Selasa, 9 Desember 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Bencana di Aceh dan

    Dr. Faqih Bongkar Gagalnya Kontrol Agama dan Negara atas Bencana di Aceh dan Sumatera

    Bencana Sumatera

    Ketika Rakyat Membayar Kerusakan, Korporasi Mengambil Untung: Kritik WALHI atas Bencana Berulang di Sumatera

    Bencana di Aceh

    WALHI Desak Evaluasi Total Izin Usaha di Aceh dan Sumatera untuk Hentikan Siklus Bencana

    Bencana di Aceh

    WALHI Tegaskan Banjir dan Longsor di Aceh dan Sumatera adalah Akumulasi Kebijakan Buruk

    Kerusakan Ekologi

    Ini Pola, Bukan Bencana: WALHI Ungkap Akar Kerusakan Ekologi Aceh dan Sumatera

    Energi Bersih

    Dakwah Energi Bersih Umi Hanisah: Perlawanan dari Dayah di Tengah Kerusakan Ekologis Aceh Barat

    Kerusakan Hutan Aceh

    Kesaksian Umi Hanisah atas Kerusakan Hutan Aceh dalam Tadarus Subuh

    Kekerasan Perempuan

    16 HAKTP di Majalengka: Membaca Ulang Akar Kekerasan terhadap Perempuan dari Ruang Domestik dan Publik

    Muliakan Perempuan

    Kampanye 16 HAKTP dengan Mengingat Pesan Nabi Saw: Muliakan Perempuan, Hentikan Kekerasan

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Manusia dan Alam

    Alam Bukan Objek: Nyatanya Manusia dan Alam Saling Menghidupi

    HAKTP

    Praktik HAKTP dalam Jurnalisme Algoritmik

    Teodise

    Di Tengah Bencana, Di Mana Tuhan? Teodise dan Hikmah Kemanusiaan

    Ekoteologi Islam

    Ekoteologi Islam: Membangun Etika Lingkungan di Era Antroposen

    Suara Korban

    Ketika Suara Korban Terkubur oleh Kata ‘Asusila’

    Hukum Perkawinan Beda Agama

    Ketidakpastian Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia

    Seyyed Hossein Nasr

    Jejak Islam Wasathiyah dan Kearifan Seyyed Hossein Nasr di Amerika

    Keadilan Tuhan bagi Disabilitas

    Keadilan Tuhan bagi Disabilitas

    Krisis Iklim

    Krisis Iklim dan Beban yang Tak Setara

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Bencana di Aceh dan

    Dr. Faqih Bongkar Gagalnya Kontrol Agama dan Negara atas Bencana di Aceh dan Sumatera

    Bencana Sumatera

    Ketika Rakyat Membayar Kerusakan, Korporasi Mengambil Untung: Kritik WALHI atas Bencana Berulang di Sumatera

    Bencana di Aceh

    WALHI Desak Evaluasi Total Izin Usaha di Aceh dan Sumatera untuk Hentikan Siklus Bencana

    Bencana di Aceh

    WALHI Tegaskan Banjir dan Longsor di Aceh dan Sumatera adalah Akumulasi Kebijakan Buruk

    Kerusakan Ekologi

    Ini Pola, Bukan Bencana: WALHI Ungkap Akar Kerusakan Ekologi Aceh dan Sumatera

    Energi Bersih

    Dakwah Energi Bersih Umi Hanisah: Perlawanan dari Dayah di Tengah Kerusakan Ekologis Aceh Barat

    Kerusakan Hutan Aceh

    Kesaksian Umi Hanisah atas Kerusakan Hutan Aceh dalam Tadarus Subuh

    Kekerasan Perempuan

    16 HAKTP di Majalengka: Membaca Ulang Akar Kekerasan terhadap Perempuan dari Ruang Domestik dan Publik

    Muliakan Perempuan

    Kampanye 16 HAKTP dengan Mengingat Pesan Nabi Saw: Muliakan Perempuan, Hentikan Kekerasan

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Manusia dan Alam

    Alam Bukan Objek: Nyatanya Manusia dan Alam Saling Menghidupi

    HAKTP

    Praktik HAKTP dalam Jurnalisme Algoritmik

    Teodise

    Di Tengah Bencana, Di Mana Tuhan? Teodise dan Hikmah Kemanusiaan

    Ekoteologi Islam

    Ekoteologi Islam: Membangun Etika Lingkungan di Era Antroposen

    Suara Korban

    Ketika Suara Korban Terkubur oleh Kata ‘Asusila’

    Hukum Perkawinan Beda Agama

    Ketidakpastian Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia

    Seyyed Hossein Nasr

    Jejak Islam Wasathiyah dan Kearifan Seyyed Hossein Nasr di Amerika

    Keadilan Tuhan bagi Disabilitas

    Keadilan Tuhan bagi Disabilitas

    Krisis Iklim

    Krisis Iklim dan Beban yang Tak Setara

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

“Nyanyi Sunyi dalam Rantang”: Representasi Perjuangan Perempuan Melawan Ketidakadilan

Rantang merah bukan hanya tentang makanan, tetapi perihal menghidupkan selalu perjuangan kecil di tengah kekuatan besar yang menindas.

Siti Roisadul Nisok Siti Roisadul Nisok
24 Juli 2025
in Film
0
Nyanyi Sunyi dalam Rantang

Nyanyi Sunyi dalam Rantang

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Nyanyi Sunyi dalam Rantang” bukan sekadar tontonan, melainkan seruan sunyi yang mengguncang nurani. Dalam film terbarunya ini, Garin Nugroho menyuguhkan perpaduan yang memikat antara kreativitas sinematik dan kritik sosial yang tajam.

Garin menggambarkan realitas ketimpangan hukum di Indonesia secara subtil namun menghantam—tentang bagaimana hukum dapat menjadi alat kekuasaan yang menindas mereka yang paling lemah: mulai dari masyarakat adat, petani kecil, hingga individu yang berani melawan struktur yang mapan.

Di tengah pusaran ketidakadilan itu, Della Dartyan menghadirkan sosok Puspa dengan permainan peran yang kuat sebagai figur sentral dalam kisah ini. Ia adalah perempuan muda dan idealis yang menjadi pusat narasi film ini.

Pertanyaan yang kemudian muncul dari benak saya ketika pertama kali hadir untuk menonton film ini pada special screening di Universitas Gadjah Mada,

“Kenapa Garin memilih seorang perempuan muda sebagai tokoh utama?”

“Apa yang ingin dia sampaikan dengan menampilkan Puspa, seorang perempuan, untuk berjuang di tengah sistem hukum yang penuh ketidakadilan?”

Pertanyaan ini terus terngiang di kepala saya saat dan setelah menonton film.  Sayangnya, jawaban tersebut belum saya temui. Pasalnya, saat sesi diskusi film, Garin sendiri belum hadir untuk memberikan penjelasan.

Sedikit dapat saya asumsikan, Puspa bukan hanya mewakili perjuangan perempuan, tetapi juga simbol dari perjuangan yang tak pernah berakhir melawan ketidakadilan. Sama halnya dengan perjuangan perempuan-perempuan hebat di masa kini  (tetap masif me-mainstreamingkan keadilan gender).  Kendati tujuannnya sangat beragam, namum hambatannya selalu sama.

Garin dengan cerdas menampilkan sosok Puspa, sebagai perempuan, meski tidak selalu berjuang untuk dirinya sendiri atau berdasarkan identitas gendernya. Dalam keterlibatannya itu, ia harus menghadapi beragam tantangan di setiap langkah yang diambilnya.

Puspa: Perjuangan Perempuan yang Tak Pernah Usai

Puspa adalah karakter yang penuh dengan kompleksitas dan lapisan-lapisan makna. Sebagai pengacara muda yang idealis, Puspa berusaha sekuat tenaga untuk memperjuangkan hak-hak kliennya yang tertindas. Namun, semakin banyak kasus besar yang Puspa tangani, ia mulai menyadari kenyataan pahit yang tak bisa ia hindari.

Sistem hukum yang selama ini ia yakini sebagai alat penegak keadilan justru kerap berpihak kepada mereka yang berkuasa. Puspa menyiratkan bahwa perjuangan untuk keadilan dalam sistem hukum tidak hanya berkutat pada niat yang baik, tetapi juga harus menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar, yang sering kali tak terlihat oleh banyak orang.

Ketika Puspa menghadapi kegagalan demi kegagalan, film ini menunjukkan betapa beratnya perjuangan orang-orang yang mencoba meruntuhkan ketidakadilan. Mereka harus melawan sistem yang tidak hanya gagal membantu, tetapi justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri.

Puspa bukan hanya simbol dari perlawanan terhadap hukum yang tidak berpihak. Dia juga merupakan gambaran dari perjuangan yang tak pernah selesai, di mana meskipun berhadapan dengan sistem yang rapuh dan bias, perempuan seperti Puspa terus berjuang untuk memperbaiki ketidakadilan yang ada di sekelilingnya.

Rantang Merah: Simbol Perjuangan dan Harapan yang Tak Pernah Padam

Film Nyanyi Sunyi dalam Rantang dengan cerdas menggunakan rantang merah sebagai simbol dari keberlanjutan perjuangan. Rantang ini bukan hanya tempat untuk membawa makanan, tetapi sebuah penanda tentang harapan yang terus dipertahankan.

Setiap kali Puspa membawa rantang kepada para klien yang terjerat kasus hukum, ia menyampaikan lebih dari sekadar bantuan fisik. Tindakan itu menjadi isyarat kecil tentang keberpihakan di tengah sistem yang kerap abai terhadap mereka yang lemah. Di tengah tumpulnya keadilan, keyakinan untuk terus memperjuangkannya tak pernah ia tinggalkan.

Rantang merah ini lebih dari sekadar simbol ketahanan. Bagi Puspa, membawa rantang merah berarti menghadapi kenyataan bahwa setiap langkah dalam perjuangan hukum tidak selalu mengarah pada kemenangan.

Meskipun demikian, Puspa tetap membawa rantang itu, seolah ingin mengingatkan bahwa perjuangan tidak bergantung pada kemenangan cepat, melainkan pada kemauan untuk terus bertahan. Itulah yang membuat rantang merah menjadi simbol dari semangat yang tidak pernah padam, meskipun ketidakadilan terus berulang.

Tak hanya itu, rantang merah juga menyoroti pentingnya kemanusiaan dalam dunia yang sering melupakan sisi manusia dari hukum itu sendiri, dan menjadikannya sekadar alat untuk mengatur, bukan untuk mengerti.

Ketika Puspa memberikan rantang merah kepada klien-kliennya, ia mengingatkan kita pada hak dasar yang sering kali terabaikan oleh sistem yang ada. Makanan itu bukan sekadar kebutuhan fisik, tetapi lebih pada pengingat bahwa setiap individu berhak mendapatkan keadilan dan perlakuan yang layak, apapun latar belakang mereka.

Dan akhirnya, rantang merah ini menjadi simbol perlawanan terhadap sistem hukum yang kadang kala malah memperkuat ketidakadilan. Setiap kali Puspa membawa rantang itu, meskipun hasilnya tidak selalu memuaskan, ia mengajarkan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan adalah sebuah perjalanan yang terus berlanjut.

Rantang merah bukan hanya tentang makanan, tetapi perihal menghidupkan selalu perjuangan kecil di tengah kekuatan besar yang menindas.

Adegan-adegan yang Menggugah: Keheningan yang Mengungkapkan Ketidakadilan

Garin Nugroho dengan penuh kepekaan menggunakan keheningan sebagai alat untuk menyampaikan pesan yang lebih dalam dalam film ini. Keheningan dalam adegan-adegan tertentu menggambarkan ketidakadilan yang terjadi dalam diam—tanpa harus mengungkapkan kata-kata atau dialog.

Salah satu contoh yang kuat adalah adegan saat Puspa mengamati dengan cemas istri Pak Kirman yang memakan jagung dari lahan yang telah dibebaskan. Istri Pak Kirman memungut jagung dari tanah itu, lalu memasukkannya ke mulut bersama gumpalan tanah yang masih menempel. Adegan ini mewakili bagaimana banyak orang kecil mengalami keterbatasan akses saat mereka berjuang untuk bertahan hidup di bawah ketidakadilan sistem.

Keheningan ini juga muncul dalam adegan kedua, saat seorang tetua adat menggali lubang sendirian di hutan yang telah dirampas dari hak-hak adatnya. Hanya gundukan tanah yang tersisa. Simbol tanah dalam adegan itu berbicara lebih dari sekadar tempat fisik. Ia mencerminkan keterikatan mendalam antara manusia dan ruang hidupnya, terutama dalam konteks hak komunal.

Pengambilalihan tanah adat pun tidak bisa dilepaskan dari praktik perampasan hak masyarakat adat yang lebih luas. Bagi mereka yang telah lama menggantungkan hidup pada tanah, tanah bukan sekadar sumber penghidupan. Tanah adalah bagian dari identitas—kehilangan tanah berarti kehilangan hubungan dengan tanah air, bahkan dengan masa depan mereka sendiri.

Rantang Terakhir: Harapan yang Dibawa, Perjuangan yang Diteruskan

Pada akhirnya, Nyanyi Sunyi dalam Rantang mengajak kita merenungkan kembali makna perjuangan—bahwa perjuangan tidak selalu berwujud dalam kemenangan gemilang di ruang pengadilan. Melalui sosok Puspa, film ini menegaskan bahwa memperjuangkan keadilan adalah sebuah perjalanan panjang dan senyap.

Sering kali juga penuh kegagalan dan tidak memberi hasil yang memuaskan. Namun justru dalam keteguhan untuk terus melawan, di situlah letak nilai sejatinya. Memperjuangkan keadilan merupakan usaha berkelanjutan, bahkan ketika harapan tampak rapuh dan tak terjangkau.

Adegan penutup film menjadi rangkuman paling sunyi sekaligus paling kuat dari seluruh perjalanan ini. Puspa duduk terdiam di dalam bus tua, matanya kosong, tubuhnya letih, seolah seluruh dunia telah memberinya alasan untuk menyerah.

Namun tiba-tiba, seorang anak kecil datang menyodorkan rantang merah yang tertinggal—sebuah isyarat kecil yang mengandung makna besar. Ketika Puspa memeluk rantang itu sambil tersenyum tipis, kita melihat bukan sekadar sebuah akhir, melainkan pengingat yang sunyi nan kuat. Harapan mungkin saja tertinggal, tapi ia selalu bisa kembali—dan perjuangan, sekecil apa pun, tetap layak untuk diteruskan. []

Tags: Film IndonesiaFilm Nyanyi Sunyi dalam Rantanghukumkeadilanperjuangan perempuan
Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok is an M.Phil student in the Faculty of Philosophy at Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Her research interests include religious studies, digitization, philosophy, cultural studies, and interfaith dialogue. She can be reached on Instagram via the handle: @roisabukanraisa.

Terkait Posts

Hukum Perkawinan Beda Agama
Publik

Ketidakpastian Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia

6 Desember 2025
Film Pangku
Film

Film Pangku: Tak Sebandingnya Hak Perempuan dengan Beban yang Ditanggung

26 November 2025
Juru Bicara Disabilitas
Publik

Pentingnya Juru Bicara Disabilitas Berperspektif Gender

25 November 2025
Film Pangku
Film

Eksotisasi Kemiskinan: Mengurai Visualisasi Perempuan Slum dalam Film Pangku

23 November 2025
Film Kopi Pangku
Film

Film Kopi Pangku: Memberi Kehidupan di Tengah Lapisan Kerentanan

21 November 2025
Film Pangku
Film

Dipangku Realitas: Tubuh dan Kemiskinan Struktural dalam Film Pangku

12 November 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Manusia dan Alam

    Alam Bukan Objek: Nyatanya Manusia dan Alam Saling Menghidupi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Ibadah dalam Bayang Ritualitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Rakyat Membayar Kerusakan, Korporasi Mengambil Untung: Kritik WALHI atas Bencana Berulang di Sumatera

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • WALHI Desak Evaluasi Total Izin Usaha di Aceh dan Sumatera untuk Hentikan Siklus Bencana

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • WALHI Tegaskan Banjir dan Longsor di Aceh dan Sumatera adalah Akumulasi Kebijakan Buruk

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dr. Faqih Bongkar Gagalnya Kontrol Agama dan Negara atas Bencana di Aceh dan Sumatera
  • Alam Bukan Objek: Nyatanya Manusia dan Alam Saling Menghidupi
  • Ketika Rakyat Membayar Kerusakan, Korporasi Mengambil Untung: Kritik WALHI atas Bencana Berulang di Sumatera
  • Makna Ibadah dalam Bayang Ritualitas
  • WALHI Desak Evaluasi Total Izin Usaha di Aceh dan Sumatera untuk Hentikan Siklus Bencana

Komentar Terbaru

  • Refleksi Hari Pahlawan: Tiga Rahim Penyangga Dunia pada Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto
  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID