Mubadalah.id – Berbicara mengenai isu keulamaan perempuan di Indonesia, tentu tak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang institusi pendidikan bernama pesantren.
Di Indonesia, pesantren merupakan institusi pendidikan tertua yang telah hadir jauh sebelum dikenalnya sistem pendidikan modern yang diperkenalkan melalui kolonial Belanda. Di pesantren lah, transmisi dan transformasi keilmuan berlangsung, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Sebagai institusi khas Indonesia, van Bruinessen mencatat bahwa pesantren merupakan sebuah istilah khas lokal yang tidak ditemui di tempat lain semisal di Timur Tengah. Kokohnya sistem pendidikan keagamaan di Nusantara, khususnya melalui pesantren ini membuat Timur Tengah pada akhir abad 19 awal abad 20 dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Nusantara.
Berbeda dengan kehidupan kaum perempuan di Timur Tengah, para sarjana mencatat bahwa kehidupan kaum perempuan di Indonesia pada umumnya lebih cair terkait dikotomi publik/privat.
Kaum perempuan Indonesia dipandang lebih menikmati kebebasan di ruang publik dibandingkan dengan perempuan Muslim di Timur Tengah. Hal ini menegaskan karakteristik Islam di Indonesia yang khas, yang memberi ruang besar bagi kaum perempuan untuk berkiprah luas di ruang publik.
Tak terkecuali peran Ibu Nyai dalam dunia pesantren. Hal ini tentu bertolak belakang dengan pendapat Steenbrink yang beranggapan bahwa peran istri kyai/nyai di pesantren tidaklah penting.
Dalam institusi pesantren salaf seperti Pesantren Babakan di mana kepemimpinan pesantren bersifat patriarkhis, peran dan kehadiran Ibu Nyai dalam proses pendidikan pesantren penting untuk dicatat.
Sebagai posisi yang melekat pada kyai. Terlepas dari latar belakang sosial atau pendidikannya, Nyai memiliki legitimasi untuk melaksanakan tugas-tugas terkait kekyaian. Nyai merupakan representasi kyai di pesantren putri: menjadi pemimpin pesantren, pengajar hingga aktif dalam berbagai kegiatan sosial/forum, dan organisasi keagamaan.
Nyai Khoiriyah
Sejumlah tokoh Nyai memiliki akses yang istimewa terhadap ilmu pengetahuan agama, khususnya melalui keluarganya, dalam hal ini ayahnya. Sebagai contoh, ulama perempuan bernama Nyai Khoiriyah, yang tak lain adalah putri pertama KH. Hasyim Asy’ari.
Pada saat belum ada sekolah/pesantren khusus untuk perempuan, ia dididik langsung oleh ayahnya, Kyai Hasyim Asy’ari, bahkan diijinkan ikut belajar bersama santri laki-laki (dengan tirai pemisah), memiliki akses terhadap kitab-kitab, dan lain-lain.
Pada awal abad 20, kaum perempuan mulai mendapat kesempatan memasuki dunia pendidikan. Baik sebagai murid, guru, pemimpin atau pendiri sekolah perempuan.
Akan tetapi, apa yang membuat Nyai Khoiriyah istimewa saat itu sebagai pemimpin pesantren ialah karena ia memimpin pesantren laki-laki. Dan juga memimpin sejumlah staf laki-laki melalui pesantren yang ia bangun bersama suaminya KH. Maksum Ali, Pesantren Seblak di Jombang Jawa Timur.
Kiprah keulamaan Nyai Khoiriyah terbilang istimewa, selain menginisiasi dan memimpin pesantren putri yang pertama. Ia juga mendirikan sekolah perempuan pertama di Mekah, Madrasah lil Banat. Madrasah tersebut sebagai tempat ia tinggal selama 19 tahun mengikuti suami keduanya setelah suami pertama wafat.
Sekembalinya dari Mekah, ia kembali memimpin pesantren Seblak dan aktif di berbagai kegiatan sosial keagamaan.
Keulamaan Nyai Khoiriyah juga kita akui di antaranya dengan tercacatnya beliau sebagai ulama perempuan pertama dan satu-satunya yang masuk jajaran Bahsul Masail di PBNU. Serta menjadi anggota Badan Syuriah PBNU yang beranggotakan para kyai senior pada 1960an. Hingga menjadi Ketua Muslimat NU yang pertama. []