada anak, kakak kepada adik, atau paman kepada keponakan. Dan hal ini telah terjadi berulang kali.

Kita seolah tak pernah selesai dibuat terperangah. Tapi yang lebih menyakitkan, banyak dari kita yang hanya berhenti di keterkejutan. Padahal, di luar sana, ada anak-anak yang sedang tumbuh dalam ketakutan. Dalam tubuh yang terus dipaksa diam. Di dalam rumah yang seharusnya jadi tempat paling aman.

Inses Bukan Penyimpangan, Tapi Kekerasan

Dalam perspektif keadilan gender dan perlindungan anak, inses bukan sekadar penyimpangan seksual. Ia adalah bentuk pengkhianatan mendalam terhadap kepercayaan dan kasih dalam relasi keluarga.

Seringkali, pelaku memanfaatkan kedekatan dan kuasa dalam keluarga. Mereka bukan monster asing, tapi orang yang akrab dipanggil “ayah”, “kakak”, atau “om”. Kuasa itu yang membuat korban sulit bersuara, bahkan untuk sekadar menyadari bahwa yang ia alami adalah kekerasan.

Islam mengajarkan bahwa keluarga adalah tempat sakinah—ketenangan, kasih sayang, dan perlindungan. Maka tak ada justifikasi apa pun untuk menjadikan rumah sebagai ruang ketakutan, apalagi untuk menganiaya tubuh dan jiwa anak.

Dampak Psikologis dan Sosial: Luka yang Dalam dan Lama

Korban inses membawa luka panjang. Banyak yang kehilangan rasa aman, kepercayaan, bahkan spiritualitas. Mereka sering tumbuh dalam kecemasan, depresi, dan relasi yang rusak. Tubuh mereka bukan lagi ruang yang nyaman, melainkan medan trauma yang terus dihindari.

Luka mereka bukan hanya soal fisik. Tapi luka atas hilangnya kepercayaan—pada orang tua, pada manusia, bahkan kadang pada Tuhan. Maka kita perlu menyambut suara mereka dengan kelembutan, bukan penghakiman. Dengan dukungan, bukan keraguan.

Peran Orang Tua dan Komunitas: Membuka Ruang Aman

Kita perlu mulai dari rumah. Ajarkan pada anak tentang batas tubuh, tentang hak atas tubuh sendiri. Jangan anggap tabu bicara soal seksualitas dan perlindungan diri. Semakin terbuka kita, semakin terlindungi mereka.

Dan sebagai tetangga, guru, pengasuh, kita perlu peka. Bila ada anak yang berubah sikap, menarik diri, atau tiba-tiba takut pada figur ayah—jangan abaikan. Terkadang, perhatian kecil bisa menjadi penyelamat besar. Kita semua punya tanggung jawab atas keselamatan anak-anak di sekitar kita, bukan hanya orang tuanya.

Negara dan Hukum: Harus Tegas Melindungi

Negara tidak boleh lunak terhadap pelaku kekerasan seksual, apalagi yang berlindung di balik status “kepala keluarga”. Tidak boleh ada damai dalam kekerasan seperti ini. Hukum harus berpihak pada korban, dan memulihkan mereka secara utuh—bukan hanya memberi hukuman simbolik kepada pelaku.

Kita juga perlu mendorong kurikulum pendidikan yang ramah anak dan sensitif gender. Pendidikan seksual yang sehat dan kontekstual bukan ajaran sesat, tapi bentuk kasih sayang dan perlindungan. Dan itu juga bagian dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Sunyi Bukan Solusi

Kita tidak bisa terus menormalkan sunyi. Tidak bisa terus menganggap inses sebagai “aib keluarga” yang harus kita sembunyikan. Aib sesungguhnya adalah saat kita tahu, tapi memilih diam.

Jika keluarga adalah tempat lahirnya cinta, maka ia tak boleh jadi ruang lahirnya luka. Jika kita mencintai anak-anak kita, maka kita harus berani bicara, melawan, dan melindungi mereka—meski pelakunya adalah darah daging kita sendiri.

Karena hari ini mungkin bukan anak kita. Tapi siapa yang bisa jamin esok? Naudzubillah. []

Exit mobile version