• Login
  • Register
Sabtu, 10 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Monolog Wanodja Soenda: Menyaringkan Kembali Suara yang Hilang

Rena Asyari Rena Asyari
03/02/2020
in Publik
0
Monolog Wanodja Soenda: Menyaringkan Kembali Suara yang Hilang
53
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Bagaimana menghadirkan tiga tokoh perempuan sunda Lasminingrat, Dewi Sartika, dan Emma Poeradiredja dalam panggung yang sama? The Lodge Foundation dan Mainteater pada tanggal 29 Januari 2019 mewujudkannya dalam pementasan yang berjudul “Monolog Wanodja Soenda”.

Acara Monolog Wanodja Soenda berlangsung cukup khidmat selama 2 jam, Atalia Praratya membuka acara dengan membaca puisi yang ditulis oleh Faisal Syahreza. Atalia terlihat berusaha keras agar dapat membawakan puisi dengan baik. Kemudian, Inayah Wahid sebagai narator mulai memperkenalkan tiga perempuan yang menyalakan nyala perlawanan tersebut, narasinya bernada humor dan sinis.

Inayah menjelaskan suara perempuan dibungkam, dihilangkan karena gagasan-gagasan besar harus selalu diucapkan dengan lantang dan menggebu-gebu? Dengan suaranya yang pelan, perempuan pun mempunyai rasa yang sama, rasa ingin merdeka, dan dapat berjuang dengan caranya.

Emma Poeradiredja yang diperankan oleh Rieke Dyah Pitaloka menjadi tokoh pertama yang tampil. Emma seorang tokoh pergerakan, ketika berusia 16 tahun Emma menjadi anggota Jong Java tahun 1918. Tahun 1927 ia mendirikan Dameskring sebuah organisasi perempuan yang menyiapkan anggotanya menyebarluaskan cita-cita persatuan Indonesia.

Monolog Emma berbicara tentang pergerakannya, narasi dibuat sangat kronologis, runtut sekali. Penulis naskah seolah tak ingin kehilangan momen tentang tahun-tahun penting dalam pergerakan Emma. Narasi dibawakan penuh humor dan cukup menghibur. Apakah karakter Emma Poeradiredja memang kocak dan humoris atau jangan-jangan itu adalah karakter Rieke yang belum dapat dilepaskan?

Baca Juga:

Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

Emma yang merasakan kehidupan pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang, merasakan sekali perbedaannya. Menurutnya Jepang menempatkan masyarakat pribumi tidak sebagai manusia. Sebagai perempuan, ia dilanda kesedihan yang bertubi-tubi ketika menyaksikan teman-temannya dijadikan Jugun Ianpu.

Perjuangan melawan Jepang ia rinci dengan rasa sakit, “aku sendiri masuk Fujinkai, dengan berada di Fujinkai aku bisa membantu perempuan lain berbagi dengan perempuan-perempuan yang tepuruk, bagiku hidup harus selalu berguna meski di masa-masa yang kelam”. Perjuangannya membuahkan hasil, ia salah satu orang yang sangat bahagia ketika hari proklamasi tiba. Emma meninggal tahun 1976 pada usia 73 tahun.

Perempuan kedua, Dewi Sartika diperankan oleh Sita Nursanti. Monolog diawali ketika Dewi Sartika membaca sebuah surat kabar yang memuat berita tentang didirikannya taman kanak-kanak di gedung Pancaniti di bawah perlindungan dalem Bandung yang dikhususkan untuk anak-anak kaum menak/bangsawan, orang kaya dan anak-anak kulit putih.

Dewi Sartika risau dengan pendirian taman kanak-kanak tersebut, menurutnya dunia sudah terlalu lama menyingkirkan perempuan dari aksara-aksara dan angka-angka. Ia membandingkan di wilayahnya, Cicalengka, gadis-gadis hanya fasih membaca cinta, sementara mereka dalam 2-3 tahun lagi akan menikah.

Agan Uwi biasa ia dipanggil berpikir anak-anak perempuan selain harus dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan keterampilan perempuan seperti menjahit, menyulam dan memasak juga harus fasih membaca aksara latin. Penulis naskah membuat narasi berupa dialog, menjadikan monolog lebih hidup.

Humanitied yang terus digaungkan oleh pemerintah Belanda saat itu bagi Dewi Sartika hanya untuk kalangan tertentu saja, di mana kemanusiaan untuk masyarakat somah? Kerisauannya diwujudkan dengan membangun Sakola Istri yang didirikannya tahun 1904, ketika ia berusia 20 tahun.

Kegundahan Dewi Sartika bukan tanpa alasan, ia menganggap kaum menak mendapatkan banyak keistimewaan, dapat bersekolah dan mendapatkan pengajaran dengan baik, somah laki-laki juga masih beruntung karena dapat bersekolah meskipun di sekolah kelas dua, sedangkan somah perempuan sama sekali tak dapat kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.

Dewi Sartika merupakan salah satu pelopor yang menerobos batas-batas antara menak dan somah, ia ingin menghilangkannya. Penulis naskah mencatat pemikiran Dewi Sartika dalam narasi “Menak adalah sebuah takdir, jika nenek moyang kita terlahir sebagai menak, maka otomatis kita akan menjadi menak, meskipun pengetahuan dan kepandaian kita bagai katak dalam tempurung. Gelar dan kemulian menak bukan hal yang penting lagi, kepandaian dan ketinggian ilmulah yang seharusnya menjadi alasan seseorang untuk dihargai dan dihormati. Mereka yang memiliki kepandaian dan ilmu inilah yang disebut menak pikiran, dan menak pikiran berhak menjadi gelar bagi siapa saja baik itu menak maupun somah laki-laki atau perempuan”. Gelar pahlwan nasional sangat pantas disematkan padanya.

Perempuan terakhir yang tampil dalam monolog adalah Raden Ayu Lasminingrat. Kelahirannya yang lebih dulu dari kedua rekannya membuat jenis perjuangannya pun berbeda. Lasmi, menuangkan kegelisahannya akan keadaan masyarakat di sekitarnya melalui tulisan. Ia menyadur dongeng-dongeng Eropa.

Salah satu buku hasil sadurannya adalah “Carita Erman” yang diterbitkan tahun 1875. Penulis naskah memasukkan Carita Erman menjadi bagian yang penting dalam monolog. Lasmi mencontohkan masyarakat Sunda kala itu seperti tokoh Erman yang tinggal dalam gua, tanpa pendidikan, tanpa buku-buku, masayarakat tak akan tahu bahwa dunia begitu luas, bahwa apa yang ada disekitar mereka begitu berharga.

Ketiga Wanodja Sunda tersebut berasal dari kalangan yang sama yaitu menak/bangsawan. Saat itu hanya kaum menak/bangsawan yang mendapat akses penuh pada pendidikan dan buku-buku. Kehidupan mereka yang sangat enak, dilayani dan dihormati, tidak membuat mereka abai pada kehidupan masyarakat.

Mereka memilih bersuara, bergerak, dan melakukan langkah-langkah yang nyata untuk memajukan setiap individu. Jejak mereka yang tercatat dalam karya tulis, sekolah, dan bergerak aktif di organisasi yang membuat ketiga Wanodja Soenda tersebut suaranya nyaring hingga hari ini.[]

Rena Asyari

Rena Asyari

Dosen. Pengelola www.seratpena.com. Podcast dan youtube Seratpena.

Terkait Posts

Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Barak Militer

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

7 Mei 2025
Jukir Difabel

Jukir Difabel Di-bully, Edukasi Inklusi Sekadar Ilusi?

6 Mei 2025
Budaya Seksisme

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

6 Mei 2025
Energi Terbarukan

Manusia Bukan Tuan Atas Bumi: Refleksi Penggunaan Energi Terbarukan dalam Perspektif Iman Katolik

6 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Kesaksian Perempuan

    Kritik Syaikh Al-Ghazali atas Diskriminasi Kesaksian Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saksi Perempuan Menurut Abu Hanifah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama
  • Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro
  • Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?
  • Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai
  • Aurat dalam Islam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version