Mubadalah.id – Era kapitalisme yang saat ini marak, segala hal berdampak dengan penilaian dari sisi materi. Misalnya, perempuan mengabaikan tata krama, lebih mengutamakan penampilan. Memasang eyelash, nail art, membeli tas branded, sepatu branded, pakaian yang memenuhi wardrobe. Segala hal koleksinya bisa terpajang dan dipamerkan. Menghadiri undangan acara dengan penampilan gaya hidup mewah yang mengundang decak kagum, itulah yang menjadi harapannya.
Hal ini lah yang kemudian memancing industri untuk menjadikan perempuan sebagai target pasar. Kaum hawa menjadi objek materialisme, misalnya membuat produk skin care, fashion, perabotan, women stuff, apapun barang yang ditargetkan market pada perempuan terjamin akan lebih laris manis.
Bahkan barang yang sebetulnya bukan hal yang konsumsi perempuan, lebih banyak konsumennya dari kaum laki-laki, tetap saja perempuan menjadi alat promosinya. Misal mobil, rokok, bahkan obat kuat laki-laki pun menggunakan perempuan sebagai pemeran iklan produk tersebut.
Kelas atas dengan gaya hidup mewah memang bergelimang harta. Mereka terbiasa memiliki kebiasaan menggunakan barang mewah. Di mana hal itu ditiru oleh kalangan kelas menengah supaya terlihat old money, supaya naik kelas dan selevel dengan kalagan di atasnya. Meski sebetulnya tidak menjadi masalah asal masih under control.
Sayangnya banyak orang berfokus pada penampilan tanpa ia barengi dengan tata krama yang harus pula dimiliki seiring sejalan dengan penampilannya. Misal, boleh berpenampilan mewah namun juga harus elegan dengan memprioritaskan perlakuan baik terhadap sesama manusia. Bertutur kata baik, berbicara sopan, bersikap santun dan menjaga harkat martabat dirinya.
Cinderella Complex Syndrome, Cantik Namun Otak Kosong
Pola asuh dari orang tua dalam mendidik anaknya tidak diajarkan hidup mandiri. Orang tua tidak berhasil dalam mengontrol kemelekatan pada anak. Anak tidak mendapat pendidikan mandiri, cenderung menunggu, manja, tidak bisa membuat keputusan, terburu-buru mencari pasangan, takut ditinggalkan laki-laki.
Princess atau Cinderella complex syndrome, meletakkan value hidupnya di atas kecantikan fisik, penampilan, keunggulan melalui seksualitas, atribut bawaan lainnya. Berharap akan hidup dengan mewah dan memiliki pasangan dan banyak pelayan untuk memenuhi kebutuhannya.
Kesalahan di era sekarang, yang serba materialistis ini, terletak pada perilaku orang tua yang berlebihan dalam memuja anak perempuannya. Terutama melalui paras wajahnya, penampilan fisiknya. Orang tua cenderung berharap dapat kehidupan yang lebih baik, dengan memiliki menantu bak pangeran. Menawarkan putri cantiknya, tanpa pembekalan pendidikan dan tata krama yang baik pada putrinya.
Manusia yang hidup dengan kondisi ini cenderung narsistik, sehingga kompetitif dengan kelompoknya. Bahkan cenderung manipulatif dengan memanfaatkan parasnya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Hargai anak perempuan kita dengan sewajarnya, jangan membandingkan mereka dengan orang lain. Puji atas prestasinya dalam pendidikan dan perilaku baiknya. Panggil dengan nama, bukan dengan sebutan yang berbau princess, sehingga anak terbiasa dengan pujian dan validasi atas penampilannya, bukan karena parasnya.
Memiliki Inner Beauty dengan Ilmu dan Adab
Inner beauty atau kecantikan dari dalam adalah kecantikan yang berasal dari kepribadian, sifat asli, dan faktor psikologis seseorang. Di mana inner beauty dapat terpancar dari perilaku, karakter, dan budi pekerti seseorang. Inner beauty kita anggap lebih penting daripada kecantikan fisik. Beberapa alasan di antaranya; Inner beauty tidak dimiliki oleh semua orang. Inner beauty akan selalu abadi, sedangkan kecantikan fisik akan memudar seiring waktu.
Inner beauty muncul secara alami dari dalam, bukan kepura-puraan atau polesan. Bersikap adil dan bijak dengan semua orang, mampu mengelola stres dengan baik, mengasah keilmuan atau passion, memiliki kepercayaan diri, mampu mengontrol emosi, murah senyum, selalu berpikiran positif, menjalankan pola hidup sehat, gaya hidup sederhana, memperbaiki diri terutama dalam bersikap dan memperlakukan orang lain.
Kecantikan dan perempuan seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Wajar jika selalu ingin tampil cantik. Meski secara intuisi tiap perempuan adalah cantik, namun kebanyakan terobsesi untuk memperjuangkan kecantikannya dengan berbagai cara berlebihan (tabarruj). Mengubah hidung untuk lebih mancung, dagu lebih lancip, pipi lebih tirus, suntik supaya kulit terlihat glowing dan putih.
Mulai dari mengubah bentuk wajah dengan menggunakan filler dan tanam benang pada bagian tubuh hingga menggunakan kosmetik secara tidak wajar. Padahal, kecantikan fisik yang kita perjuangkan hanyalah kecantikan tiruan (palsu) dan memudar seiring bertambahnya usia.
Tanpa sadar, hal ini dampak dari pengaruh opini industri kecantikan dan iklan produk kecantikan yang bertebaran di media. Ambisi tersebut tidak lain adalah karena dorongan hawa nafsu untuk menjadi faktor penentu dalam mencapai kecantikan dan penampilan yang semu.
Kecantikan dalam Pandangan Ibnu Sina
Ibnu Sina atau Avicena (890-1037 M) adalah salah satu tokoh Islam yang membahas kecantikan dan perawatan tubuh. Kecantikan bukan hanya bertujuan mempercantik diri, melainkan lebih menekankan kepada kesehatan dengan cara merawat diri. Mulai dengan menjaga kebersihan. Kecantikan yang berasal dari hati tidak bisa kita lihat, tapi bisa kita rasakan.
Apabila kita pernah bertemu dengan seseorang yang berpenampilan biasa saja, tapi saat kita bersamanya, menjadi merasa nyaman karena tingkah lakunya yang baik, tutur katanya yang indah, pengetahuannya luas, sikapnya sopan dan hangat. Menunjukkan bahwa seseorang dianggap cantik secara sosial dan psikologis, yang dihasilkan dari perilaku sehari-harinya dalam interaksi dengan kemampuan menempatkan diri.
Keindahan jiwa (inner beauty) dapat kita raih melalui tiga tahapan, yakni dengan salat, puasa dan menunaikan ibadah. Seperti dalam firman Allah
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”(Q.S. al-Baqarah [2]: 153).
Salat adalah media yang paling penting untuk melatih jiwa, memperbaharui spiritual serta menyucikan moral. Salat, bagi orang yang menjalakannya bagaikan tali yang kuat, yang terus kita pegang erat. Sarana dalam memohon pertolongan dari musibah dan malapetaka yang kita hadapi. Dapat menghilangkan trauma dan ketakutan, dan mendapatkan kekuatan untuk yang lemah.
Tiga Aspek yang Menunjang Inner Beauty
Aspek Intelektual Intelektual adalah orang yang menggunakan kecerdasan untuk belajar, bekerja, berpikir, berimajinasi, dan menjawab masalah dengan ide-ide yang berbeda. Secara garis besar, istilah intelektual memiliki pengertian yang kita kaitkan dengan buku dan gagasan.
Definisi intelektual adalah kemampuan untuk memperoleh informasi yang berbeda, berpikir abstrak, rasional dan bertindak secara efektif dan efisien. Selain itu, intelektual adalah kemampuan yang dibawa individu sejak lahir, intelektual ini berkembang ketika lingkungan memungkinkan dan ada peluang untuk bergerak dan beradaptasi dengan situasi baru.
Aspek Emosional, adalah apabila seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik jelas terlihat dari kemampuannya mengelola emosi, bertanggung jawab atas tugas yang diberikan, dapat bangkit ketika ditimpa masalah serta dapat memotivasi diri sendiri dan orang lain dalam hal kebaikan sehingga kecantikan senantiasa terpancar dari dalam dirinya.
Seorang ahli kecerdasan emosi, Daniel Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosi termasuk kecakapan dan kemampuan mengontrol diri, memacu, tetap tekun, serta dapat memotivasi diri sendiri juga mencakup pengelolaan bentuk emosi baik yang positif maupun negatif. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mengelola diri sendiri dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain secara positif.
Menilik Aspek Spiritual
Aspek Spiritual Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia spiritual merupakan sesuatu yang berhubungan dengan sifat kejiwaan (rohani, batin). Adapun Spiritual quotient berasal dari kata spiritual dan quotient. Spiritual berarti batiniah, rohaniah, religius. Sedangkan quotient berarti kesempurnaan perkembangan akal, budi, kecerdasan. Yaitu kecerdasan yang menerima inspirasi, dorongan dan efisiensi yang memfokuskan semua kejadian kepada orang-orang baik.
Kecerdasan spiritual dapat membantu seseorang dalam mengembangkan dirinya secara utuh dengan menciptakan peluang untuk menerapkan nilai-nilai positif. Spiritual quotient atau kecerdasan spiritual adalah kecerdasan pikiran untuk selalu berpikir positif tentang segala peristiwa yang dialami. Berpendapat bahwa Tuhan mempunyai rencana yang baik untuk setiap peristiwa, baik atau bahkan yang buruk.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. (Q.S. al-Hujurat [49]: 13)
Inner beauty dalam perspektif al-Qur’an adalah, definisi keindahan dari balutan ketakwaan. Semua atribut dunia, baik kebangsaan, gelar, kekayaan, kecantikan dan kedudukan adalah sarana penunjang namun bukan faktor utama. yang paling utama adalah menjadikan diri penuh dengan ketaatan, manusia bisa meraih kedudukan penting di hadapan Allah SWT apabila menjadi manusia yang taat. []