• Login
  • Register
Sabtu, 2 Desember 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

(No) Honour (in) Killing: Tidak Ada Kehormatan dalam Budaya yang Bobrok

Nur Aini Alifatin Nur Aini Alifatin
13/01/2020
in Personal
0
18
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Kira-kira dua tahun yang lalu saya tidak sengaja menonton film dokumenter Girl In The River – The Price Of Forgiveness. Film tersebut berbicara tentang percobaan pembunuhan terhadap perempuan muda di India, perempuan muda itu bernama Saba Qaiser. Ironinya adalah yang mencoba membunuh Qaiser adalah ayah dan pamannya sendiri, karena Qaiser dianggap membawa aib atas nama keluarganya karena jatuh cinta dan dan menikah dengan laki-laki yang tidak disetujui oleh keluarganya. Kepalanya ditembak dan tubuhnya dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke sungai.

Pembunuhan ini mereka anggap sebagai bentuk kehormatan dengan membuang aib keluarga. Namun ayah dan pamannya tidak mengetahui bahwa Qaiser belum mati, Qaiser beruntung karena peluru yang ditembakkan ke kepalanya meleset hanya menggores kulit wajah dan matanya. Setelah ayah dan pamannya pergi, Qaiser meraih ranting pohon di pinggir sungai dan nyawanya terselamatkan.

Qaiser memutuskan untuk pergi ke rumah salah satu kerabatnya dan di situlah kehidupan barunya dimulai, hingga ceritanya diangkat oleh BBC sebagai film dokumenter. Cerita Qaiser sangat unik, dia adalah salah satu korban dari kekerasan lintas budaya terhadap perempuan, namun dia tetap berjuang untuk hidup. Dia selamat dan kini hidup dalam kisah yang dia ciptakan sendiri.

Pembunuhan kehormatan atau “Honour Killing” terjadi tidak hanya di India saja, namun juga di berbagai negara, targetnya adalah perempuan, dan yang membunuh adalah anggota keluarga mereka sendiri sebagai bentuk kendali atas kehormatan.

Banyak sekali budaya yang menjadikan kehormatan sebagai nilai utama  dan laki-laki adalah sumber, atau generator/agen aktif dari kehormatan itu sendiri. Di India misalnya, apabila para perempuan menghancurkan kehormatan tersebut, laki-laki merasa bertugas untuk membalas dendam dan menghilangkan penyebab kehancuran kehormatan tersebut, meskipun harus membunuh si perempuan. Dan hal itu disebut dengan Honor Killing.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Gus Ulil: Muktamar Pemikiran NU Ke-2 Tidak Boleh Ada Lobi-lobi Politik
  • Buka Muktamar Pemikiran NU Ke-2, Gus Ulil: Mari Hadirkan Kecakapan Pemikiran Subtansif
  • Dibuka Malam Ini, Berikut Agenda Muktamar Pemikiran NU 2023
  • Menengok Toleransi Ideal Ala Muslim dan Hindu di Pulau Lombok

Baca Juga:

Gus Ulil: Muktamar Pemikiran NU Ke-2 Tidak Boleh Ada Lobi-lobi Politik

Buka Muktamar Pemikiran NU Ke-2, Gus Ulil: Mari Hadirkan Kecakapan Pemikiran Subtansif

Dibuka Malam Ini, Berikut Agenda Muktamar Pemikiran NU 2023

Menengok Toleransi Ideal Ala Muslim dan Hindu di Pulau Lombok

Tak Jarang, anak laki-laki yang masih kecil dipaksa untuk membunuh dan apabila mereka menolak, mereka akan mendapat reaksi serius dari anggota keluarga dan masyarakat karena dianggap gagal melakukan tugas mereka.

Data kependudukan PBB memperkirakan ada 5000 wanita yang dibunuh setiap tahunnya karena alasan kehormatan, kejadian ini terjadi di seluruh dunia dan tidak terbatas pada satu agama. Tentu saja hal ini berkaitan dengan budaya patriarki, lagi-lagi perempuan yang menjadi korban. Lalu bagaimana reaksi hukum India terhadap kejadian yang menimpa Saba Qaiser? Pada tahun 1980-an  pemerintahan India memberlalukan hukuman tegas untuk kekerasan terhadap perempuan.

Namun setelah sekian lama pembunuhan demi kehormatan yang didasarkan atas agama dan budaya terus saja berlangsung, dan di negara Jordan ternyata bahkan hukumpun menganggap pembunuhan demi kehormatan tersebut legal karena perempuan yang dianggap bersalah karena melakukan perzinahan. Bahkan ketika ada laporan tentang pembunuhan seperti itu dianggap sebagai kecelakaan, apabila ada seorang wanita yang dibunuh demi kehormatan tersebut mati karena dicekik, ditembak atau dipukuli dilaporkan sebagai aksi bunuh diri. Dan yang lebih ironi lagi di Negara India para perempuan dari anggota keluarga tersebut mendukung atas tindakan “Honour Killing.”

Maraknya deskriminasi budaya terhadap peremuan menyebabkan tindakan agresi dan kerugian besar bagi kaum perempuan, jutaan perempuan meninggal setiap tahunnya karena pembenaran atas tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan budaya dan agama.

Kembali pada kasus Saba Qaiser. Bagaimana nasib laki-laki yang dinikahinya? Apakah dia mendapatkan perlakuan yang sama? Yaitu dibunuh karena membawa aib keluarga. Suami Saba Qaiser tidak perlakukan demikian karena Qaiserlah yang dianggap sebagai pembawa aib keluarga, maka Qaiserlah yang harus disingkirkan.

Kejadian ini membuktikan bahwa kebudayaan “Honour Killing” ini ditujukan untuk mengendalikan perempuan di bawah wewenang laki-laki. Keberanian Saba Qaiser untuk muncul di media dan menceritakan kisahnya seharusnya menjadi inspirasi bagi wanita lain yang masih terikat akan budaya “Honour Killing” tersebut.

Satu tindakan kecil dapat menjadi dampak besar bagi kesadaran moral dan kesenjangan sosial serta memicu perempuan lain untuk berani mengambil tindakan serupa apabila hal itu tidak sesuai dengan hati nurani mereka.

Pelaku “Honour Killing” ini seharusnya diberi kesadaran bahwa tindakannya berdampak pada banyak hal, pada kehidupan anak atau saudara perempuannya. Karena sampai saat ini pun masih banyak perempuan yang dibunuh secara sadis oleh keluarga mereka sendiri karena kebudayaan bobrok ini, apanya yang disebut kehormatan dalam membunuh seseorang?

Jalaluddin El-Rumi pun pernah berkata “keburukan bisa menjadi kebaikan apabila dihadapkan pada keburukan yang lebih buruk, apabila ada seorang laki-laki ingin membunuh dan ingin berzina dalam satu waktu dan dia tidak jadi membunuh karena memilih untuk berzina, maka berzina itu baik karena dapat menyelamatkan nyawa orang.” Dari kutipan ucapan Jalaluin El-Rumi tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa membunuh adalah dosa terburuk daripada dosa lainnya.

Status kemaskulinan laki-laki dijadikan legitimasi bahwa laki-laki lebih bijak, lapang dada, dewasa dan emosinya yang paling stabil. Seharusnya laki-laki harus melepaskan diri dari labirin kekuasaan dan mulai berpikir “saya sebagai manusia” bukan lagi “saya sebagai alat kelamin saya.”[]

Nur Aini Alifatin

Nur Aini Alifatin

Terkait Posts

Qiraah Mubadalah

Menilik Pendekatan Tafsir Ala Qiraah Mubadalah

30 November 2023
Orang yang Menyebalkan

Seni Hidup Berdampingan dengan Orang yang Menyebalkan

30 November 2023
Anxiety

Menyikapi Anxiety dengan Romanticizing Life ala Stoicisme

29 November 2023
Mental Healty

Pentingnya Mental Healty bagi Gen Z di Era Society 5.0

27 November 2023
Penggerak Moderasi

Ini Ceritaku Belajar Toleransi dari Pelatihan Penggerak Moderasi Beragama

24 November 2023
People Pleaser

People Pleaser Jangan, Allah Pleaser Harus

22 November 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual

    Bukan Hanya Perempuan, Laki-laki juga Rentan Menjadi Korban Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Feminisida: Pelenyapan Nyawa yang tidak Netral Gender

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bu Nyai Azizah, Sosok Wanita Inspiratif dari Tanah Semarang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyikapi Anxiety dengan Romanticizing Life ala Stoicisme

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Konflik Relasi Ibu dan Anak Perempuan (dewasa) nya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gus Ulil: Muktamar Pemikiran NU Ke-2 Tidak Boleh Ada Lobi-lobi Politik
  • Buka Muktamar Pemikiran NU Ke-2, Gus Ulil: Mari Hadirkan Kecakapan Pemikiran Subtansif
  • Dibuka Malam Ini, Berikut Agenda Muktamar Pemikiran NU 2023
  • Menengok Toleransi Ideal Ala Muslim dan Hindu di Pulau Lombok
  • 4 Solusi Alternatif untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Pesantren

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist