• Login
  • Register
Sabtu, 4 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Relasi Mubadalah: Solusi di Tengah Maraknya Kasus Cerai Gugat Selama Pandemi Covid-19

Suami istri harus meninggalkan cara lama dalam membangun rumah tangga. Perubahan kondisi, sosial, geografis menuntut adanya relasi kesalingan

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
02/11/2021
in Keluarga, Rekomendasi
0
Tauhid

Tauhid

87
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemic covid-19 adalah perekonomian, terutama pada kelompok masyarakat menengah ke bawah. Perubahan siklus keuangan ini menyebabkan hilangnya fungsi keseimbangan dalam rumah tangga.

Alih-alih mencari solusi dan jalan keluar, ketidakmampuan dalam mengelola perekonomian ini justru berakhir di meja hijau melalui perceraian. Di tahun 2020, kasus perceraian mengalami lonjakan 80%, dari 20.000 kasus menjadi 57.000 kasus, dan mayoritas diajukan oleh pihak istri.

Lonjakan kasus cerai gugat (cerai yang diajukan pihak istri) ini disebabkan karena pandangan patriarkis dan pembagian peran dalam rumah tangga yang hanya membebankan tanggungjawab nafkah kepada pihak suami, dan membebankan urusan domestic kepada istri. Hal itu tampak dari pasal 34 Undang- Undang Perkawinan No.1 tahun1974, yang menyatakan: “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” dan pada pasal selanjutnya disebutkan “Isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.”

Undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia memisahkan peran domestik dan publik berdasarkan jenis kelamin. Pun demikian dengan tradisi dan pemahaman yang mengakar pada mayoritas masyarakat kita dewasa ini. Seperti pada tradisi Jawa yang meletakkan posisi istri sebagai konco wingking saja bagi suami. Kondisi ini tak hanya merugikan pihak istri, namun juga merugikan pihak suami. Terlebih saat kondisi pandemic seperti ini.

Membangun relasi mubadalah dalam hubungan suami istri

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Kritik Ibn Hazm aẓ-Ẓahiri Terhadap Ulama yang Membolehkan Pernikahan Tanpa Wali
  • Teladan Bersolidaritas dan Pesan Moral Untuk Masa Depan
  • Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad

Baca Juga:

Kritik Ibn Hazm aẓ-Ẓahiri Terhadap Ulama yang Membolehkan Pernikahan Tanpa Wali

Teladan Bersolidaritas dan Pesan Moral Untuk Masa Depan

Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA

Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad

Undang-undang perkawinan yang patriarkis tersebut bukan lahir secara tiba-tiba. Aturan mengenai hak dan kewajiban suami istri yang membedakan ranah publik dan domestik berdasarkan jenis kelamin didasari atas pemahaman fiqih literalis. Laki-laki berdasarkan pemahaman QS an-Nisa [4]: 34 diberi mandat untuk bertanggungjwab menafkahi perempuan. Kalimat qawwam dalam ayat tersebut diartikan dengan keutamaan, sehingga dalam kondisi apapun hanya pihak laki-laki yang dituntut untuk memenuhi nafkah.

Timbal balik dari nafkah yang diberikan suami adalah kemahiran istri dalam memenuhi dan memuaskan kebutuhan biologis. Sehingga pemahaman yang muncul adalah hak perempuan ada pada nafkah dan hak laki-laki ada pada kepuasan biologis. Ketidakmampuan salah satu pihak acapkali dijadikan legitimasi pihak lainnya untuk menuntut perceraian.

Melihat bagaimana pembagian peran ini berdampak cukup signifikan selama pandemi, maka perlu membangun relasi alternatif yang menempatkan suami istri sebagai mitra, partner bekerjasama dalam mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah bukan relasi transaksional. Suami istri harus meninggalkan cara lama dalam membangun rumah tangga. Perubahan kondisi, sosial, geografis menuntut adanya relasi kesalingan (mubadalah).

Relasi mubadalah ini mengandung semangat kesalingan, timbal balik, resiprokal. Menempatkan suami dan istri dalam kedudukan yang sama dalam rumah tangga. Tanpa ada dominasi, ketergantungan, untuk mewujudkan rumah tangga yang harmonis, dan kokoh, pun jika permasalahan dalam rumah tangga sedang menghampiri.

Lima Pilar Pernikahan dalam Perspektif Mubadalah

Membina keluarga yang harmonis adalah visi yang harus dibangun oleh suami-istri. Guna mencapai tujuan tersebut dibutuhkan pilar-pilar penyangga untuk merealisasikan visi tersebut dalam kehidupan di dunia sekaligus menggapai kebahagiaan di akhirat. Menurut Kiai Faqih Abdul Kodir, terdapat lima pilar pernikahan yang harus dijadikan pedoman suami-istri dalam membangun rumah tangga, antara lain:

Pertama, perjanjian yang kokoh. Karena pernikahan adalah ikatan yang kokoh, maka baik suami maupun istri harus memperkuat komitmen untuk menjalankan rumah tangga dengan sebaik mungkin, dan segera mencari solusi jika menghadapi masalah. Suami harus memberlakukan istri sebagaimana ia ingin dilayani.

Tidak membebankan tanggungjawab hanya kepada satu pihak saja. Ketika terjadi permasalahan ekonomi, istri tidak hanya menuntut suami, namun juga harus berusaha untuk segera mencari solusi. Demikian pula jika istri merasa kesulitan dalam menjalankan peran domestik, maka suami harus dengan rela membantu.

Kedua, berpasangan. Sebagaimana ditulis dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 187 dinyatakan bahwa suami adalah pakaian istri, dan istri adalah pakaian suami. Oleh karena itu, keduanya harus saling melindungi demi mewujudkan keharmonisan keluarga. Masalah suami adalah masalah istri, begitupula dengan sebaliknya. Sehingga Ketika menghadapi permasalahan rumah tangga, satu sama lain harus saling men-suport,  terbuka, dan komunikatif.

Ketiga, muasyarah bil ma’ruf. Suami-istri dalam mengambil keputusan dalam rumah tangga harus didasarkan atas kebaikan bersama. tidak boleh mengambil keputusan berdasarkan paksaan. Misal dalam menentukan pembagian peran dalam rumah tangga, memutuskan berapa anak yang akan dilahirkan, pembagian waris bagi anak, harus didasarkan atas kebaikan Bersama. tidak boleh ada salah satu pihak yang mendominasi yang lainnya dan merasa memiliki superioritas lebih dalam rumah tangga.

Keempat, komunikatif. Ketika salah satu sumber penghasilan dalam keluarga menghadapi sebuah permasalahan, pihak yang bersangkutan harus segera berembuk dan saling tukar pikiran. Tidak menanggung permasalahnnya sendiri sehingga pihak yang lain merasa diabaikan. Diskusi dengan pasangan adalah salah satu amanat dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 233. Dengan membuka komunikasi, sama sekali tidak mengurangi kehormatan baik suami maupun istri.

Kelima, kerelaan. Kerelaan adalah penerimaan paling puncak untuk menciptakan ketenangan dalam rumah tangga. Ketika empat pilar sebelumnya telah terealisasi, maka kenyamanan tersebut akan hadir di tengah keluarga. Istri rela untuk bekerja demi keluarga, dan suami rela untuk mengerjakan peran domestik. Tanpa pemisahan, tanpa sekat, menjalankan apa yang sekiranya bisa dikerjakan didepan mata. Sehingga ketika permasalahan menghampiri, suami-istri segera mencari alternatif terbaik dengan menjalankan penuh kerelaan.

Jika kelima pilar ini diterapkan dalam rumah tangga, maka akan mendatangkan keberkahan dan kebaikan untuk semua. Tidak saling menuntut, tidak saling menyalahkan, dan tidak terbebani dengan pembagian peran yang otoriter tanpa musyawarah. Karena sesungguhnya akad yang diucapkan suami saat pernikahan adalah awal dari terjalinnya relasi kesalingan untuk sama-sama menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Dalam menjalankan ibadah sepanjang hayat tersebut, masing-masing pihak harus bersikap baik  antara satu dengan yang lainnya.

Terlebih di tengah pandemi seperti ini, perubahan yang cepat berdampak pada stabilitas ketahanan keluarga. Maka yang dibutuhkan adalah sikap terbuka, sikap pengertian, sikap saling mendukung, tidak saling menyalahkan, dan tidak pula membebankan suatu urusan kepada salah satu pihak saja.  Perubahan relasi menuju relasi kesalingan yang adaptif dengan perubahan kondisi di luar adalah suatu keharusan dan harus disegerakan dalam rumah tangga. []

 

 

 

Tags: cerai gugatistriMubadalahPandemi Covid-19pernikahansuami
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Satu Abad NU

Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

3 Februari 2023
Peran Ayah bagi Anak Perempuan

Fenomena Fatherless dan Peran Ayah bagi Anak Perempuannya

2 Februari 2023
Nikah di KUA

Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA

2 Februari 2023
Akhlak Manusia

Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

1 Februari 2023
Kesehatan Calon Pasangan

Pentingnya Mengetahui Kesehatan Calon Pasangan Sebelum Menikah

31 Januari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Satu Abad NU

    Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kritik Ibn Hazm aẓ-Ẓahiri Terhadap Ulama yang Membolehkan Pernikahan Tanpa Wali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Hijab Menurut Para Ahli
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan
  • Kisah Saat Perempuan Berbicara dan Berpendapat di Depan Nabi Saw
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist