Mubadalah.id – Abu Utsman Amr bin Bahr al-Jahiz (w. 255 H/836 M), seorang teolog, budayawan, dan sastrawan terkemuka pada abad pertengahan, pernah mengungkapkan analisis tajam tentang sikap masyarakatnya yang merendahkan perempuan.
Dalam salah satu catatannya, ia berkata:
“Aku tidak pernah berpendapat, begitu pula mereka yang berakal dan berpikir, bahwa kaum perempuan berada di bawah atau di atas laki-laki satu atau dua tingkat atau lebih. Namun, realitas yang kulihat memperlihatkan begitu banyak kaum perempuan dijadikan komoditas, dieksploitasi seenaknya, direndahkan demikian rendah, dan dirampas hak-haknya begitu besar.”
Pernyataan Al-Jahiz ini terasa begitu relevan meski lahir lebih dari seribu tahun silam. Ia dengan jernih memotret ironi sosial pada masanya—yang agaknya juga masih bercokol hingga hari ini—ketika martabat perempuan sering kali dikerdilkan atas nama adat, kuasa, bahkan agama.
Dalam pandangan mereka yang sempit, laki-laki dianggap perkasa jika sanggup mengingkari hak-hak ibu atau bibi demi kepentingan para bapak dan paman. Laki-laki justru dinilai lemah jika menolak menindas perempuan di lingkar keluarganya.
Lebih lanjut, Al-Jahiz menegaskan, “Meskipun realitas sosial menunjukkan mayoritas laki-laki lebih unggul dari perempuan. Tetapi kita tidak berhak mengurangi hak-hak mereka dan tidak selayaknya mereka yang menghormati ayah harus merendahkan hak-hak ibu.”
Kritik Terhadap Budaya Patriaki
Di sini, menurut KH. Husein Muhammad dalam bukunya Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren terlihat betapa halus namun tajam kritik Al-Jahiz terhadap budaya patriarki yang menjustifikasi perlakuan diskriminatif.
Melalui analisisnya, sastrawan besar dari kalangan Mu’tazilah ini sesungguhnya ingin menegaskan satu hal penting: siapa pun yang merendahkan, mengeksploitasi, memarginalkan, dan merampas hak-hak perempuan adalah orang yang dangkal pikirannya.
Mereka tidak mau menggunakan akal sehatnya menjadi anugerah terbesar bagi manusia. Sebaliknya, mereka yang benar-benar berpikir, akan menempatkan perempuan secara setara dengan laki-laki, memperlakukan mereka secara adil dan proporsional.
Sebab, Tuhan Yang Maha Mengetahui pastilah tidak menciptakan diskriminasi antar makhluk-Nya.
Ironisnya hari ini, kita masih menyaksikan banyak praktik serupa di antaranya kebijakan yang bias gender, narasi agama yang sempit. Hingga budaya populer yang terus menormalisasi subordinasi perempuan.
Kita mungkin patut belajar dari Al-Jahiz—bahwa ukuran kehebatan bukanlah pada kuasa untuk menindas. Melainkan pada keberanian untuk menegakkan keadilan bagi semua, termasuk perempuan.
Sebab, penghormatan terhadap martabat perempuan adalah cermin kedalaman nalar dan keluhuran budi kita sebagai manusia. []